Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Efisiensi, Kebocoran, dan Gagap Komunikasi
20 Februari 2025 11:20 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat ini, publik Indonesia sedang menyaksikan kegaduhan wacana tentang efisiensi anggaran, yang dipelesetkan menjadi pemangkasan atau penyunatan anggaran. Mantan Pemimpin Redaksi sebuah koran top, menyenggol nama saya dan menyampaikan: “Ini realokasi atau efisiensi?” Saya menjawab, “Atau refocusing”—seperti Pak Jokowi saat menghadapi pandemi? Dialog di grup WA ini mencerminkan kegagapan publik dalam menangkap arah sesungguhnya ihwal efisiensi anggaran ini.
ADVERTISEMENT
Netizen misalnya mengaitkan hal ini dengan pengalihan dana untuk kebutuhan Makan Bergizi Gratis (MBG). Ada pula yang mengaitkan dengan pemaksaan pembangunan IKN di luar kemampuan kapasitas fiskal. Lalu muncul berita bahwa anggaran untuk IKN masih diblokir. Kemenkeu juga dirumorkan akan menghapus beasiswa kementerian keuangan tahun 2025.
Di daerah sudah muncul aksi unjuk rasa akibat pemutusan hubungan kerja tenaga honorer di pemda. Muncul juga rumor dihapusnya THR dan gaji ke-13 untuk ASN maupun kekisruhan pemberian tunjangan kinerja dosen maupun kenaikan uang kuliah mahasiswa. Juga soal pengurangan jam kerja di kantor dan digantikan dengan kerja dari rumah. Banyak macam lagi kegaduhan lainnya. Isunya menggelinding ke mana-mana.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dari awal memang menyatakan akan melakukan efisiensi anggaran, salah satunya memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen. Pada 22 Januari 2025, Presiden menerbitkan Inpres No 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
ADVERTISEMENT
Dalam inpres ini sudah jelas disebutkan nilai efisiensinya Rp 306,695 triliun. Dalam inpres sudah disebutkan apa saja yang diefisienkan dan apa yang tidak boleh. Semuanya jelas. Untuk mendukung kebijakan efisiensi itu, DPR sudah sibuk bertemu mitranya di kementerian dan lembaga membahas efisiensi anggaran ini. Ada yang kena 70 persen, ada yang tidak kena sama sekali, bahkan ada yang ditambah.
Pada satu sisi, harus diakui, kondisi fiskal Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada warisan utang yang menggunung, tahun 2025 ini harus bayar utang Rp 775,9 triliun. Sedangkan pembiayaan investasi direncanakan hanya Rp 154,5 triliun. Prabowo juga diwarisi pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam 10 tahun terakhir ini.
Di sisi lain, pemerintahan baru pasti memiliki program unggulan yang harus diwujudkan sesuai janji kampanye, seperti Makan Bergizi Gratis, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Swasembada Pangan, Sekolah Unggulan, RS Lengkap di tiap kabupaten, maupun pembentukan Danantara. Dari situasi ini, maka wacana efisiensi adalah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Namun komunikasi publiknya terlihat amburadul. Mestinya, publik harus bisa menangkap pesan optimistis; bukan rasa cemas dan khawatir. Jika kita mengikuti wacana Presiden Prabowo maka di sana ada pesan yang substansial, yang sudah ia sampaikan sejak pemilu 2014: “Bocor!!!” Jadi bukan sekadar soal tekanan fiskal, tapi ada agenda yang lebih strategis. Inilah yang semestinya menjadi isu utama. Niscaya jika hal ini yang dikedepankan maka pesan yang sampai ke publik adalah rasa optimistis dan dukungan dari publik.
Prabowo sudah meneriakkan kebocoran anggaran sejak Pemilu 2014, dan dilanjutkan pada Pemilu 2019. Namun lawan-lawan politiknya memelesetkannya ke dalam guyonan iklan cat anti bocor dengan aksen bule berbahasa Indonesia. Itulah teknik propaganda men-down grade propaganda lawan. Orang menjadi lupa pesan substansialnya. Pada pemilu 2024, Prabowo tidak lagi mengutamakan wacana kebocoran anggaran. Ia mengikuti selera kebanyakan orang Indonesia: berjoged dan poster gemoy yang unyu-unyu serta jingle “OK Gas, OK Gas” yang diambil dari lagu Gorontalo yang memang riang gembira.
ADVERTISEMENT
Setelah menang, ia kembali ke tujuan awalnya: BOCORR… BOCORR!!!
