Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jembatan para Sahabat Samurai
14 Juli 2023 9:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Miaga Tanaka, umurnya 30 tahun. Rambutnya gondrong. Untuk menjaga uraian rambutnya yang tergerai, ia mengenakan bandana hitam. Sambil cas-cis-cus dengan Bahasa Inggris, satu tangan memegang mic, satu tangan menjadi bagian dari ekspresinya saat berbicara. Namun ada hal lain, topinya diikatkan di lengan tangannya. Benar-benar penampilan seorang milenial.
ADVERTISEMENT
“Mohon maaf, saya satu-satunya yang ada di sini yang tidak bisa berbahasa Jepang,” katanya, Senin, 10 Juli 2023. Ia menerangkan tentang website yang ia kelola dan juga akun-akun media sosial yang ia kelola.
Hari itu, Senin, 10 Juli 2023, di rumah-kantor di Jalan Tebet Barat Raya ada kesibukan yang lain. Ada peresmian Galeri Sejarah Persahabatan. Yang hadir bukan orang sembarangan. Ada Ketua Majelis Umum Partai Demokrasi Liberal (LDP) Jepang, Tatsuo Fukuda. LDP adalah partai berkuasa di Jepang.
Fukuda adalah anggota parlemen Jepang . Ia juga anak Yasuo Fukuda dan cucu Takeo Fukuda, keduanya mantan perdana menteri Jepang. Tatsuo juga diperkirakan akan menjadi perdana menteri Jepang di masa datang. Hadir pula Kenji Kanasugi, duta besar Jepang untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namanya memang galeri , tapi sebetulnya itu semacam museum. Di sana ada samurai, piagam, seragam, dan beragam benda-benda peninggalan maupun kliping-kliping pemberitaan. Galeri ini didirikan oleh Yayasan Warga Persahabatan.
Lalu apa pentingnya galeri ini di sudut permukiman padat namun dihadiri orang-orang penting Jepang? Di sinilah uniknya. Hal ini sudah tergambar dari hadirin yang datang di acara itu. Semuanya warga Indonesia beretnik Jepang. Mereka adalah generasi ketiga para prajurit Jepang yang memilih menjadi warga Indonesia setelah Jepang kalah perang pada Perang Dunia II.
Ada sekitar 1.000 prajurit samurai yang memilih tetap tinggal di Indonesia setelah Indonesia merdeka. Mereka menjadi bagian dari pasukan gerilya bersama-sama dengan para pejuang Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka bertempur melawan pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui Agresi Militer I dan Agresi Militer II.
“Sebagian besar gugur. Yang bisa bertahan hidup ada 324 orang,” kata Heru Santoso, pemimpin Yayasan Warga Persahabatan.
ADVERTISEMENT
Setelah perang revolusi berakhir, setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia lewat Konferensi Meja Bunda pada 1949, para prajurit Jepang itu menjadi warga negara biasa. Ada yang menjadi petani, ada yang berdagang, ada yang berbisnis, ada yang menjadi pegawai. Mereka terpencar-pencar dan terlibat di medan pertempuran di banyak lokasi di Indonesia.
Karena itu, usai perang, mereka mulai saling kontak dan membentuk paguyuban, yang kini berbentuk yayasan. Sebagian mengganti namanya, sebagian tetap dengan nama semula. Ada yang bernama Bustami, Subagio, Jacob, Usman, Husein, dan ada pula yang bernama Kumpul. Mereka menikah dengan warga Indonesia.
Jacob, misalnya, bergerilya di Aceh di Batalyon X, Resimen V, Divisi X. Hal itu bisa dilihat pada piagam Bintang Gerilya yang dipajang di galeri. Anugerah itu ditandatangani Presiden Sukarno pada 10 Agustus 1958. Pangkat terakhir Jacob adalah Sersan Mayor, dengan jabatan Komandan Batalyon Benteng.
Dalam piagam itu tertulis dengan jelas bahwa alasan pemberian anugerah tersebut: “Atas djasanja di dalam perdjoangan gerilja membela kemerdekaan negara”.
