Konten dari Pengguna

Pemuda, Desa, dan Pilkades Serentak

Nasruddin Leu Ata
Departemen Kajian Sosial Politik Candradimuka
1 Oktober 2021 14:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasruddin Leu Ata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pilkades serentak 2021 yang melibatkan 144 desa untuk 9 kecamatan di Kabupaten Lembata ini, menjadi wacana seksi yang terus diperbincangkan. Banyak kemudian di komunitas-komunitas belajar dan organisasi – organisasi daerah menggelar forum diskusi dan kajian tentang desa.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi penting di mana sebagai seorang anak yang lahir, tumbuh dan berkembang dari desa, sudah sepatutnya menjadi bagian dalam prosesi demokrasi di desa itu sendiri. Begitupun ketika anak muda memperbincangkan desa secara tidak langsung ia telah menghidupkan harapan bangsa. Sebab desa merupakan wujud ‘bangsa’ yang paling konkrit. Di level desalah identitas kolektif masyarakat itu dibentuk.
Namun sebelum kita mendiskusikan itu lebih lanjut, mari kita memulainya dengan satu pertanyaan yang sederhana yaitu apa yang kita bicarakan ketika kita berbicara tentang desa?
Pertanyaan semacam ini sengaja dihadirkan mengingat peran kaum muda di desa hari ini hadir persis hanya sekadar event. Maksudnya, mengapa soal desa yang menjadi tema pembahasan hari ini justru karena menjelang Pilkades. Dengan kata lain, kenapa tunggu ada Pilkades baru wacana tentang desa itu diangkat menjadi tema diskusi yang menarik?
ADVERTISEMENT
Hal ini juga yang menjadikan kaum muda kehilangan kepercayaan dalam skema pembangunan di desa. Kehilangan kepercayaan ini dipicu oleh cara kaum muda ini yang mengaku sebagai aktivis dan akademisi dalam menarasikan gagasan cenderung barbar, mempersenjatai diri dengan retorik kaku, yang justru tidak dimengerti banyak orang.
Dalam konteks politik, kaum muda belum mampu merumuskan pikiran bersama ke dalam agenda politik yang representatif. Ditambah lagi dengan cara kaum muda melihat desa masih sama dengan cara ia memandang negara. Padahal secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Desa telah lebih dulu hadir jauh sebelum negara-bangsa modern ini terbentuk.
Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat yang relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Dengan begitu Negara memberi jaminan perlindungan melalui otonomi bagi keberlangsungan nilai-nilai luhur yang ada di desa.
ADVERTISEMENT
Keberlangsungan nilai-nilai luhur inilah yang menjadikan tata kelola di desa berbeda dengan tata kelola negara, begitu pula dengan personifikasi oposisinya jelas tak sama dengan negara.
Kendati demikian, di atas bangunan sosial politik desa itu telah berdiri suatu perangkat kehidupan modern yang kita kenal sebagai nation state (negara bangsa). Nasib desa, pada gilirannya tidak luput dari intervensi negara.
Dalam konteks Pilkades Serentak, banyak hal yang menjadi penyebab kenapa pemilihan kepala desa begitu seksi dan marak diperbincangkan. Selain karena adanya dana desa yang setiap tahun dikucurkan oleh pemerintahan pusat, juga adanya keterlibatan oknum yang masuk “menanam” kepentingan jangka panjang kepada Calon Kepala Desa, sehingga pada saat momentum proses pemilihan yang lain yang bersangkutan akan memanen menagih kepentingan.
ADVERTISEMENT
Persis di situ, peran kaum muda dalam psiko-politik di desa tidak hanya berhenti pada prosesi demokrasi. Tetapi juga bagaimana memberikan pemahaman politik kritis dengan kemampuannya menerjemahkan pikiran dunia hari ini ke dalam bahasa yang sederhana, kendati hidup bukan hanya bernapas tetapi juga tentang pembaharuan dan kemajuan.
Bukit Cinta Lembata, Foto Koleksi Pribadi
Sebagai kaum muda, saya masih percaya napas indepedensi dan idealisme itu masih dipegang teguh. Sungguh pun begitu dalam taraf perjuangan lebih lanjut, keterlibatan Politik Kaum Muda dalam proses pembangunan dan pembaharuan di desa harus dilakukan dengan hati-hati.
Maksudnya, ada upaya-upaya untuk melakukan kajian dan eksplorasi lebih jauh tentang arah dan format penyelenggaraan pemerintah. Berbagai pihak yang berkaitan dengan itu harus perlu duduk bersama dalam menemukan kesepahaman tentang tatanan pemerintahan yang desentralisasi dan sosok pemerintahan yang harus diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari seperti apa sosoknya, simpul perbincangan harus dirajut sebagai agenda bersama dalam mengelola berbagai kepentingan yang terkait. Sebab di desa masih ada nilai-nilai luhur yang harus dijaga dan tingkat keberagaman suku di desa sangatlah tinggi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa sendi utama dari proses pembaharuan adalah perajutan pelbagai bentuk sinergi. Pembaharuan tidak bisa didesain oleh pihak pemerintahan sendiri. Sebaliknya, kolektifitas pikiran itu harus mampu diterjemahkan dalam agenda yang kiranya akan mempermudah upaya untuk menggulirkan aksi-aksi reel untuk mewujudkan perubahan yang telah diagendakan.