Ironi Televisi Indonesia: Hiburan atau Eksploitasi?

Nasywa Putri Ramadhan
Mahasiswa Manajemen Komunikasi Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
7 Juni 2021 14:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasywa Putri Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi/NPR
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi/NPR
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi sinema elektronik alias sinetron, kembali menjadi polemik di media sosial. Setelah sebelumnya sinetron berjudul "Azab" ramai diperbincangkan akibat jalan ceritanya yang tak logis dan terkesan memaksa, kini stasiun televisi swasta yang sama kembali dihujani hujatan. Sinetron "Suara Hati Istri" yang tayang setiap malam pada prime time, kini menjadi polemik di antara warganet. Mengisahkan seorang pria yang memiliki tiga istri dan berfokus pada setiap sudut pandang dari setiap pemeran istri. Sinetron ini dinilai bermasalah oleh warganet sebab sinetron tersebut menayangkan adegan yang mendukung pernikahan anak atau child grooming. Terlebih lagi, aktris yang memerankan peran istri ketiga masih berumur 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Tentu hal tersebut memunculkan banyaknya pro dan kontra dalam masyarakat. Tak sedikit pula tokoh masyarakat yang turut bersuara terhadap polemik yang sedang ramai ini. Salah satunya datang dari sutradara sekaligus komedian tanah air, Ernest Prakasa yang menyuarakan pendapatnya di akun Instagram miliknya. Menurutnya, penayangan adegan yang meromantisasi pernikahan dini pada sinetron "Suara Hati Istri" sudah melampaui batas kesopanan dan tidak mementingkan nurani serta akal sehat manusia. Ia juga menekankan pada dampak-dampak negatif dari pernikahan di usia dini itu sendiri.
Berbeda dengan Ernest, seorang produser film sekaligus penulis, Gina S. Noer lebih fokus untuk mengkritisi sistem stasiun televisi di Indonesia secara general. Menurutnya sistem televisi masih bersifat eksploitatif, hanya fokus untuk menekan biaya produksi dan waktu bekerja untuk menghasilkan karya yang banyak serta profit yang maksimal. Hal tersebut menyebabkan adanya ketidakpedulian dan pengabaian terhadap jam kerja kru dan pemain serta kualitas dari suatu tayangan. Ia juga menambahkan bahwa untuk mencapai penulisan naskah dan permainan lakon yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal tersebut yang luput dari sistem pertelevisian di Indonesia terkhusus pada proses produksi tayangan sinetron.
ADVERTISEMENT
Ironisnya sistem televisi yang eksploitatif ini hanya menguntungkan mereka yang memiliki kepentingan. Masyarakat sebagai penonton televisi nasional secara tidak langsung malah dibodohi dengan tayangan yang tidak berkualitas. Mungkin mereka memang sengaja untuk tidak mencerdaskan masyarakat, karena dengan adanya penonton yang cerdas mereka tidak akan lagi menonton tayangan-tayang yang tidak bermutu. Dalam kata lain, pemilik televisi akan mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit karena pertambahan biaya untuk menyediakan tayangan yang berkualitas.
Sinetron Suara Hati Istri yang menjadi perbincangan. Foto: Youtube/Indosiar
Kemunculan polemik ini membuat saya menanyakan kembali akan kualitas tayangan pada stasiun televisi tanah air. Ke manakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama ini? Apa upaya pemerintah sebagai pemilik frekuensi serta pemimpin rakyatnya untuk mencerdaskan bangsanya? Lalu apakah mungkin bangsa kita dapat memiliki tayangan yang berkualitas ke depannya?
ADVERTISEMENT
Kecaman terhadap sinetron pada stasiun televisi nasional tidak hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Di tahun 2002, juga pernah terjadi perdebatan besar tentang sinetron yang dituduh membodohkan penonton dengan fantasi-fantasinya. Lalu langkah apa yang diambil oleh Komisi Penyiaran Indonesia selama 19 tahun ini? Kenapa masih terdapat program-program televisi yang menayangkan pelecehan terhadap nilai-nilai kesopanan dan moral?
Perlu diingat bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki privilege untuk mengakses saluran-saluran televisi luar negeri. Sehingga, salah satu cara untuk mereka mendapatkan hiburan adalah melalui stasiun televisi dalam negeri. Dengan kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah bersama KPI tegas dalam menerapkan standar program siarannya. Diperlukan pola pikir serta akal yang sehat untuk memajukan suatu bangsa, namun jika masyarakat terus disuguhkan dengan tayangan yang tidak edukatif bagaimana suatu bangsa bisa maju?
ADVERTISEMENT
Sangat lucu jika dipikirkan, berslogan jadikan penyiaran Indonesia yang sehat, bermanfaat, dan bermartabat, namun kerjanya hanya menyensor hal-hal tidak penting seperti kartun menggunakan bikini atau atlet wanita yang mengenakan pakaian minim. Bagaimana bisa tayangan sinetron di luar nalar atau yang meromantisasi pernikahan dini bisa lolos penyensoran dan berhasil tayang?
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa televisi sebagai media massa yang dahulunya sangat digemari kini kian menurun. Sejarahnya televisi merupakan barang langka yang tidak dapat dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun sekarang, saat televisi sudah menjadi kanal publik yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, acara-acara yang ditayangkan malah hilang mutunya. Sebagai penumpang pada frekuensi negara, seharusnya pemilik televisi ini memiliki rasa kemanusiaan untuk mencerdaskan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, televisi memang melihat minat penontonnya melalui sistem rating Nielsen. Namun, sistem rating Nielsen sendiri tidak dapat dijadikan tolak ukur yang pasti terhadap minat penonton. Bagaimana bisa, Indonesia yang memiliki populasi hingga ratusan juta jiwa namun untuk tontonan dan tuntunan di televisinya hanya diukur dari 2000 sampel populasi, seperdelapannya pun tidak. Hal tersebut membuat rating Nielsen jelas tak lagi relevan dan untuk kasus Indonesia, tidak representatif. Data dari rating Nielsen ini juga tidak tersedia bagi publik, padahal stasiun-stasiun televisi ini tersiar pada kanal publik.
Televisi yang hanya mengandalkan rating tersebut merasa bahwa tayangannya sangat diminati oleh masyarakat. Orientasinya jelas, pada uang yang dihasilkan dari iklan yang berderet tayang pada jeda tayangan tersebut. Hal tersebut yang akhirnya menjadi legitimasi serta pembenaran bagi televisi untuk tidak mengikuti alur yang semestinya harus dilalui dan tanggung jawab moral yang mesti diemban oleh media massa.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, harus dilakukan revolusi menyeluruh dari setiap stakeholder yang memiliki peran. KPI dan pemerintah sudah seharusnya lebih tegas dalam pembuatan kebijakan serta penindakan bagi media massa yang membandel. Dari pihak media massa pun sudah seharusnya membuat tayangan dan konten yang bermutu dengan berpegang pada tanggung jawab moralnya pada masyarakat. Diharapkan dengan standarisasi kualitas tayangan televisi dan ketegasan dari pemangku kebijakan, masyarakat mampu mengakses tayangan yang berkualitas dan mengubah permintaan pasar. Revolusi tersebut tidak dapat terjadi jika kita tidak bekerja sama untuk menyuarakan perubahan demi kebaikan bangsa.