Mengapa isu kebocoran menjadi isu sentral Prabowo? Kita harus akui ekonomi Indonesia tidak efisien alias ekonomi berbiaya tinggi. Ini yang membuat investor malas datang ke Indonesia dan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak optimal. Hal inilah yang sudah diingatkan Sumitro Djojohadikusumo sejak 1993, ayah Prabowo. Sumitro dikenal sebagai begawan ekonomi dan Bapak Ekonomi Pembangunan Indonesia. Ia besan Soeharto, penguasa Orde Baru, namun dikenal sebagai orang yang berbicara apa adanya. Mungkin itu sudah bawaan sebagai orang Banyumas, yang dikenal dengan budaya cablaka, cekak aos blakasuta–baik buruk disampaikan apa adanya.
Saat itu, pada kongres ke-12 ISEI di Surabaya, Jawa Timur, November 1993, Sumitro menyampaikan bahwa tingkat kebocoran dana pembangunan di Indonesia selama Pelita V mencapai 30 persen. Sontak saja pernyataan itu membuat geger. Pernyataan itu dibantah Mensesneg saat itu, Moerdiono. Walau ia mengakui ada kebocoran tapi tak percaya angkanya 30 persen.
ADVERTISEMENT
Ketua BPK saat itu, JB Sumarlin menyatakan bahwa angka 30 persen itu terlalu prematur. Namun ia mengakui terjadi pemborosan akibat pengelolaan yang tak efisien. Hal itu terjadi akibat perencanaan yang buruk atau perencanaan baik tapi pelaksanaan awut-awutan. Atau juga karena mental aparat yang jelek. Sudaryono, ketua BPKP saat itu, berjanji untuk menyempurnakan sistem pengawasan. Ia mengaku sulit mengontrol efektivitas penggunaan dana pembangunan karena lemahnya sistem pengendalian manajemen pemerintah. Akhirnya Soeharto memanggil Sumitro ke Cendana, rumah kediamannya.
“Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik. Tapi ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah,” kata Sumitro kepada Soeharto.
Dasarnya adalah dengan melihat besaran Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau nisbah tambahan investasi terhadap tambahan hasil yang diperoleh dari investasi. Besaran ICOR memang merupakan parameter untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan anggaran, termasuk hasil produksi dari ivestasi yang ditanamkan. Semakin tinggi angka ICOR berarti tingkat efisiensi kian rendah, begitu sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang ada, selama Pelita V, total nilai investasi Rp 123 triliun atau 33 persen dari produk nasional, sedangkan pertumbuhan ekonominya rata-rata 6,8 persen.
“Dari data itu, bisa dihitung ICOR Indonesia terletak pada titik 4,9! Angka tersebut menunjukkan bahwa untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi satu persen diperlukan investasi sebesar lima persen dari PDB. Padahal angka ICOR di negara ASEAN lainnya, kecuali Filipina, berkisar 3-3,5. Dengan struktur ekonomi yang hampir sama, ICOR Indonesia juga selayaknya pada tingkat 3,5. Untuk mencapai ICOR ini, berarti laju pertumbuhan Indonesia selama Pelita V mestinya berkisar pada angka rata-rata 11 persen per tahun,” kata Sumitro.
Dengan ICOR 4,9 merupakan pertanda ekonomi biaya tinggi yang menimbulkan pemborosan dan kehangusan (waste and loss) yang secara kasar sekitar 30 persen dari investasi. Angka 30 persen itu merupakan selisih antara ICOR empiris (4,9) dan yang sewajarnya (3,5). Selisih inilah yang disebut pemborosan atau inefisiensi penggunaan dana pembangunan. Kebocoran ini melalui tiga lubang: penyaluran, operasional, dan pemeliharaan, plus dilengkapi dengan korupsi dan komersialisasi jabatan.
ADVERTISEMENT
“Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30 persen bukan datang dari langit,” kata Sumitro.
Faktor-faktor ICOR yang tinggi adalah karena suku bunga tinggi, hambatan struktur pasar, kaitan antar-industri yang lemah, pengelolaan yang tidak profesional, dan layanan publik yang mahal. Juga karena korupsi, pungli, dan birokrasi yang berbelit-belit. Selain itu ada faktor mark up. Intinya ada pada aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan. Bahkan Sumitro menyebut Jl Sudirman sebagai Boulevard of the Former Smugglers (Bulevar para bekas penyelundup) yang merupakan plesetan dari lukisan berjudul The Boulevard of Broken Dreams, karya Gottfried Helnwein (1984).
