Konten dari Pengguna

Self Diagnose : Bahayakah ?

Nasywa Walidina Putri
Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
21 November 2024 16:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasywa Walidina Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Self-diagnose masih sering dilakukan oleh setiap orang di berbagai kalangan. Padahal, hal ini sangat membahayakan. Bagaimana tidak, orang yang pada awalnya mengira dirinya terkena bipolar dikarenakan mendiagnosis sendiri hingga menambah beban pikirannya dan pada akhirnya menjadi orang yang benar-benar mengidap bipolar. Sangat berbahaya, bukan? Oleh karena itu, kita harus mengetahui apa saja faktor penyebab terjadinya self-diagnose.
ilustrasi self diagnose (sumber : dokumen pribadi/Nasywa Walidina)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi self diagnose (sumber : dokumen pribadi/Nasywa Walidina)
Faktor Penyebab Terjadinya Self-Diagnose
ADVERTISEMENT
1. Minimnya literasi akan kesehatan mental
Minimnya literasi dan pengetahuan kesehatan mental adalah faktor utama yang bisa membuat orang melakukan diagnosis sendiri (Nurismawan dalam Briliani, 2024). Hal ini menunjukkan bagaimana self-diagnose masih sering terjadi di luar sana. Orang-orang dengan kurangnya informasi akurat yang dimiliki membuat mereka sering melakukan hal ini, dan biasanya takut untuk memastikan langsung pada ahlinya. Padahal, seseorang yang boleh mendiagnosis kesehatan mental hanyalah psikolog yang tersertifikasi. Rasa tidak nyaman untuk mencari bantuan dari orang profesional juga disebabkan oleh banyaknya stigma masyarakat akan gangguan mental (Briliani, 2024).
Selain itu, perasaan takut akan berbeda dari yang lain dan tidak bisa mengikuti tren juga menjadi pemicu terjadinya self-diagnose. Seperti yang telah dikatakan seorang psikolog dalam channel YouTube Grace Thahir, “Jaman sekarang banyak orang yang ngaku-ngaku...ya fenomenanya seperti itu dan glorifikasi dari persoalan mental itu lagi kenceng banget di masa sekarang. Karena kan banyak orang yang kayak... oh kalo punya kesehatan mental problem, orang itu bisa dateng dan diajak ke acara-acara. Jadi mereka senang untuk mempertahankan hal itu”, Hal ini yang pada akhirnya membuat seseorang cepat memutuskan apa yang mereka ketahui tanpa tahu kejelasannya.
ADVERTISEMENT
2. Media sosial
Dikarenakan mudahnya akses melalui media sosial mengenai informasi kesehatan, hal ini membuat orang-orang mencari informasi terkait kesehatan mental tanpa panduan dan pengawasan yang terbukti kebenarannya (Griffiths et al. dalam Briliani, 2024). Fenomena ini marak terjadi karena media sosial sudah banyak digunakan oleh berbagai kalangan. Dengan hanya berbekalkan gejala-gejala yang dialami, seseorang bisa dengan mudah langsung mencari terkait apa yang dideritanya dan mendiagnosis sendiri.
Menurut Twenge dalam Briliani (2024), penggunaan media sosial yang berlebihan bisa membuat seseorang memiliki kecemasan berlebih. Hal ini dikarenakan rasa keinginannya saat melihat postingan orang lain dan membandingkannya dengan dirinya.
3. Banyak membaca dan tidak bisa mengontrol diri
Akan tetapi, terlalu banyak membaca juga bisa menjadi pemicu terjadinya self-diagnose. Hal ini dikemukakan oleh seorang psikolog dalam isolate show di channel YouTube Grace Tahir: “Ketika banyak yang self-diagnose, ketika kita diagnosa tertentu justru akan bikin kita semakin paranoid dan ketakutan terhadap sesuatu. Yes, jadi semakin banyak dia belajar, semakin banyak ketakutannya malahan.” Jadi, semua yang terjadi itu kembali pada bagaimana kita menggunakan pengetahuan yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Bagaimana kita bisa mengendalikan ilmu yang kita miliki agar pada akhirnya tidak menjadi bom waktu terhadap diri kita.
ADVERTISEMENT
ilustrasi orang yang mudah mempercayai self diagnose (sumber : dokumentasi pribadi/Nasywa Walidina)