Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Makna Tanah dalam Budaya Jawa
14 Februari 2022 16:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Sing sapa rebutan bandha kang marakake crahing negara lan bangsa, iku dudu laku kang utama awit wekasane rusak negarane”.
ADVERTISEMENT
Jawa memiliki sejarah yang panjang karena itu memiliki budaya yang tinggi, karakter kuat, dan akar yang kokoh. Itu yang membuat Jawa demikian kokoh. Budaya apa pun yang masuk akan diserap lalu luruh dipermak menjadi berwarna Jawa. Petatah-petitih atau filosofi budaya Jawa yang mengawali tulisan ini memiliki pesan yang dalam kepada siapa pun. Inilah artinya: “Barang siapa berebut harta benda yang menyebabkan retaknya negara dan bangsa, itu bukan tindak mulia sebab akhirnya rusak negaranya”.
Bandha atau harta itu termasuk tanah. Tanah dalam budaya Jawa memiliki posisi yang tinggi. Karena itu jangan macam-macam dalam hal tanah di bumi Jawa. Perang Diponegoro, walau memiliki komplikasi yang tinggi, juga ada faktor pengukuran tanah oleh kolonialis Belanda, yang menjadi penyebabnya. Perang inilah yang membuat kas pemerintahan kolonial Belanda bangkrut. Kasus tanah untuk lokasi Waduk Kedungombo telah membuat penguasa otoriter Soeharto terpontal-pontal.
ADVERTISEMENT
Tanah bagi orang Jawa memiliki bobot spiritual. Karena itu, dalam budaya Jawa, tanah disebut dengan “siti”. Makna “siti” adalah “yang mulia” atau “yang terhormat”. Karena itu, tanah bagi orang Jawa termasuk ke dalam “raja peni”. Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia, menyatakan bagi orang Jawa segala sesuatu yang berharga akan diberi awalan kata “raja”. Untuk benda yang berharga diberi nama “raja peni”. Raja bagi orang Jawa adalah sakti, suci, dan wakil Tuhan di bumi. Jika tanah diposisikan sebagai “raja peni”, maka tanah menjadi bermakna spiritual, yang harus dijaga dan memiliki ikatan batin.
Karena itu, dalam konteks keseimbangan ekosistem, dalam budaya Jawa ada pepatah “ibu tanah, bapa angkasa”. Tanah adalah ibu, udara adalah ayah. Ibu dan ayah harus harmoni untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namun juga di sini menjadi penting untuk dipahami bahwa tanah adalah ibu. Ia yang melahirkan dan memberi penghidupan bagi anak-anaknya, yaitu segala yang tumbuh dan hidup di atasnya, termasuk manusia. Itulah makna tanah bagi orang Jawa.
ADVERTISEMENT
Tentang selisih soal tanah di Jawa ini, dalam konteks untuk pembangunan dan kemaslahatan yang lebih besar, dan juga untuk membenarkan langkahnya, Soeharto menggunakan ajaran-ajaran luhur budaya Jawa. Saat itu, untuk kasus Kedungombo, Soeharto menyatakan bahwa untuk kepentingan yang lebih besar maka dibutuhkan pengorbanan dari semua pihak. Soeharto mengatakan, “Jer basuki mawa bea.” Makna luasnya adalah segala keberhasilan membutuhkan pengorbanan.
Namun, terkadang kekuasaan berjalan dengan logikanya sendiri. Misalnya soal besaran ganti rugi yang tak sesuai, proses negosiasi yang tak sempurna, atau pola timbal-baliknya yang tak bisa diterima. Dalam kasus Wadas, misalnya, ada usulan yang menarik dari Arsul Sani, wakil ketua DPR RI dari PPP. Menurutnya, mengapa pemerintah tidak membeli batu dari masyarakat dan bukan membebaskan lahan milik masyarakat. Dengan demikian, katanya, masyarakat tak kehilangan lahannya namun tetap dapat duitnya.
ADVERTISEMENT
Hal itu, katanya, sudah terjadi di berbagai tempat. Ini tentu usulan yang sangat bagus. Toh, tujuan pembangunan adalah menyejahterakan warga. Dengan pembebasan lahan maka warga kehilangan tanah dan lingkungannya yang sudah mengikatnya secara turun temurun. Padahal lahan itu bukan hanya untuk tempat tinggal tapi juga sebagai ladang penghasilan. Selain itu, melalui pembebasan lahan maka yang diuntungkan hanya pengusahanya saja karena bisa lebih hemat biaya.
Pendekatan budaya dan kesejahteraan ini akan menghindarkan kita semua dari perseteruan politik. Karena kasus Wadas saat ini lebih diramaikan oleh preferensi politik. Padahal masyarakat di bawah hanya ingin ketenangannya tak diganggu. Polisi juga tak harus berhadap-hadapan dengan masyarakat. Biarkan pertarungan politik itu di tingkat elite dan saat pemilu saja. Selebihnya kita adalah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ada baiknya kita merenungi ujaran-ujaran Jawa yang sangat bernilai ini: “Aja mung kepengin menang dhewe kang bisa marakake crahing negara lan bangsa, kudu seneng rerembugan njaga ketentrama lahir batin (Jangan hanya ingin menang sendiri yang dapat menyebabkan perpecahan negara dan bangsa, melainkan harus senang bermusyawarah demi menjaga ketentraman lahir batin).
Budaya Jawa sangat meluhurkan ketentraman dan keharmonisan, namun budaya Jawa juga dikenal cadas. Tentang hal ini, Tome Pires, penjelajah dari Portugal berabad lampau, mencatat orang Jawa seperti ini: “Tidak ada bangsa-bangsa lain di mana para prianya amacos (pengamuk) seperti yang ada di Jawa. Amacos berarti para pria yang berani mati”. Pires memang bukan peneliti, namun ia seorang penjelajah berbagai negeri, yang tentu bisa membanding-bandingkan setiap negeri yang ia jelajahi. Ia menggambarkan karakter para penduduk Nusantara, namun untuk Jawa ia gambarkan seperti itu.
ADVERTISEMENT
Nah, dalam kaitan ini, ada ujaran Jawa lain yang sangat ‘berbahaya’: “Sadhumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati”. Artinya, satu sentuhan dahi, sejari bumi, bertaruh mati. Berani menyentuh sejengkal tanah saja bisa bertaruh nyawa. Tanah demikian sakral bagi orang Jawa.
Aja dumeh kuwasa, mundhak kena walade (Jangan sok kuasa, nanti kena akibatnya).