Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
17 Tahun Aksi Kamisan, Gagalkah Negara dalam Melakukan Fungsi Representasinya?
11 Desember 2024 16:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nasywa Putri Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hanya tinggal menghitung hari sebelum tahun 2024 ditutup, nyatanya Indonesia masih memiliki berbagai polemik pelik yang seolah tidak tertangani meski tahun, bahkan kepala negaranya berganti. Aksi Kamisan menjadi salah satu bukti di mana negara gagal untuk mewujudkan tanggung jawabnya dalam menjamin hak setiap warganya. Tujuh belas tahun dilaksanakan sejak 18 Januari 2007, 846 kali aksi akan digelar terhitung hingga akhir 2024, Kamisan menjadi agenda rutin yang keberadaannya tidak diindahkan meski telah dilakukan di depan Istana Merdeka.
ADVERTISEMENT
Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi kolektif yang ditujukan untuk memperjuangkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM yang terjadi semenjak pergantian rezim Orde Lama hingga Orde Baru. Salah satu yang kemudian menjadi inisator dari aksi ini adalah Maria Katarina Sumarsih, ibu dari korban Tragedi Semanggi I (13 November 1998), yaitu Bernadus Realino Norma Irawan (Wawan). Dipelopori oleh Sumarsih, beberapa keluarga korban lain, serta penyintas kejahatan HAM, aksi ini mendapat banyak dukungan dari berbagai kelompok masyarakat sehingga gerakannya meluas ke berbagai daerah.
Sebagai sebuah gerakan, Aksi Kamisan dilakukan secara damai dengan menonjolkan simbol-simbol perlawanan. Selain dilakukan dengan aksi diam, esensi perjuangan Kamisan juga hadir melalui warna hitam dari pakaian dan payung yang dikenakan oleh pesertanya. Bahkan, perkembangan waktu juga membuat Aksi Kamisan tidak lagi menjadi aksi yang hanya ditujukan untuk menuntut keadilan atas kejahatan HAM masa lalu, tetapi menjadi sebuah aksi dengan tuntutan yang lebih besar guna memperjuangkan isu-isu dan pelanggaran atas hak demokrasi lainnya, termasuk soal kekerasan terhadap perempuan, korupsi, dan berbagai kasus pelanggaran lain yang terjadi pasca Reformasi.
ADVERTISEMENT
Pada artian yang lebih dalam, keberadaan Aksi Kamisan selama 17 tahun ini erat kaitannya dengan konsep representasi yang dikembangkan oleh Hanna Pitkin. Menurut Pitkin, representasi melekat pada keterwakilan seseorang atas orang lain atau kelompok tertentu serta berkaitan dengan kepentingan apa yang akan diwakili setelahnya (Pitkin, 1967). Konsep atas representasi pada mulanya identik dengan representasi formal yang dilakukan oleh perwakilan rakyat di parlemen. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, representasi mengalami stagnasi dengan adanya depolitisasi demokrasi (Tornquist et al., 2009). Lembaga representasi yang ada di masyarakat seringkali bertindak untuk mewakili kepentingan privat dan tidak dapat mengakomodasi kepentingan publik. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya representasi oleh masyarakat sipil.
Dalam konteks Aksi Kamisan, representasi oleh masyarakat sipil muncul akibat faktor-faktor krusial. Tidak adanya keadilan atas hak korban-korban yang meninggal dan hilang selama Reformasi menjadi faktor utama terjadinya tuntutan kolektif oleh masyarakat sipil. Kondisi tersebut juga didukung dengan fakta bahwa pelanggaran serupa masih tetap terjadi di era Pasca Reformasi. Lembaga representasi formal negara yang dipilih langsung oleh rakyat, yaitu DPR RI hingga presiden pada kondisi ini dinilai gagal dalam melakukan fungsi representasinya. Alih-alih menjadi solusi atas kegelisahan masyarakat, negara justru menjadi salah satu instrumen yang melanggengkan pelanggaran dengan tidak melakukan upaya pengadilan bagi terduga pelanggaran HAM di masa lalu ataupun di era sekarang. Oleh karenanya, Aksi Kamisan hadir sebagai ruang aman bagi masyarakat sipil untuk melakukan konsolidasi guna mendorong negara dalam melakukan fungsinya sesuai perundang-undangan. Lebih lanjut, representasi masyarakat sipil melalui aksi Kamisan menjadi salah satu solusi konkret untuk memperjuangkan hak dan mengawal kepentingan rakyat ketika representasi formal negara gagal melakukan kewajibannya (Dibley & Ford, 2019).
ADVERTISEMENT
Kegagalan negara dalam melakukan fungsi representasinya terkait Aksi Kamisan juga tercermin dari tidak ditepatinya janji kampanye Jokowi. Pada tahun 2014, ketika kontestasi elektoral menyandingkan Jokowi dengan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, penuntasan akan kasus HAM berat di masa lalu menjadi janji kampanye yang ditawarkan. Namun, hingga tahun 2019 saat kembali menjabat atau hingga 2024 ketika 10 tahun kepemimpinannya berakhir, janji yang diucapkan oleh Jokowi tidak pernah terlaksana secara penuh.
Kondisi tersebut juga memunculkan pertanyaan terkait fungsi representasi yang diwakilkan rakyat kepada DPR RI. Sebagai lembaga politis yang dipilih melalui suara langsung rakyat, mewakilkan kepentingan rakyat menjadi satu tugas yang tidak terelakkan bagi anggota DPR RI. Namun, pada kenyataannya, isu terkait pelanggaran HAM di masa lalu tetap tidak terentaskan dan justru memunculkan isu-isu pelanggaran baru.
ADVERTISEMENT
Situasi tidak menentu yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan keadilan atas HAM nyatanya tidak pernah menemui angin segar. Pergantian presiden dan struktur pemerintahan pada 2024 telah dibuka dengan berbagai tantangan baru. Salah satunya tercermin ketika Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, yaitu Yusril Ihza Mahendra memberikan pernyataan kontroversial dengan tidak mengakui Peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat pada 21 Oktober 2024, hanya terpaut satu hari setelah pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan.
Aksi Kamisan menjadi wujud nyata atas kegagalan lembaga-lembaga negara dalam melakukan fungsi representasinya. Terlebih, ketika surat permohonan penuntasan pelanggaran HAM yang terakhir diberikan kepada Jokowi pada 17 Oktober 2024, tepat pada Aksi Kamisan ke-836. Menutup masa jabatannya dengan kasus pelanggaran HAM yang tidak tertuntaskan menjadi bukti nyata kegagalan representasi di era Jokowi. Kemudian, membuka kepemimpinan baru dengan penolakan pengakuan atas pelanggaran HAM 1998 oleh Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan turut menjadi catatan kritis atas ketidakseriusan negara dalam memberikan keadilan kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Dibley, T., & Ford, M. (2019). Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia. New York: Cornell University Press.
Pitkin, H. F. (1967). The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press.
Tornquist, O., Webster, N., & Stokke, K. (2009). Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan.