Konten dari Pengguna

Sinergi Membangun Malioboro untuk UNESCO

Firdaus Algim Nastiyar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia
21 April 2022 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Algim Nastiyar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Agto Nugroho on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Agto Nugroho on Unsplash
ADVERTISEMENT
Awal Februari tahun 2022, menjadi awal dimana sebagian warga Yogyakarta harus bisa melepas segala kenangan yang terlekat di antara sudut-sudut jalan Malioboro. Bulan Februari tahun 2022 menjadi langkah tegas pemda DIY dalam merelokasi pedagang kaki lima (PKL). Aura yang terpancar akan hiruk-pikuknya jalan Malioboro kini terasa berubah. Hal tersebut yang kian menjadi pertanyaan di dalam benak penulis. Seberapa pentingkah relokasi PKL Malioboro? Mengapa relokasi harus dilaksanakan pada kondisi pandemi dan di tengah keterpurukan ekonomi? Dan beberapa pertanyaan yang masih ganjil bagi penulis.
ADVERTISEMENT

Relokasi Dini

Malioboro yang telah berdiri selama beberapa dekade terkenal menjadi salah satu ikon kota Yogyakarta serta menjadi destinasi wisata belanja unggulan bagi wisatawan dari berbagai penjuru nusantara hingga mancanegara. Akan tetapi, awal Februari menjadi babak baru perubahan Malioboro oleh karena adanya kebijakan relokasi PKL Malioboro oleh pemda DIY.
Alasan yang mendasari akan kebijakan relokasi pedagang kaki lima utamanya ditujukan untuk menata kembali kawasan Malioboro karena pemda DIY akan mengajukan sumbu filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Berbagai macam upaya dari pemda untuk merelokasi pedagang kaki lima, nyatanya tetap memberikan dampak yang membekas bagi para pedagang seperti hilangnya sebagian pekerjaan pedagang kaki lima, omzet yang menurun drastis, hingga persebaran pembeli tidak merata kian dirasakan oleh para pedagang kaki lima.
ADVERTISEMENT
Tepatnya pada tanggal 1-7 Februari 2022 pemda DIY merelokasi pedagang kaki lima ke tempat yang lebih layak. Sebanyak 1.700 pedagang kaki lima direlokasi ke dua lokasi yakni bekas kantor Dinas Pariwisata DIY dan bekas gedung bioskop. Memang, proses relokasi ke tempat yang baru masih dalam proses pengembangan lebih lanjut terkait berbagai sumber daya yang diperlukan. Akan tetapi, ekspektasi akan kenyamanan dan harapan tempat dagang yang baru tak serta merta membuat para pedagang kaki lima betah menempati rumah barunya.
Yati, pedagang kuliner yang sudah 18 tahun berjualan di Malioboro menyoroti luasan lapak yang kini ia tempati dimana berkisar hanya 1,15 x 2 meter persegi. Lebih lanjut, Slamet yang dijuluki sebagai Pelmani (Ketua Pedagang Kaki Lima Malioboro Ahmad Yani) mengeluhkan adanya kebijakan relokasi yang dinilai terlalu cepat. Apalagi setelah para pedagang dua tahun lamanya dihantam habis-habisan oleh pandemi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi.
ADVERTISEMENT

Mempertimbangkan

Keluhan-keluhan yang terus berdatangan tak serta merta membuat pemerintah DIY menutup telinga. Yang menjadi pokok masalah disini bukanlah relokasi, akan tetapi momentum pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Bagi penulis, pemerintah juga telah bekerja keras, pedagang juga telah menaati aturan. Sehingga, membangun Malioboro sebagai warisan budaya mengapa tidak dibarengi dengan sinergi antara pedagang dan pemerintah supaya menjadi Yogyakarta yang lebih istimewa?.
Pertama, konsep penataan pedagang kaki lima harus memperhatikan berbagai aspek demi kenyamanan bersama baik bagi pemerintah, pedagang, maupun wisatawan. Jika memang diperlukan relokasi, apakah ada baiknya dilakukan setelah ekonomi kembali pulih? Atau saat para pedagang telah mempunyai modal untuk berbenah setelah bangkit dari pandemi?. Lalu, bagaimana jika upaya relokasi pedagang kaki lima diubah menjadi membenahi lapak setiap pedagang?. Penataan gerobak yang rapi, pedagang yang serempak memakai kostum yang sama, atau ketersediaan lahan PKL yang layak. Sehingga, setiap penataan lapak pedagang kaki lima tidak menghilangkan esensi dan ciri khas Malioboro.
ADVERTISEMENT
Kedua, untuk menimbulkan citra yang baik dimata Internasional, pemerintah bisa menyeleksi setiap PKL yang akan membuat lapak di Malioboro. Pemerintah perlu memberdayakan pedagang kaki lima sebagai upaya peningkatan mutu SDM. Mulai dari workshop kewirausahaan, sosialisasi perda secara rinci, hingga pelatihan strategi pemasaran yang baik. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan sumber daya manusia. Adakalanya pemerintah juga perlu memperhatikan secara detail siapa penjualnya, apakah barang dagangannya layak jual, apa saja komposisi yang terkandung, hingga harga jual yang sesuai standar pemerintah. Perhatian tersebut demi ketercapaian peningkatan kualitas wisata Malioboro.
Ketiga, pedagang kaki lima ada baiknya menaati setiap aturan pemerintah. Walau terasa berat, pemerintah tentu bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat dan mempertimbangkan kemaslahatan umat. Memperhatikan barang dagangan yang dijual dengan berorientasi kepada kualitas dengan tetap mematok harga sesuai standar ketetapan peraturan daerah. Selain itu, pedagang kaki lima bisa membuka lapak yang disediakan pemerintah dan ubah mindset pengambilan hak pejalan kaki untuk pembukaan lapak baru. Hal tersebut demi keberlangsungan dan perkembangan penataan estetika tata ruang kota.
ADVERTISEMENT
Keempat, pemerintah bisa mengalokasikan APBD untuk mendukung aktivitas PKL seperti pemberian insentif modal dan penyediaan subsidi usaha yang tepat sasaran. Pemupukan modal diharapkan bisa menjadi salah satu sumber biaya dalam meningkatkan usaha. Serta upaya pengembangan usaha produktif dengan membuka program kemitraan baik dari sektor formal-informal maupun sebaliknya. Yang mana, pengembangan usaha produktif diharapkan bisa meningkatkan pendapatan pedagang kaki lima.
Relokasi, tak serta merta bisa menyejahterakan para pedagang. Adakalanya pemerintah bisa mengubah strategi tersebut menjadi upaya yang bisa memberikan kenyamanan bagi semua pihak. Kepentingan mendesak akan pengajuan warisan budaya tak benda, bukan berarti bisa mengorbankan esensi dan ciri khas Malioboro yang telah dibangun lamanya. Sinergi antara pedagang kaki lima, wisatawan, dan pemerintah dalam menyongsong Malioboro yang lebih baik, diperlukan adanya keterikatan antara berbagai belah pihak. Yang mana, dengan harapan akan ketercapaian peningkatan kualitas wisata dan kualitas sumber daya manusianya.
ADVERTISEMENT