ADVERTISEMENT
Jacob menikah dengan gadis Tionghoa asal Medan, Nellywaty. Mereka dikarunia empat anak, salah satunya Heru Santoso. Nama Jacob sebelumnya adalah Eto Shichio. Usman (Takashi Komatsu) yang bergerilya di Sumatera Selatan memiliki pangkat terakhir letnan satu. Ia juga mendapat bintang gerilya.
“Ada 28 orang yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Sedangkan 37 pahlawan lagi dimakamkan di berbagai taman makam pahlawan di berbagai tempat di Indonesia,” kata Heru.
Saat ini, sudah tak ada lagi prajurit samurai tersebut. Semuanya telah meninggal dunia. Sakari Ono adalah prajurit yang terakhir meninggal, yaitu pada 2014. Saat ini, sudah muncul generasi ketiga, termasuk Miaga Tanaka (30 tahun) dari keluarga Tanaka Yukitoshi (berganti nama menjadi Abdul Roshid Tanaka). Yukitoshi dikubur di Yogyakarta dan beristrikan wanita Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Dari 324 prajurit yang selamat dari perang, kini sudah berkembang menjadi 5.000 orang keturunannya. Kisah mereka dibukukan oleh Cho Yohiro, mantan kepala sekolah Jepang di Surabaya.
Tatsuo Fukuda sangat khusyuk menyaksikan film dokumenter yang diputar di ruangan itu. Dia tak menengok kanan-kiri. Wajahnya selalu lurus. Suasana memang menjadi syahdu. Bisa dibayangkan, para pemuda tanggung, yang saat itu berusia 20 tahun, ditugaskan perang ke negeri asing.
Jepang yang berubah menjadi ekspansionis menduduki negara-negara di Asia Pasifik. Mereka mengusir penjajah Barat—Belanda, Prancis, Inggris, Rusia, dan sebagainya—dan kemudian melakukan pendudukan militer.
Beraliansi dengan Italia dan Jerman, Jepang terlibat Perang Dunia II melawan pasukan sekutu. Semua berakhir setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah dan menarik pasukannya.
ADVERTISEMENT
Pasukan Sekutu kemudian mendaratkan pasukannya untuk mengembalikan penjajahan Barat atas negeri-negeri Asia dan Afrika, termasuk mengembalikan Belanda ke Indonesia. Ternyata tak semua prajurit samurai memilih pulang, sebagian kecil mereka memilih bergabung dengan pasukan Indonesia. Jika tahun 1945 berusia 20 tahun, maka mereka direkrut menjadi tentara di usia remaja.
“Mereka tak memiliki masa muda,” kata Heru.
Dalam film tersebut, Hideo Fujiyama, dengan kaki yang sudah mulai rapuh dan dengan menyangga tongkat, berkeliling mencari kuburan teman-temannya. Sesekali ia duduk di atas rumput. Ia luruskan kakinya. Ia juga menunjukkan dua jari tangannya yang putus terkena serpihan bom. Saat menemukan kuburan yang ia maksud, ia menyalakan hio dan merapalkan doa.
“Saya meluangkan waktu khusus untuk datang ke acara ini. Berpolitik itu bukan hanya soal rasio, tapi yang utama adalah hati. Dengan datang langsung saya menjadi tahu hatinya,” kata Tatsuo Fukuda, saat berpidato. Fukuda seolah hendak menerawang tentang para prajurit samurai yang memilih Tanah Air Indonesia.
Kato Hiroaki, warga Jepang yang banyak tinggal di Indonesia , menutup acara dengan menyanyikan sebuah lagu yang ia ciptakan sendiri. Ia menyanyikan dalam dua bahasa, Jepang dan Indonesia. Lagu itu berbicara tentang cinta Indonesia dan cinta Jepang, yang diasosiasikan melalui kesamaan warna bendera kedua negara: Merah dan Putih.
ADVERTISEMENT
Galeri ini seolah menjadi pertanda baru hubungan Indonesia-Jepang yang tahun ini berusia 65 tahun. Persahabatan sejati adalah bukan soal ekonomi dan politik, tapi membangun peradaban bersama, dan hal itu dimulai dengan hati. Galeri memang simbol peradaban. Itulah masa depan.