Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cinta Santri
19 Maret 2021 14:43 WIB
Tulisan dari Nasrul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bolehkah seorang santri bercerita tentang cinta? Jika boleh, maukah kau membaca kisah cinta ini? Namun, sebelum itu ketahuilah, aku tak begitu peduli dengan diksi, harus begini-begitu, harus terlihat berbeda atau apalah itu, aku hanya ingin bercerita saja.

Jarum pendek jam dinding bergambar masjid itu menunjuk ke arah empat, langit diluar sana masih terlihat gelap, sekali dua embun di dedaunan itu menyatu menjadi suatu gumpalan, lantas semakin berat dan menetes, ditambah lagi dengan hawa dingin di subuh hari mengantarkanku pada tidur yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Kusembunyikan kepalaku di bawah bantal, dan kulapisi pula dengan selimut emyu-ku. Berisik sekali orang yang membentur-benturkan kunci dengan pegangan pintu alumunium itu, "memangnya dari semua santri ini tak ada yang sedang sakit? Penat? Mungkin juga sedang banyak masalah? Sekanak-kanak apa para santri ini hanya sekadar bangun saja dipaksa-paksa,” gerutuku dalam hati.
“TENG! TENG! TENG! TENG!”
“Istaiqizhuu itaiqizhuu ikhwah ikhwah!” Teriak pemegang kunci.
Para santri segera keluar dari kamarnya masing-masing, satu dua santri masih mengucek-ngucek matanya, ada pula yang menyampirkan bajunya di leher, sebagian membawa gayung berisi alat mandi, dan handuknya disampirkan di pundak, dengan langkah kaki jauh-jauh. Semuanya berlarian kecil supaya tak terkunci di asrama, karena jika telat, si pemegang kunci akan melakukan kewajibannya dan yang terlambat tak akan bisa keluar asrama.
ADVERTISEMENT
Aku masih di atas kasurku dan justru harapanku adalah pintu itu cepat terkunci, agar kegaduhan ini segera lenyap, lantas kulanjutkan tidurku, kukatakan pada kawanku yang akan keluar kamar, “Akhi, ana izin ya, sakit ana, "Kataku dengan suara serak dan wajah yang kubuat seolah tak berdaya, ia menganggukkan kepalanya lantas pergi.
Bolehkah santri bercerita tentang cinta? Sakit karena cinta inilah yang membuatku subuh kali ini memilih untuk salat di kamar, sakit yang membuatku memutar sendok untuk mengaduk kopi saja tak berniat, bahkan jika kulakukan setiap adukanya hanya menambah rasa sakit. Apabila kau termasuk pembaca yang tidak suka dengan akhir yang menyakitkan, maka ceritaku ini bukanlah yang cocok untukmu.
Sederhananya aku sudah berpacaran sebelum masuk pondok, setiap Sabtu malam aku selalu main ke kafe dengan pacarku, menggunakan motor ninja kujemput pacarku di depan gang rumahnya, membiarkan angin malam menerpa, lantas bercerita dan tertawa, dipeluknya pinggangku erat-erat, di kafe pun kita hanya bercerita, menghabiskan kopi dan beberapa camilan, tawanya selalu terngiang-ngiang dibenakku, walau kadang aku tak suka, jika tertawa maka tangan kanannya menutupi mulutnya dan tangan kirinya memukul pundakku, selalu begitu, senyumnya juga membuatku senyum-senyum sendiri jika mengingatnya, manis sekali.
ADVERTISEMENT
Waktu itu sehari sebelum aku masuk pondok, lampu kuning khas kafe, musik-musik galau, meja kecil dengan dua kursi, di atas meja sudah ada dua cangkir kopi gayo menjadi temanku dengannya.
“Kamu bakal berapa lama di sana nanti?” Katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Enggak lama kok, aku di sana paling cuma enam bulan," jawabku menenangkanya.
“Kamu jangan aneh-aneh lo di sana, jangan cari yang lain! Nanti aku sentil lo!” Balasnya sembari tangan kanannya ingin menyentil, aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Justru kamulah, aku mana bisa, kan di sana laki semua,” balasku sambil tertawa kecil. “Kamu baik-baik di sini ya, kalau kangen sama aku, sederhana, coba kamu lihat bulan di sana.” Aku menunjuk bulan ia mendongakkan kepalanya. “Bilang sama bulannya, bulan aku lagi rindu!” Lanjutku.
