Deglobalisasi, Nasionalisme, dan Pandemi

Nasihin Masha
Wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan
Konten dari Pengguna
30 Juli 2020 14:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Ilustrasi rekrutmen tenaga kerja Indonesia oleh perusahaan Jepang. Foto: Dok: Kementerian Ketenagakerjaan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rekrutmen tenaga kerja Indonesia oleh perusahaan Jepang. Foto: Dok: Kementerian Ketenagakerjaan
ADVERTISEMENT
Sebuah berita di media online, Rabu (29/7/2020), memberi warna baru dalam gerak pemerintahan Joko Widodo. Boleh dibilang keganjilan tersendiri. Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, meminta agar pejabat BUMN yang tidak menaikkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk dicopot. Luhut memang ketua Tim Nasional Penguatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). “Presiden sudah memerintahkan kami bahwa APBN dan stimulus terkait pandemi Covid-19, seluruhnya menggunakan produk dalam negeri. Saya akan meminta kepada Presiden agar dapat dibuat rapat terbatas menangani hal ini,” kata Luhut.
ADVERTISEMENT
Mengapa disebut ganjil? Karena banjir impor begitu menggejala. Jangankan hal-hal yang butuh teknologi canggih, hal sederhana pun impor, seperti cangkul dan garam. Bahkan Indonesia yang masih banyak pengangguran pun mengimpor tenaga kerja dari Tiongkok. Isu kandungan TKDN dalam industri Indonesia sudah menjadi isu klasik sejak era Orde Baru. Indonesia yang sudah lama menjadi negara konsumen sejak era kolonial hanya melahirkan kelas pedagang, tanpa kuatnya kelas industriawan. Tak heran jika industri di Indonesia tak kunjung mapan. Pengusaha lebih suka menjadi importir yang gampang daripada repot membangun pabrik. Karena itu, untuk membangun industri butuh ketangguhan pemerintah dalam merumuskan dan mewujudkan kebijakan industrialisasi.
Gagasan Luhut ini harus disambut baik. Karena ini bisa menjadi penggerak kebangkitan ekonomi Indonesia dan menjadi momentum kebangkitan industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Deglobalisasi
Di tengah wabah corona ini, lembaga penelitian ekonomi Indef menerbitkan buku dengan judul yang provokatif, Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi; Masa Depan Perekonomian Global dan Nasional. Mengapa provokatif? Pertama, sejak akhir abad ke-20, dan makin tak tertahankan di abad ke-21 ini, globalisasi sudah menjadi fakta tak terbantahkan. Sekat-sekat negara benar-benar runtuh. Teknologi transportasi telah memudahkan lalu lintas manusia dan barang, sedangkan teknologi informasi membuat transaksi lintas negara dan lintas benua tak mengenal batas dan waktu sama sekali. Kedua, buku ini tak lagi menjadikan SARS CoV 2 sebagai virusnya, tapi deglobalisasi itu sendiri yang menjadi virusnya.
Terhadap judul buku ini, Didik J Rachbini, salah satu pendiri Indef berargumen setidaknya ada lima hal yang mendasari terjadinya deglobalisasi. Pertama, manusia tidak bisa bergerak antarnegara. Tiap negara fokus pada kepentingan nasional masing-masing untuk mengatasi wabah dan krisis ekonomi. Kedua, turisme hampir mati. Ketiga, perdagangan internasional rontok. Keempat, perbankan negara maju dan emerging market inward looking. Kelima, investasi internasional mandek. “Saat ini globalisasi hanya terjadi di dunia maya saja seperti netflix, youtube, musik, twitter, facebook, dan lain-lain,” kata Didik.
ADVERTISEMENT
Wabah yang mendunia ini telah membuat lalu lintas manusia hampir-hampir terhenti. Industri penerbangan terkapar, bisnis yang mengiringinya pun ikut megap-megap seperti hotel, restoran, jasa travelling, pariwisata, dan sebagainya. Demikian pula lalu lintas barang. Orang takut terhadap benda fisik yang terlalu banyak tersentuh manusia. Pada sisi lain, akibat krisis kesehatan tersebut berdampak pada krisis ekonomi. Daya beli drop, konsumsi menurun. Tiap orang berusaha berhemat sebisa-bisanya, tiap negara juga berhemat devisa. Tiap negara menyelamatkan ekonominya masing-masing. Globalisasi telah berubah menjadi deglobalisasi.
