Konten dari Pengguna

Tatemae: Antara Topeng sosial dan Kejujuran di Masyarakat Jepang

nasywa azizah formanto
mahasiswa fakultas ilmu budaya, program studi bahasa dan sastra jepang, Universitas Airlangga
7 Oktober 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nasywa azizah formanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Souce: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Souce: Canva
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari – hari kita tentu saja berhubungan dengan sesama manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu konsep budaya yang berkembang di masyarakat Jepang adalah tatemae (建前), yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ‘topeng sosial’. Namun, secara harfiah tatemae mengacu pada motif yang dipakai di lingkungan sosial yang dibentuk atau ditekan oleh norma pada umumnya (Honna dan Hoffer, 1986).
ADVERTISEMENT
Tatemae seringkali dikaitkan dengan honne (本音). Honne suara atau motif seseorang, bisa diartikan juga sebagai perasaan yang sebenarnya. Banyak dari masyarakat Jepang menjadi dilemma karena harus dihadapkan dengan menjaga keharmonisan sosial atau berkata jujur dengan perasaan. Hal ini menjadikan fenomana tatemae dan honne menjadi sebuah topik yang serius.
Dua konsep ini dilakukan secara bertahap namun dengan tegas didorong oleh orang dewasa, yang akan menyesuaikan tingkat kesopanannya sendiri dengan situasi yang ada. Jepang juga mempunyai tingkat tuturan yang cukup jelas, dipilih menurut hubungan antara orang – orang yang terlibat dalam percakapan juga sebagai konteks dimana mereka akan menemukan diri mereka sendiri. Penggunaan yang sopan dalam bahasa juga memungkinkan adanya jarak tertentu antara lawan bicara. Sehingga melindungi perasaan dari penyelidikan orang luar. Perbedaan lain dalam bahasa jepang yang sesuai dengan tatemae dan honne dapat diterjemahkan sebagai ‘depan’ dan ‘belakang’, ‘wajah’ dan ‘hati’, ‘mulut’ dan ‘perut’, untuk membedakannya dianggap sebagai ukuran kematangan.
ADVERTISEMENT
Asal – usul Tatemae
Tatemae secara literal berarti dibangun didepan. Lebih mudahnya, tatemae dapat diartikan sebagai sikap yang ditunjukkan di khalayak umumuntuk menyembunyikan sikap asli demi menjaga keharmonisan lingkungan. Dalam budaya jepang, sangat penting untuk menahan diri dalam melakukan konfrontasi secara langsung karena dianggap dapat mengganggu hubungan sosial dan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, tatemae berfungsi sebagai pembatas dalam berkomunikasi agar tetap ada rasa santun.
Meskipun tatemae dianggap sebagai perilaku yang tidak jujur. Tetapi, dalam budaya jepang, tatemae dilihat sebagai salah satu upaya dalam menjaga kedamaian hubungan bermasyarakat. Konfrontasi secara langsung seperti yang dilakukan di negara barat terlihat baik, tetapi di Jepang bisa dinilai sebagai suatu hal yang kurang sopan.
ADVERTISEMENT
Asal – usul Honne
Berbanding terbalik dengan tatemae yang dikenal sebagai topeng sosial karena dianggap tidak berkata dengan jujur, Honne adalah perilaku yang bertentangan dengan tatemae. Honne memiliki arti ‘suara sejati’ yang merupakan bentuk kejujuran atau terus terang mengenai perasaan sebenarnya didalam hati seseorang. Honne biasanya digunakan dalam bentuk basa – basi yang diungkapkan untuk menjaga perasaan orang lain.
Ketika kita menerima ajakan, kita bisa menolaknya tapi bukan memakai kata ‘tidak’, melainkan dengan alasan lain dan memakai jawaban yang lebih terbuka yang sebenarnya jawaaban tersebut merupakan bentuk dari penolakan. Dari contoh tersebut, Honne memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk mengungkapkan perasaannya dengan tetap menjaga perasaan orang lain.