ADVERTISEMENT
“Memangnya bulan di sana bisa bikin kangennya hilang?” Katanya dengan suara bergetar, sebulir air mata itu sudah mulai jatuh.
“Ya mana bisa, mikir dong!” Godaku lantas aku menjauhkan badanku untuk menghindari cubitannya.
Kupegang kedua tangannya lalu kuelus dengan perlahan, setelah itu aku pandang matanya, pandangan kita saling bertatapan, aku menelan ludah.
“Aku pamit ya, doain aku agar aku menjadi lebih baik di sana.” Kukatakan dengan berat.
Ia mengangguk, air mata itu menetes lagi, aku mengusap air matanya dengan jempol kananku, dia tersenyum, senyum terakhir sebelum aku berangkat ke pondok.
Bolehkah santri bercerita tentang cinta? maka inilah bagian yang menyakitkannya.
Ketika aku sudah sampai di pondok, ternyata telepon genggamku harus diserahkan ke pondok, tak ada telepon, Instagram, WhatsApp, Telegram dan lain-lain. Padahal dia sangat menanti kabarku, baru setelah tiga bulan aku boleh menelepon, itupun harus antre dan hanya sepuluh menit.
ADVERTISEMENT
Adakah kau mengira bahwa akhirnya adalah aku meneleponnya dan mendapatkan kabar buruk darinya entah bagaimanapun itu skenarionya? Kau salah besar jika kau mengira seperti itu, lantas bagaimana?.
Sakit hati itu datang bahkan lebih cepat dari tiga bulan.
Sore itu aku sedang duduk di teras masjid bersama dengan kawanku, kita saling bercerita, di tengah-tengah kita ada beberapa camilan bertuliskan “Alfor” di bungkusnya. Tak selang berapa lama lewatlah teman satu kelasku, ia membawa paketannya, kerdus berisi makanan.
“Akhi! kau ada paketan itu di satpam.” Katanya sembari menepuk lututku.
“Beneran?!” Jawabku heran
“Ya gak tau juga ya, tapi namanya namamu,” balasnya
“Syukron, ana lihat dulu.”
Aku bersama kawanku segera menuju ke satpam, “Siapa yang mengirim paket? Ibukukah? Atau pacar?” Pikirku.
ADVERTISEMENT
“Pak mau lihat paketan,” kataku ke pak satpam setibanya di pos.
“Namamu ada?!” Balas pak satpam dengan logat jawa yang kental.
“Ada pak ada,” jawabku pendek.
“Yowes lihat sini!” Perintahnya.
Aku dengan cepat membongkar satu persatu tumpukan paketan itu, ada yang besar, kutengok namanya, ternyata bukan punyaku, kucari lagi, mungkin yang terbungkus plastik ini, aku lihat namanya ternyata juga bukan.
“Ada apa enggak?!” Pak satpam menanyaiku atau mungkin menyuruhku segera pergi.
“Mana sih kok gak ketemu-ketemu!” Kataku dalam hati.
Setelah aku bongkar-bongkar lagi, tenyata paketanku ada di paling bawah.
“Ada ada pak ini,” aku menunjukkan paketanya
Aku tak sabar melihat isinya, ternyata paketanku dikirim oleh pacarku, “Peduli sekali dia sama aku,” aku peluk paketan itu erat-erat dan segera pergi, hatiku terasa berbunga-bunga sekali.
ADVERTISEMENT
“Mau ke mana itu?! Dibuka di sini dulu!” Pak satpam menahanku.
“Oiya pak lupa!” Jawabku.
Kubuka paketku yang seukuran kerdus Indomie ini, tampaklah beberapa camilan dan kopi gayo. Aku, kawanku dan pak satpam melihat isinya. Pak satpam mengangguk-anggukan kepalanya.
“Yaudah tanda tangan dulu terus bawa!” Perintahnya.
“Siap!” Balasku.
Aku dan kawanku tak sabar membuka isi dari paketanku, kita berlari menuju kamarku, untungnya kamarku ketika itu kosong.