Itulah penjelasan Sumitro saat itu, seperti ditulis dalam buku biografinya. Sesuai teori ekonomi, besaran ICOR yang wajar adalah berkisar pada angka 3-4. Namun saat itu, ICOR Indonesia adalah 4,9. Nah selisih itulah yang kemudian ditafsirkan sebagai kebocoran alias inefisiensi alias pemborosan anggaran. Pengertian sederhana ICOR adalah efektivitas investasi terhadap pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Intinya adalah duit jangan digunakan, bahkan jangan dihambur-hamburkan, untuk hal yang tidak produktif. Misalnya membangun bandara tapi bandaranya tak dipakai; membangun sesuatu tapi belum dibutuhkan benar, proporsi anggaran untuk acara seremonial yang berlebihan, untuk studi banding yang hasilnya tak sebanding dengan biayanya, untuk perjalanan dinas yang tak jelas, honor kegiatan untuk banyak orang kantor padahal yang kerja cuma sebagian orang saja, pembangunan suatu proyek yang mestinya selesai dalam satu anggaran ternyata dibuat untuk beberapa kali anggaran, masalahnya A tapi yang dikerjakan B, tunjangan untuk pihak yang tak memiliki kaitan dengan tupoksi seperti untuk istri/keluarga pejabat, perizinan berbelit, birokrasi yang rumit, dan seterusnya.
Berapa angka ICOR Indonesia sekarang? Apakah membaik setelah reformasi? Justru sebaliknya: makin buruk. Angkanya menjadi 6,33 pada 2023. Menurut hitungan Eko B Supriyanto, pemimpin redaksi Infobank, itu berarti terjadi kebocoran anggaran hingga 70 persen. Sebuah angka yang fantastis. Rakyat nangis darah akibat ketidakbecusan birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
ADVERTISEMENT
ICOR Indonesia di masa Jokowi rata-rata pada angka 6,8, di masa SBY rata-rata di angka 4,08 (berdasarkan hitungan Faisal Basri), dan di masa Soeharto bergerak dari angka 2,9 hingga 6. Ekonom Faisal Basri membuat rata-rata ICOR Indonesia di masa Soeharto dan SBY adalah 4,3. Karena itu rata-rata pertumbuhan ekonomi era Soeharto adalah 6,77% per tahun, di masa SBY 5,72% per tahun, dan di masa Jokowi rata-rata 4,22% per tahun. Angka pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kondisi ICOR.
Jika angka inefisiensi mencapai 70 persen, bisa dibayangkan berapa nilainya. Belanja APBN 2025 bernilai Rp 3.621,3 triliun. Dari nilai tersebut, ada dua yang tidak bisa diutak-atik, yaitu untuk bayar utang dan untuk belanja pegawai. Pada APBN 2025, pembiayaan utang mencapai Rp 775,9 triliun dan belanja pegawai mencapai Rp 513,22 triliun. Sehingga total nilai yang tidak bisa diefisienkan adalah Rp 1.289,12 triliun. Dengan demikian masih ada anggaran Rp 2.332,18 triliun. Inilah pos yang bisa diefisienkan.
ADVERTISEMENT
Jika inefisiensi mencapai 70 persen, maka ada Rp 1.632,526 triliun yang bisa diefisienkan. Katakan, 50 persen saja yang bisa diefisienkan, maka nilainya Rp 1.166,1 triliun. Namun di Inpres No 1 Tahun 2025, perintah efisiensi bernilai Rp 306,695 triliun. Itu artinya cuma 13 persen yang bisa diefisienkan. Saat berbicara di Mandiri Investment Forum 2025, Ahad, 16 Februari 2025, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, efisiensi akan dilakukan tiga putaran, dengan nilai total Rp 750 triliun. Ini berarti nilai efisiensinya 32 persen. Jadi masih berpatokan pada angka inefisiensi yang disampaikan Sumitro pada 1993. Padahal ICOR Indonesia saat ini sudah jauh lebih tinggi.
Fokus Prabowo
Dalam buku Prabowo yang berjudul "Membangun Kembali Indonesia; Strategi Besar Transformasi Bangsa" (terbit 2013), ada sub judul: Pemerintahan yang Lemah, Tidak Efisien, dan Korup. Poin ini ia sebut sebagai tantangan ketiga dari empat tantangan utama. Ia membuat bagan lingkaran setan akibat dari pemerintahan yang lemah. Jadi soal inefisiensi merupakan akibat langsung dari pemerintahan yang lemah. Ia mencatat bahwa tantangan ini sulit dikuantifikasi tapi nyata dan aktual (halaman 90).
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Prabowo menerbitkan dua buku. Pertama, buku yang berjudul "Paradoks Indonesia; Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin". Buku ini kemudian terbit ulang dengan judul "Paradoks Indonesia dan Solusinya". Buku kedua berjudul "Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045; Indonesia Menjadi Negara Maju dan Makmur".
Dua buku ini semacam memecah buku awal menjadi dua buku: satu buku membahas masalahnya dan satu buku lagi membahas strategi pemecahannya. Pola penyajiannya pun berubah, dari naratif menjadi mengutamakan poin-pon dan data/statistik dengan sedikit narasi.
