Kilas Balik Korupsi e-KTP Ala Setya Novanto: Nafsu Harta Tidak Beretika

Natanael Elang
Undergraduate student in Faculty Administrative Science University of Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Desember 2020 12:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natanael Elang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setya Novanto keluar dari gedung KPK Sumber: TEMPO / Foto: Imam Sukamto
Di Indonesia, korupsi menjadi salah satu permasalahan terbesar selain kemiskinan dan kesehatan. Korupsi juga seolah-olah telah menjadi budaya dalam struktur pemerintahan dan lingkup politik. Latar belakang mengapa korupsi seakan sudah membudaya di Indonesia sejatinya memiliki sejarah panjang dan belum mempu terpecahkan hingga saat ini. Dapat ditarik mundur jauh ke belakang sebelum tahun 1800-an silam, dimana Indonesia pada masa itu masih merupakan wilayah jajahan Belanda yang bernama Hindia Belanda. Dan sejak masa itu pula budaya korupsi di Indonesia berakar, tepatnya sejak zaman kongsi dagang dan monopoli perdagangan milik Belanda yang diberi nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dan jika dilihat dari sejarahnya, alasan perusahaan dengan sistem monopoli perdagangan sebesar VOC bisa runtuh adalah diakibatkan oleh banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang berwenang dan para petingginya. Kemudian, budaya buruk tersebut kian berkembang hingga saat ini serta dilakukan dengan pola yang kurang lebih sama seperti masa lalu, yang sebagian besar pelaku dari kasus korupsi tersebut adalah para pejabat dan pemegang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia yang dilakukan oleh pejabat negara adalah kasus pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP yang didalangi oleh Setya Novanto, atau lebih akrab dengan panggilan Setnov. Pada tanggal 17 Juli 2017 Setya Novanto yang dalam periode tersebut sedang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum DPR RI ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Pemerintah telah mengonfirmasi Setnov ditetapkan sebagai tersangka karena telah memiliki peran penting sebagai penentu untuk menguntungkan dirinya sendiri dan beberapa pejabat lain dengan merugikan keuangan negara yang berasal dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Nasional (APBN) yang sudah ditetapkan untuk mendanai proyek pengadaan e-KTP sebesar Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun.
ADVERTISEMENT
Dalam melakukan tindakan korupsi tersebut, tentunya Setnov tidak bekerja sendirian, ia dibantu oleh seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang juga diketahui sebagai orang yang memiliki hubungan dekat dengan Setnov. Andi Narogong merupakan seorang pengusaha yang memenangkan lelang untuk menjadi rekanan proyek dalam pengadaan e-KTP. Namun, hal tersebut memang sudah direncanakan secara sistematis dan terstruktur sejak awal, pasalnya Andi yang berkoordinasi dengan Setnov jugalah yang telah mengatur proses jalannya lelang proyek tersebut. Pada saat menjalankan proyek pengadaan e-KTP, Andi memiliki peran yang signifikan untuk meloloskan anggaran sebesar Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada sejumlah pimpinan dan anggota Komisi II DPR, serta Badan Anggaran, demi mendapat persetujuan nilai anggaran. Rincian kesepakatan pembagian anggarannya adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1) 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek
2) Rp2,558 triliun yang dibagi kepada :
Setiap orang memang memiliki keinginan dan tujuan untuk mendapatkan sesuatu agar rasa kepuasannya dapat terpenuhi. Namun, cara untuk mendapatkan sesuatu tersebutlah yang dapat memberikan gambaran mengenai tingkat moralitas dan etika seseorang. Kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang didalangi oleh Setya Novanto mengisyaratkan bahwa seorang pejabat negara yang sudah disumpah dengan kitab suci untuk dapat menjalankan kewajiban sebaik-baiknya pun dapat memiliki tingkat moralitas dan etika yang sangat rendah atau bahkan tidak ada. Pernyataan tersebut juga dapat didukung dan dibuktikan dari rekam jejak Setya Novanto yang sudah beberapa kali tersandung kasus dan kontroversi sebelum berhadapan dengan kasus korupsi pengadaan e-KTP, antara lain:
ADVERTISEMENT
"Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga" adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan nasib Setya Novanto. Dari beberapa kasus yang menyandungnya, baru di kasus pengadaan e-KTP-lah Setnov ditetapkan sebagai tersangka dan dipastikan sudah tidak bisa melarikan diri dari jeratan hukum. Pada tanggal 29 Maret 2018 Setnov dituntut dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Berdasarkan sudut pandang moral dan etika, dampak dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi juga telah dianggap sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa karena dapat merugikan dan menghambat jalannya sirkulasi perekonomian dan pembangunan nasional di suatu negara secara keseluruhan. Selain itu, berdasarkan wewenang dan tanggung jawabnya, kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat seperti Setnov juga mencederai kaidah profesi dan kode etik sebagai seorang pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya. Alasan lainnya juga karena dampak dari tindakan ini dapat merambat ke berbagai sektor, bahkan pada kasus korupsi pengadaan e-KTP, kerugian dan dampak terbesarnya dialami oleh seluruh masyarakat yang berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI). Selain itu, tindakan korupsi yang dilakukan oleh tokoh pemerintahan atau pejabat negara juga dapat mengurangi rasa kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang selanjutnya mengakibatkan adanya perasaan antipati dan bisa menyebabkan tidak berjalannya sistem pemerintahan demokrasi secara optimal. Salah satu contoh kerugian yang menghambat jalannya demokrasi adalah karena keterhambatan pengadaan e-KTP akan membuat masyarakat (WNI) mengalami kesusahan untuk menyuarakan hak pilihnya dalam pemilu, karena setidaknya ada tiga aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan e-KTP sebagai syarat.