“Ayo cepat buka, nanti makan enak kita!” Kata kawanku girang.
Aku dan kawanku mengeluarkan isi paketan itu perlahan, ada kopi gayo di paling atas, kubuka bungkusnya, aromanya kuat sekali, ada juga pisang sale, Bolu Adee, dan Kue Bhoi. Kue Bhoi adalah kue yang paling tepat untuk menemani secangkir kopi, semua camilan ini mengingatkanku masa-masa itu, mengingatkanku masaku dengannya, ketika bercerita dan tertawa di kafe, aku senyum-senyum sendiri mengingatnya.
ADVERTISEMENT
“Kenapa kau?!” Bentak kawanku sambil menepuk pundakku.
“Hehe.. aku keinget dia bro, manis kali dia itu!” Jawabku.
Kawanku yang masih mengorek-orek isi kardus mendapatkan surat undangan pernikahan di paling bawah, dilihat surat undangan itu, masih rapi terbungkus plastik, dibuka perlahan plastik itu agar ia bisa melihat nama yang ada di dalamnya.
“Bro.. bro.. wa..wa..duh ka..kacau!” Kawanku berkata dengan gagap.
“Waduh waduh kenapa? Kau irikah? Memang pacarku itu paling peduli dia," aku membalasnya dengan bangga.
“Bu...bukan..co..coba sebutin na...na ma pa..pa pacar kau,” katanya dengan kedua tangannya masih berada di kerdus.
“Kenapa sih? Kepo banget kau ini, udahlah bilang aja gitu kalau iri kau.” Jawabku santai.
“Sebut cepat penting ini!” bentaknya.
Aku menyebutkan nama depan pacarku, lantas dia menunduk dan menatapku lagi.
ADVERTISEMENT
“Terus nama lengkap bro cepat”
“Buat apa sih?!” Jawabku kesal
“Udaah cepat sebut!”
Aku melanjutkan dengan nama lengkap pacarku, dia kembali menunduk, dan menatapku lagi,lalu ekspresinya berubah menjadi kaget, mulutnya terbuka lebar.
“Kenapa kau?” Tanyaku
Kawanku menarik napas dalam dan dikeluarkanya perlahan.
“Sabar bro, sabar,” balasnya sembari memberiku surat undangan itu.
Aku kaget melihatnya, “Ya Allah jangan-jangan berita buruk, pokoknya jangan berita buruk!” Kataku dalam hati. Kuterima surat undangan itu, tanganku bergetar memegangnya, lantas kawanku memelukku, mengelus-elus punggungku.
“Aku gak iri sumpah, aku gak iri,” bisiknya.
Aku hanya bisa diam.
Terlalu baik istilah bak ditusuk sembilu, macam kaca yang pecah berkeping-keping, atau apalah itu. Alamak sakit kali hatiku ini, baru saja hatiku berbunga-bunga menerima paketan darinya, kopi, dan camilan. Tapi kenapa harus begini?.
ADVERTISEMENT
Kulihat lagi undangan itu, semoga aku salah baca, namun nyatanya tulisan itu tak berubah, dan lebih parahnya lagi, pasangannya adalah sahabatku ketika aku masih di sana, tiap-tiap hari aku jumpa dengannya, dan aku tidak bisa datang ke sana untuk merusak acara itu.
“Bro sumpah bro aku gak iri,” bisik kawanku lagi “Kalau mau nangis, nangis sini, gak ada yang lihat kok!” Lanjutnya sembari mengelus-elus punggungku.
Bolehkah santri bercerita tentang cinta? Begitulah akhir kisah cintaku dengannya, ditikung oleh sahabat sendiri sedangkan aku tak dapat berbuat apa-apa, namun tak selamanya yang aku anggap buruk skenarionya, adalah buruk memang hasilnya.
Cintaku dengannya bukanlah cinta yang berakar keridhaan Sang Pencipta, maka sakit hati yang kudapat adalah layak adanya. Pantaslah bagiku sekarang memperbaiki diri dan meningkatkan takwa, agar esok lusa aku akan dapat skenario cinta terbaik dari Yang Maha Kuasa.