Konten dari Pengguna

Cerita Ramadan dari Mahasiswa Perantauan

Firdaus Algim Nastiyar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia
25 April 2022 20:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Algim Nastiyar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Katerina Kerdi on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Katerina Kerdi on Unsplash
ADVERTISEMENT
Ramadan tahun ini cukup unik. Setelah lamanya dibelenggu oleh kehadiran pandemi, tahun ini menjadi awal baru semarak ramadan penuh bakti. Tentu asyik bisa merasakan kehadiran ramadan yang hanya dapat dijumpai dalam setahun sekali. Kerinduan akan vibes ramadan, hiruk-pikuknya mencari takjil, dan kebersamaan saat salat tarawih. Sekiranya itu yang selalu menjadi bahan bercerita di hari kemenangan nantinya.
ADVERTISEMENT
Apalagi momen dimana bisa berbagi menu berbuka dengan saudara atau tetangga. Rasanya kehadiran ramadan memang selalu menjadi idaman bagi setiap orang. Bulan dimana semua doa dikabulkan, amalan-amalan ditingkatkan, serta pahala dilipatgandakan. Momen ini salah satunya bisa dirasakan oleh beberapa orang sebut saja mereka adalah mahasiswa.

Rindu Menggebu

Berpisah dengan sanak saudara yang jauh dimata bukanlah perkara yang mudah untuk sebagian orang termasuk salah satunya adalah mahasiswa. Bulan dimana semua orang mengharapkan akan hangatnya kebersamaan, kini harus terpisah sementara demi menggapai asa. Momen yang sangat dinantikan bersama keluarga dalam memeriahkan ramadan menjadi babak baru kehidupan mereka yang mandiri.
Rindu akan berjumpa itu tentu pasti ada. Rindu kian menjadi teman dalam menjalani hidup bagi mahasiswa. Apalagi ditambah kehadiran ramadan yang kini dipisahkan oleh jarak. Kendati demikian, penulis menjadi merasa tergugah untuk menanyakan hal apa yang mereka rasakan selama berpisah dengan keluarga di bulan ramadan.
ADVERTISEMENT
Ternyata jawabannya sangat beragam. Mulai dari kerinduan akan suasana dapur rumah, suasana meja makan, serta hewan peliharaan pun kian mereka rindukan. Selain itu, selama ramadan banyak sekali hal yang mungkin tidak didapatkan saat merantau di kota orang. Seperti harus merasakan kesepian saat sahur dan berbuka atau bahkan bisa merasakan seringnya sahur yang terlewatkan. Semua itu telah menjadi bumbu lama mahasiswa hidup di perantauan.
Menarik memang ketika mendengarkan teman-teman mahasiswa dalam menceritakan keluh kesahnya selama hidup sendiri pada bulan suci ramadan. Akan tetapi, keluh kesah menjadi lebih menarik ketika mampu dikisahkan dalam sebuah cerita ramadan. Oleh karena itu penulis mencoba merangkum beberapa cerita mahasiswa yang mungkin dapat menjadi bahan refleksi bagi pembaca. Dengan harapan agar mampu merasakan pula bagaimana menjalani ibadah puasa walau harus terpisahkan oleh jauhnya jarak dengan keluarga tercinta.
ADVERTISEMENT

Mandiri, Hemat, Bersyukur

Tiga kata tersebut mungkin bisa menjadi bahan interpretasi kehidupan mahasiswa yang mandiri. Hal yang menjadi sorotan penulis adalah momen dimana para mahasiswa sungguh merasakan perbedaan akan sepinya suasana pada saat iftar atau buka puasa. Tentu karena kini mahasiswa harus dilakukan semuanya sendirian.
Sebut saja namanya Nova, mahasiswa asal Temanggung, Jawa Tengah yang kini sedang menimba ilmu di kota Yogyakarta. Ramadan tahun ini adalah ramadan perdana ia harus berpisah jauhnya dengan keluarga. Kedekatan dengan keluarga yang semula mampu dirasakan bersama di dapur rumahnya, kini harus terhalang oleh jarak. Hal yang selalu ia pusingkan adalah mau makan apa hari ini? Serta waktu yang harus cukup diluangkan untuk memasak atau membeli menu berbuka puasa dan ketika sahur.
ADVERTISEMENT
Lain cerita, Nia mahasiswa perantauan asal Bali mampu mengambil hikmah dibalik jarak yang menjauhkan dia dari keluarganya. Hidup sendirian di kota orang bagi Nia merupakan sebuah upaya dalam keluar dari zona nyaman. Yang mana, baginya hidup merantau justru mampu menjadi bahan bagi kita melatih mengatasi masalah-masalah hidup secara mandiri. Namun tentu, selama ramadan Nia sangat merindukan masakan rumah serta obrolan hangat setelah berbuka puasa. Terutama masakan ibundanya yang kini mungkin tak bisa dirasakan pada saat merantau.
Last but not least. Bersyukur menjadi kunci utama dalam menjalani puasa di bulan ramadan ini. Meskipun harus terpisah oleh jauhnya jarak bukan semata-mata menjadi halangan kita untuk tetap beribadah di bulan yang penuh berkah ini. Berbagai cerita akan kerinduan mahasiswa perantauan bisa dijadikan refleksi diri akan pentingnya keluarga dalam memeriahkan suasana ramadan. Tentu bukan hanya ramadan saja, keluarga tetap menjadi garda terdepan bagi kita dalam memupuk ibadah demi meraup pahala yang melimpah.
ADVERTISEMENT