Sultan Energik Itu Telah Mangkat

Nasihin Masha
Wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan
Konten dari Pengguna
22 Juli 2020 10:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat. (Dok.ciremaitoday)
zoom-in-whitePerbesar
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat. (Dok.ciremaitoday)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selasa (21 Juli 2020) malam, Tisna Hariri berkirim kabar. Salah satu abdi dalem Keraton Kasepuhan Cirebon itu meminta doa agar Sultan Sepuh XIV PRA (Pangeran Raja Adipati) Arief Natadiningrat yang sedang sakit, bahkan dalam kondisi kritis, segera diberi kesembuhan. Saya pun meneruskan pesan itu ke beberapa grup untuk minta doa yang sama. Pagi ini, Kang Embie C Noer, seniman dan adik almarhum Arifin C Noer, mengabarkan di grup WhatsApp bahwa Sultan telah mangkat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, semoga husnul khatimah.
ADVERTISEMENT
Sultan lulusan Fakultas Ekonomi Uninus Bandung ini bertakhta sejak 9 Juni 2010, 40 hari setelah ayahnya, Sultan Sepuh XIII PRA Maulana Pakuningrat (bertahta 1969-2010), mangkat. Dua bulan lagi, usianya baru 55 tahun. Ia bertakhta saat usianya menjelang 45 tahun, tepatnya 44 tahun 9 bulan (Lahir 5 September 1965). Sultan dikaruniai tiga putra dan satu putri. Pria lulusan SMAN 2 Cirebon angkatan 1984 ini telah mengangkat salah satu putranya sebagai putra mahkota, yang bergelar Elang Raja. Elang adalah gelar pangeran di keraton Cirebon, semacam raden di Jawa.
Saya beruntung bisa mengenal raja yang sahaja ini. Beberapa kali saya dan keluarga bisa bersilaturahim ke keratonnya, ia bersedia menghadiri pernikahan dua adik saya, dan saya diundang untuk menghadiri malam Panjang Jimat. Malam Panjang Jimat adalah upacara sakral. Orang Cirebon menyebutnya malam Pelal, puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di keraton. Jika di keraton Yogyakarta bernama malam Sekatenan, dari syahadatain. Malam Panjang Jimat adalah ketika pusaka-pusaka keraton dikeluarkan untuk dicuci dan dibersihkan. Berhari-hari sebelumnya, masyarakat sudah berduyun-duyun ke keraton dan di alun-alun. Mereka datang dari berbagai wilayah. Terjadi keramaian yang luar biasa. Jejaring keraton akan berdatangan, termasuk para kuncen-kakek saya dari pihak ibu adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
Biasanya terjadi praktik mistik dan bagi kaum agama menjadi musyrik, karena air bekas cucian benda-benda pusaka itu dipercaya masyarakat mengandung khasiat. Namun Sultan Sepuh XIV menerangkan bahwa “panjang” itu secara harfiah adalah bentuk piring dan nampan yang besar memanjang. Di nampan dan piring itu diletakkan benda-benda pusaka, yang disebut “jimat”. Kata jimat ini, menurut Sultan, berasal dari “siji sing dirumat” (satu yang dirawat) atau “diaji lan dirumat” (dipelajari dan dirawat). Apa itu? “Kalimat tauhid,” kata Sultan. Karena itu benda pusaka yang dikeluarkan tepat pada 12 Rabiul Awwal, hari kelahiran Rosul, dibawa dari bangsal tempat sultan bertakhta lalu menuju masjid. Di sini ada pembacaan shalawat (doa untuk Nabi) dan barzanji (syair tentang Nabi). Makanan yang ikut dalam iring-iringan untuk dimakan bersama.
ADVERTISEMENT
Namun cukup lama saya tak berkomunikasi dengan Sultan, terakhir bertemu secara tak sengaja di tempat makan saat berhaji tahun lalu. Namun tak sempat bicara banyak, karena terlalu ramai. Sultan Arief orang yang ramah dan tak memperlihatkan ke-raja-annya. Ia seperti orang kebanyakan. Saat ke keraton, ia bahkan seperti pemandu wisata. Mengajak berkeliling mengenalkan seluk beluk keraton. Di tangan Arief, keraton Kasepuhan menjadi hidup lagi. “Saat saya baru menjabat, kondisi keraton memprihatinkan,” katanya, mengenang.
Ya, Sultan Arief berhasil merevitalisasi keraton yang menua itu menjadi bergairah lagi. Sejak kolonialis Belanda menancapkan kukunya makin dalam ke seluruh Nusantara, seluruh aset keraton diambil alih Belanda. Karena itu, ketika merdeka, keraton menjadi lembaga tua yang miskin. Khusus untuk keraton yang tak bisa ‘diajak’ berdamai dan selalu berperang akan dibumihanguskan seperti keraton dan kesultanan Banten. Hingga kini, keraton Cirebon masih memperjuangkan tanah perkebunan di Sumedang, Subang, dan Indramayu yang dikuasai BUMN. Karena saat Belanda menguasai tanah-tanah itu secara paksa tapi tetap melalui perjanjian sewa-menyewa di atas kertas.