ADVERTISEMENT
Selain karena tingkat moralitas dan etika seseorang yang rendah, alasan dari maraknya kasus korupsi di Indonesia yang belum terpecahkan hingga sekarang adalah karena sanksi yang diberikan untuk para koruptor dinilai belum mampu memberikan efek jera. Yang sebenarnya tujuan utama dari diberlakukannya sanksi dan hukuman adalah memunculkan rasa penyesalan dan rasa bersalah untuk dijadikan sebagai pelajaran hidup bagi si pelaku sehingga mengurangi rasa keinginan untuk melakukan tindak kejahatan dan meningkatkan kembali nilai moral dan etika para pelaku. Itu disebabkan karena di Indonesia para koruptor yang telah divonis dan tengah menjalani masa tahanan memiliki kemampuan dan kemewahan untuk dapat mencurangi hukum dengan berbagai cara. Oleh karena itu, munculah wacana sanksi alternatif dari para pengamat hukum agar dapat meningkatkan efek jera untuk para koruptor dan menekan angka korupsi, yaitu dengan melakukan pemiskinan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pemiskinan dilakukan dengan memberikan hukuman pembayaran uang pengganti melebihi dari jumlah uang sang koruptor ambil dari tindak korupsinya. Namun, sanksi pemiskinan untuk pelaku korupsi belum mencapai konsep yang jelas dan mapan, masih banyak pro dan kontra yang menjadi pertimbangan untuk dapat menjalankan sanksi ini di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Penulis: Alvons Samuel Parlindungan, Muhammad Royhan Al Fatah, Natanael Elang Yudha Mahendraa (Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)
Daftar Pustaka
Gabrillin, A. (2017, Agustus 14). Mengenal Andi Narogong, Pelaku Utama di Balik Skandal Korupsi E-KTP. Retrieved from Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2017/08/14/09073551/mengenal-andi-narogong-pelaku-utama-di-balik-skandal-korupsi-e-ktp?page=all
Gabrillin, A. (2018, Januari 22). Di Proyek E-KTP, Jatah "Fee" DPR dan Kemendagri Masing-masing Rp 250 Miliar. Retrieved from Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2018/01/22/20540151/di-proyek-e-ktp-jatah-fee-dpr-dan-kemendagri-masing-masing-rp-250-miliar#:~:text=Nasional-,Di%20Proyek%20E%2DKTP%2C%20Jatah%20%22Fee%22%20DPR%20dan,Masing%2Dmasing%20Rp%20250%20Miliar&text=JAKARTA%2C%20
Haris Fadhil, R. A. (2017, Maret 9). Ini Alur Pembahasan Anggaran Proyek e-KTP di DPR. Retrieved from Detik News: https://news.detik.com/berita/d-3442248/ini-alur-pembahasan-anggaran-proyek-e-ktp-di-dpr
PRISCYLLIA, M. Y. (2014). PEMISKINAN KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU HUKUMAN ALTERNATIF. 4-10.
Riana, F. (2015, November 17). 5 Kasus yang Membelit Setya Novanto. Retrieved from Tempo: https://nasional.tempo.co/read/719654/5-kasus-yang-membelit-setya-novanto/full&view=ok
Santoso, B. (2019, Februari 11). 5 Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia dengan Kerugian Negara Fantastis. Retrieved from Suara.com: https://www.suara.com/news/2019/02/11/163457/5-kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia-dengan-kerugian-negara-fantastis?page=all#:~:text=Kasus%20pengadaan%20E%2DKTP%20menjadi,mencapai%20Rp%202%2C3%20triliun.
ADVERTISEMENT
Saputri, M. (2017, Juli 17). Peran Besar Setnov Tentukan Anggaran Korupsi E-KTP di DPR. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/peran-besar-setnov-tentukan-anggaran-korupsi-e-ktp-di-dpr-csSF