Dalam buku Paradoks edisi pertama (Februari 2017), Prabowo membuat subjudul Tugas Kita: Hentikan Kebocoran dan Dorong Produksi Bangsa. Di sini ia bicara tentang mengalirnya kekayaan negara keluar negeri yang harus dihentikan. Tujuannya adalah agar uang yang semula mengalir keluar itu bisa menjadi modal untuk membangun pabrik dan mendorong produksi nasional.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan rakyat Indonesia harus bisa dipenuhi oleh bangsa Indonesia sendiri. Dengan begitu juga akan tercipta banyak lapangan kerja dan mata uang rupiah akan menguat. Untuk itu perlu manajemen yang cepat dan cerdas (halaman 95-96). Di bagian lain ia mencatat Rp 2.349 triliun kekayaan Indonesia mengalir keluar negeri secara gelap pada 2004 hingga 2013. Selain itu 4/10 cadangan devisa Indonesia disimpan di Singapura.
Ia juga menyatakan Rp 11.000 triliun uang milik pengusaha dan perusahaan Indonesia disimpan di luar negeri. Ia juga mengemukakan setiap tahun Rp 1.000 triliun kekayaan nasional mengalir keluar negeri. Pada cetakan ketiga buku Paradoks (Mei 2022), Prabowo menyertakan data kebocoran APBN dengan mengutip data KPK. Potensi kebocoran APBN tersebut mencapai Rp 2.800 triliun per tahun.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Strategi Transformasi Bangsa, ihwal mengalirnya kekayaan nasional (net outflow of national wealth) dibahas cukup panjang (halaman 55-78). Sebagai solusi, pada halaman 207-209, maka menghentikan kebocoran dan membangun produksi nasional harus dijadikan sebagai enablernya.
Di buku-buku yang ditulis Prabowo tersebut sama sekali tak menyinggung tentang ICOR. Tema bocor lebih menekankan mengalirnya kekayaan nasional ke luar negeri, bahkan ia catat sejak masa kolonial Belanda. Walaupun ada sedikit menyinggung tentang efisiensi maupun soal kebocoran APBN, namun tak mendapat pembahasan khusus. Ia juga bertekad membasmi korupsi dan menangkap para koruptor.
Apakah dengan demikian Prabowo tak peduli dengan ICOR? Bukankah di semua bukunya ia menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa dua digit (di atas 10 persen) untuk mengejar ketertinggalan dan berburu waktu berakhirnya fase bonus demografi pada 2035? Ia juga mengejar pendapatan per kapita 13 ribu dolar AS per tahun agar Indonesia bisa lolos dari jebakan middle income trap.
ADVERTISEMENT
Mungkin tema ICOR terlalu rumit untuk ditulis dalam bukunya yang cenderung praktis dan pragmatis. Namun pada 10 Desember 2024, Prabowo berbicara tentang ICOR Indonesia yang tinggi, lebih tinggi daripada ICOR negara-negara tetangga. Prabowo menyatakan ketidakefisienan itu bernilai 30 persen. Tampaknya Prabowo masih menggunakan data lama saat dikemukakan ayahnya, Sumitro. Padahal sekarang sudah jauh lebih tinggi lagi.
Esoknya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga bicara tentang ICOR Indonesia yang tinggi. Bulan berikutnya, 13 Januari 2025, Airlangga bicara lagi soal ICOR. Menurutnya, Presiden Prabowo menginginkan ICOR Indonesia di angka 4 sehingga bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Tentu saja ICOR Indonesia yang tinggi ini sangat memalukan. Hanya dua sebabnya: bodoh dan korup. Bodoh karena tak bisa membangun sistem dan mekanisme yang efisien; korup karena memang ada yang dikorupsi. Sebagai perbandingan, pada 2023, ICOR Filipina 3,4, Thailand 4,4, Malaysia 4,5, dan Vietnam 4,6. Pada 2021, Vietnam bisa 3,7. Jika Indonesia terus bocor, boros, dan tidak efisien maka Indonesia akan menjadi negara bongsor yang keropos. Di desa, dikenal jenis tebu blengong: besar tapi hambar. Seperti orang bertubuh tinggi besar tapi bloon.
ADVERTISEMENT
Di akun Instagram Gerindra yang diupload Jumat, 14 Februari 2025, tertulis,
Tampak ada rasa gusar dan geram dari partainya Presiden, bahkan sudah menuding ada pihak-pihak yang bermain di pemerintahan. Kegeraman itu wajar saja karena semuanya sudah tertulis jelas di Inpres No 1 Tahun 2025. Namun rupanya Presiden tak memiliki menteri atau juru bicara yang benar-benar mau dan bisa menjelaskannya dengan diksi dan narasi yang benar serta membangun optimisme. Yang muncul adalah kegaduhan dan rasa cemas. Padahal efisiensi ini tak perlu berbelok ke mana-mana. Karena seperti kata Gerindra, hanya ingin “membuang lemak anggaran”.