ADVERTISEMENT
Namun Sultan Arief tak kehilangan akal untuk menghidupkan keraton sebagai warisan budaya, bukan sekadar aset keluarga tapi sebagai warisan sejarah dan sosial. Tak hanya menjadi penjaga tradisi keluarga tapi juga menjaga nilai-nilai sosial. Karena itu, saat dilantik menjadi raja, Sultan bertekad untuk menjaga tradisi dan budaya sebagai kekayaan nasional. Maka yang pertama ia lakukan adalah membereskan lingkungan keraton. Rumput-rumput yang tinggi dibabat. Bangunan dirapikan. Secara kebetulan, saat ia bertakhta, ekonomi sedang menggeliat. Masyarakat sedang keranjingan wisata, kuliner, dan sadar tentang sejarah dan budayanya. Maka ia membuka keratonnya sebagai destinasi wisata budaya. Relasinya yang kuat dengan banyak kalangan ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ia mengundang mereka datang ke keraton dan menjadi berita di media massa. Ia juga membentuk tim abdi dalem anak-anak muda yang energik dan tak feodal. Pada saat bersamaan, setelah Jusuf Kalla menjadikan batik sebagai pakaian seragam tiap Jumat, batik Trusmi Cirebon menjadi booming. Cirebon menjadi booming sebagai destinasi warga Jakarta. “Alhamdulillah pemasukan karcis masuk keraton bisa untuk membiayai perawatan keraton dan menggaji abdi dalem,” kata Sultan. Keraton Cirebon yang mulai dilupakan orang mulai menggeliat lagi.
ADVERTISEMENT
Sultan Arief terus bergerak. Ia membangun museum benda-benda pusaka. Ia letakkan di bagian depan. Bangunannya cukup megah. Keris, kereta barong (kombinasi budaya Hindu-Budha, China, dan Islam menyatu dalam ragam ular naga, burung garuda, dan burok), kitab-kitab tua, gamelan, tombak, dan segala macam benda peninggalan lainnya. Untuk masuk museum ini butuh karcis lagi. Bagian belakang keraton yang tadinya kebun tak terurus ia sulap menjadi bangsal untuk pertunjukan seni maupun untuk pernikahan. Selain itu juga dibangun rumah makan dengan citarasa keraton. Kawasan Gua Sunyaragi yang luas masih terus ia tata menjadi kawasan wisata yang dikombinasi dengan kawasan bisnis. Yang masih menjadi kegelisahannya adalah tentang kawasan pemakaman sultan di Gunung Jati. Hal ini tak mudah, karena keraton Cirebon yang terpecah menjadi empat (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabonan) tetap menyimpan bara dalam sekam. Kita sebagai masyarakat tentu sedih. Generasi kini tak butuh pertikaian masa lalu, tapi kami butuh sejarah masa depan.
ADVERTISEMENT
Sebagai raja yang berwawasan jauh ke depan, Sultan Arief butuh energi yang lebih besar. Karena itu ia pernah menjadi anggota DPD RI. Hal ini membuat dirinya memiliki pergaulan yang lebih luas dan memiliki banyak akses. Namun ia merasa cukup satu periode saja. Ia pernah mencoba untuk maju menjadi bupati Cirebon, tapi gagal. Ia tak punya uang. Padahal ia cukup memiliki popularitas.
Betapa lapuknya keraton Kasepuhan terlihat dengan tiadanya bendera kesultanan. Padahal itu simbol yang menjadi energi dan jejak masa lalu. Karena itu Sultan Arief mencari warisan nenek moyangnya itu. Akhirnya ia temukan gambarnya dari sebuah museum. Sedangkan bendera aslinya, katanya, dibawa penjajah Belanda. Karena itu ia membuat replikanya yang kini terpajang besar di dinding ruangan tempat ia menerima tamu. Replika juga ia buat dalam bentuk bendera. Bendera kerajaan itu berupa tulisan Arab surat Al Ikhlas, kaligrafi Macan Ali (ini juga berarti macan putih simbol kerajaan Pajajaran, karena mereka keturunan Prabu Siliwangi juga), pedang rangkap, dan sejumlah tulisan Arab lainnya. Bendera ini berwarna hitam dan tulisan putih. Warna hitam adalah bendera yang biasa dipakai Rasulullah. Bendera Macan Ali juga menjadi panji-panji perang saat Fatahillah membebaskan Batavia, yang kemudian menjadi Jayakarta.
ADVERTISEMENT
Akhir Juni lalu, sempat ada sedikit berita heboh. Ada empat orang yang datang menggembok keraton Kasepuhan. Ia mengaku keturunan yang sah. Tak jelas siapa orang ini. Saat itu Sultan sedang di Bandung, sedang berobat. Kini, kabar dari Bandung datang, Sultan wafat. Ia sedang dirawat karena sakit. Ada masalah di perutnya. Semoga penggantinya bisa melanjutkan apa yang sudah dirintis ayahnya, dan tentu para moyangnya, khususnya Sunan Gunung Jati.