Dampak tatemae dalam kehidupan sehari – hari
ADVERTISEMENT
Dalam aspek kehidupan Jepang, perilaku tatemae sering dijumpai dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan bermasyarakat. Misalnya, saat kita menerima barang namun kita tidak menyukainya, kita bisa memberitahu kepada sang pemberi bahwa kita menyukai barang tersebut. Hal tersebut memang terkesan berbohong, tapi perilaku tatemae tadi bertujuan untuk menjaga perasaan orang lain.
Tatemae juga memiliki dampak negatif. Terlalu sering menggunakan tatemae juga dapat membuat orang frustasi, terutama ketika tidak bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Selain itu, tatemae juga mempersulit komunikasi dengan budaya lain. Wisatawan atau pendatang yang tidak memahami konsep tatemae akan menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang ‘munafik’ karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Sebaliknya, pendatang atau wisatawan akan dianggap tidak sopan jika melakukan konfrontasi secara langsung.
ADVERTISEMENT
Tatemae di Era modernisasi dan globalisasi
Source: Canva
Meskipun tatemae adalah sebuah konsep yang sangat terkenal di Jepang, tentu saja berpengaruh dengan modernisasi dan globalisasi saat ini. Di budaya barat yang terkenal dengan konfrontasi secara langsung juga sebenarnya memakai istilah ‘topeng sosial’ untuk menjaga hubungan agar tetap harmonis. Di lingkungan yang terkesan formal, akan menggunakan cara diplomatis untuk menyampaikan kritik.
Namun, penggunaan tatemae dalam budaya jepang lebih menonjol dibandingkan budaya lain. Tatemae merupakan salah satu bagian dalam tradisi panjang jepang yang berfokus untuk mejaga kestabilan harmoni sosial. Dalam budaya Jepang nilai ini sangat penting untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial, tetapi penggunaan tatemae juga menjadi masalah tersendiri ketika dihadapkan dengan global.
Globalisasi dan modernisasi yang sudah ada ketika restorasi meiji, tentu saja membuat tatemae berhadapan dengan tantangan baru. Dalam interaksi dengan budaya lain, orang Jepang sendiri harus membuat jarak antara menjaga tatemae dan menghargai budaya lawan. Hal ini juga berlaku untuk lawan budaya itu sendiri, dimana perlu untuk memahami pentingnya menjaga hubungan sosial yang didasarkan pada konsep tatemae demi menjaga kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Tatemae dan honne merupakan dua konsep yang sangat penting di budaya Jepang. Mereka menggambarkan sebuah dilema yang dirasakan masyarakat Jepang dalam menjaga sebuah hubungan masyarakat agar tetap stabil. Tatemae memungkinkan orang Jepang untuk tetap sopan, tetapi Honne menjadikan wadah untuk orang Jepang bicara jujur apa adanya tentang perasaannya. Kedua konsep tersebut tentunya saling melengkapi dan merupakan bentuk dari kehidupan bermasyarakat di Jepang.
Dalam kondisi Globalisasi dan Modernisasi seperti sekarang, tatemae dan honne tentunya banyak mengalami tantangan baru. Tidak jarang banyak kesalahpahaman ditemui ketika orang Jepang mencoba berkomunikasi dengan wisatawan atau orang asing dengan tetap memakai konsep tatemae. Berlaku juga untuk wisatawan atau orang asing yang melakukan konfrontasi secara langsung saat di Jepang. Sehingga memahami konsep tatemae dan honne sendiri membantu kita untuk memahami cara berkomunikasi di lingkungan bermasyarakat Jepang.
ADVERTISEMENT
Walaupun penggunaan tatemae sering dianggap sebagai suatu hal yang munafik atau disebut ‘topeng sosial’ tetapi dari hubungan masyarakat jepang yang harmonis dan stabil merupakan salah satu bentuk keberhasilan konsep tatemae itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Davies, Roger J., & Ikeno, Osamu. (2002). The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle Publishing.
Hendry, Joy. (2019). Understanding Japanese Society. Routledge.
Sugimoto, Yoshio. (2003). An Introduction to Japanese Society. Cambridge University Press.