Peningkatan komponen dalam negeri berarti pembukaan lapangan kerja, investasi, industri, dan perdagangan. Semua bisa tergerak, mulai dari UMKM hingga ke industri besar. Mulai dari barang sederhana hingga barang elektronika. Contoh sederhana adalah batik. Sudah beberapa tahun terakhir ini industri dan perdagangan batik Indonesia diserbu oleh batik dari Tiongkok. Hal ini tentu memukul pengrajin batik, pedagang batik, dan para buruh serta usaha ikutan lainnya di sekitar batik. Belum lagi jika masuk ke barang elektronika, lampu, hingga industri berat dan pertambangan. Perlu langkah konkret agar pasar hanya menyerap batik dan barang lain yang kandungan dalam negerinya yang terbesar.
ADVERTISEMENT
Segera Rumuskan Rencana Aksi
Selain untuk menghidupkan dan menggerakkan roda ekonomi, gagasan TKDN ini juga memiliki kaitan dengan kebijakan pemerintah tentang pemberian stimulus ekonomi untuk dunia usaha. Stimulus itu lebih banyak bersifat fiskal, berupa relaksasi pajak. Nilai totalnya sekitar Rp 700 triliun. Krisis ekonomi kali ini berbeda dengan krisis 1997-1998 maupun 2007-2009. Krisis saat itu lebih di sektor keuangan, sedangkan saat ini justru juga memukul sektor riil karena turunnya daya beli masyarakat. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja maupun usaha bangkrut.
Karena itu, tak heran jika Presiden kemudian menunjuk ketua tim pemulihan kali ini bukan Sri Mulyani Indrawati yang menteri keuangan, tapi Erick Thohir yang menteri BUMN. BUMN-BUMN bergerak di semua sektor, mulai keuangan hingga infrastruktur, perdagangan, dan industri. Asetnya bernilai lebih dari Rp 8.000 triliun. Ini tentu akan mampu menggerakkan ekonomi nasional asal didayagunakan dengan tepat dan cermat. Tentu butuh kerja sama apik dengan Sri Mulyani yang paham makro ekonomi dan berpengalaman panjang menyelesaikan krisis. Juga jika BUMN bisa bersinergi dengan kalangan swasta nasional yang menjadi pengiring gerak silat BUMN. Jangan sampai stimulus fiskal yang diberikan kepada swasta justru tak membuat swasta bisa ikut dalam pergerakan dan jika pun ikut bergerak tapi justru tenaga kerja dan industri bangsa lain yang menikmatinya akibat tak melengkapi dengan TKDN.
ADVERTISEMENT
Di era pandemi ini, tiap negara sedang fokus pada urusan dalam negerinya masing-masing, yang dalam hal tertentu tampak sebagai suatu egoisme yang memang sedang sangat dibutuhkan. Pemerintah harus mulai merumuskan apa yang akan dilakukan BUMN yang menjadi ujung tombak, lalu apa saja yang dibutuhkan, berapa tenaga kerja yang terlibat, sektor industri apa saja yang terlibat, berapa UMKM yang ikut serta, bahan baku dan bahan mentah apa saja yang dibutuhkan, wilayah mana dan bentuk kegiatan apa yang bisa disebar di tiap wilayah, peraturan apa yang harus dilahirkan dan diperbaiki, dan seterusnya. Gagasan Indonesia Incorporated yang lama didengungkan tapi tak pernah terwujud justru saat ini menjadi momentum yang tepat untuk dilaksanakan.
Semua kebijakan tersebut sebaiknya disusun dalam sebuah rencana aksi yang terukur dan konkret sehingga memudahkan monitoring dan evaluasinya. Ada angka-angka yang nyata, ada item-item yang jelas, ada pihak-pihak yang tercantum sebagai pelaksanaannya, tersusun dalam target waktu, dan siapa yang mengawasinya. Sebagai contoh, di sektor perbankan, bisa dibuat tentang skema kredit yang disalurkan dengan mempertimbangkan aspek kandungan dan peningkatan kandungan dalam negeri. Demikian pula dalam hal pengadaan barang oleh pemerintah dan pembangunan apa pun yang dilakukan BUMN agar hanya memasukkan barang-barang yang komponen dalam negerinya yang terbesar. Mulai dari semen, lampu, kabel, besi, barang elektronika, kertas, permesinan, sparepart, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Kita tidak ingin stimulus ekonomi yang bernilai triliunan itu dan usaha pemulihan ekonomi nasional justru lebih banyak dinikmati industri dan tenaga kerja luar negeri. Karena itu, kebijakan impor tenaga kerja asing harus menjadi bagian dari evaluasi. Kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia tak kalah dengan tenaga kerja asing. Saatnya Indonesia berdaulat secara lebih baik, saatnya gagasan Bung Karno tentang Tri Sakti bisa terwujud.