Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ujaran Kebencian vs Ujaran Ketersinggungan
27 Oktober 2020 13:53 WIB
Tulisan dari Lie Natanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Belum ada standarisasi definisi yang jelas soal apa itu ujaran kebencian. Dunia akademik Indonesia sudah banyak yang berusaha untuk membuat diskursus dan penelitian soal ujaran kebencian. Tapi kebanyakan hanya mengacu dari satu sumber yang sama yaitu Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015. Surat tersebut seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai rujukan, tetapi juga diperdebatkan oleh para akademisi. (Adiprasetio & Wibowo, 2020). Banyak hal yang penulis anggap rancu dan perlu dipertanyakan dalam Surat Edaran tersebut. Banyak standar yang dipakai dalam surat edaran tersebut, yang berisiko menimbulkan multitafsir. Dikatakan bahwa yang tergolong sebagai ujaran kebencian adalah: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong. Disebut demikian karena hal-hal tersebut memiliki tujuan atau bisa berampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial. Menurut penulis, tidak masuk akal untuk menggunakan standar yang belum jelas definisinya sebagai acuan untuk mendefinisikan hal lain.
Penulis mengatakan standar yang digunakkan belum jelas karena hal-hal seperti penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan itu sangat subjektif. Siapa yang tahu apa yang bisa menyinggung orang lain? Ada yang tersinggung ketika orang lain membicarakan rasnya, ada juga yang tersinggung ketika orang lain membicarakan soal keluarganya, dan ada juga yang tersinggung ketika orang lain membicarakan soal preferensinya ketika makan bubur diaduk atau tidak diaduk. Pada akhirnya setiap hal berpotensi menyinggung. Dari hal yang serius, sampai hal yang remeh sekalipun bisa menyinggung. Jadi apakah ketersinggungan bisa jadi alasan untuk mengkriminalisasi seseorang? Rasanya tidak. Jangan sampai orang masuk penjara karena seseorang merasa tersinggung.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah video di channel Youtube Deddy Corbuzier (2019), Rocky Gerung pernah mengatakan: ”... Di dalam sejarah peradaban, hate speech itu hanya boleh dihukum bila dia dihubungkan dengan keadaan masa lalu dimana orang merasa terhina. Hate speech mesti ada sejarah kebelakang. (UU ITE) Amburadul itu salah konsep. Masa hate speech? Gak ada peristiwa apa-apa di belakang kita kan? Hate speech itu menghalangi orang mengingat masa lalu ...” (08:28). Menurut definisi ini, yang bisa dikategorikan sebagai hate speech hanyalah ujaran yang berhubungan dengan kejadian, keadaan, atau kondisi di masa lalu yang menyebabkan orang merasa tertindas atau terhina.
‒Karena hate speech adalah kata dalam bahasa Inggris, penulis menggunakan kamus bahasa Inggris sebagai acuan.‒ Menurut Cambridge Dictionary, hate speech memiliki definisi “public speech that expresses hate or encourages violence towards a person or group based on something such as race, religion, sex, or sexual orientation (=the fact of being gay, etc).” Atau dalam bahasa Indonesia, “ujaran publik yang mengekspresikan kebencian atau mendorong kekerasan terhadap seseorang atau kelompok yang berdasarkan sesuatu seperti ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual (=kenyataan dari menjadi homoseksual, dll).” Kalau menggunakan definsi ini, tidak semua hal yang menyinggung bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Menurut definisi ini, penyebaran berita bohong dan fitnah juga tidak cocok untuk digolongkan sebagai ujaran kebencian, karena berita bohong atau fitnah tidak selalu mempromosikan kekerasan atau kebencian. Dan lebih dari itu, berita bohong dan fitnah dapat dibuktikan dengan data-data faktual yang bisa dijadikan standar sesuatu dapat dikatakan sebagai kebohongan atau fitnah. Tidak demikian dengan “menyinggung”, “mencemarkan nama baik”, dan “menista”. Standar yang dipakai adalah perasaan masing-masing orang.
ADVERTISEMENT
Tidak jelasnya definisi dari apa itu ujaran kebencian bisa menyebabkan kebingungan dalam persepsi masyarakat. Masyarakat akan menganggap segala sesuatu yang menyinggung, menista, memprovokasi, atau mencemarkan nama baik (menurut definisi masing-masing orang) adalah sebuah bentuk dari ujaran kebencian. Dampaknya, banyak guru yang akan dipolisikan ketika murid merasa tersinggung dengan teguran gurunya, banyak wartawan harus menghadapi proses hukum karena memberitakan fakta yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang, banyak pelanggan restoran yang harus makan di penjara karena memberikan ulasan yang dianggap menista oleh pemilik restoran. Akhirnya orang-orang yang bisa hidup di luar penjara hanya orang-orang yang mudah tersinggung dan mudah terprovokasi.
Dengan menulis ini bukan berarti penulis mendorong masyarakat untuk berbicara seenaknya saja, tetapi justru supaya masyarakat tidak asal menjustifikasi, menyalahkan, apa lagi mempolisikan orang lain. Indonesia yang menganut sistem demokrasi harusnya menjujung tinggi kebebasan berpendapat dan bukan justru mengkriminalisirnya. Kebebasan juga tentu harus bertanggung jawab. Jangan menjadikan kebebasan berbicara justru untuk menegasikan pendapat orang lain. Kebebasan berbicara bukan tameng untuk berbicara dengan tidak bertanggung jawab, tetapi justru sebagai kesempatan untuk berbicara dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Jangan juga menggunakan rasa tersinggung sebagai senjata untuk membungkam kebenaran. Tidak semua kebenaran akan terdengar menyenangkan, tapi apakah yang tidak menyenangkan pasti berarti salah?
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, penulis mengharapkan adanya kejelasan definisi dari hate speech bila ingin dijadikan sebuah dasar hukum yang mengikat warga negara. Menurut penulis, perasaan tidak bisa dijadikan acuan yang valid dan reliabel apalagi untuk menjatuhkan hukuman bagi seseorang, karena hingga saat ini perasaan belum bisa dikuantifikasi. Tetapi pada akhirnya, lebih dari apapun, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab harus menjadi pertimbangan dalam benak setiap orang, baik yang berbicara, maupun yang mendengar.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetio, J. & Wibowo, A. K (2020). Diskursus Hate Speech: Ilmu Pengetahuan yang Tunduk pada Surat Edaran Aparat. Amatan. Diakses dari https://www.remotivi.or.id/amatan/565/diskursus-hate-speech-ilmu-pengetahuan-yang-tunduk-pada-surat-edaran-aparat
Gerung, R. ”... Di dalam sejarah peradaban, hate speech itu hanya boleh dihukum bila dia dihubungkan dengan keadaan masa lalu dimana orang merasa terhina. Hate speech mesti ada sejarah kebelakang. (UU ITE) Amburadul itu salah konsep. Masa hate speech? Gak ada peristiwa apa-apa di belakang kita kan? Hate speech itu menghalangi orang mengingat masa lalu ...” (08:28). (2019). Dalam Deddy Corbuzier. (2019, Oktober 30) ROCKY GERUNG, NEGARA REPUBLIK DUNGU 🔴 (Part 1) [Video Youtube]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=sdT-C_S_t3s
ADVERTISEMENT
Hate speech (Def. 1) (n.d). Dalam Cambridge Dictionary. Diakses dari https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hate-speech
Kumpulan Berita KASUS UJARAN KEBENCIAN Terbaru Hari Ini. Diakses pada Agustus 29, 2020, dari https://amp.suara.com/tag/kasus-ujaran-kebencian
Remotivi. (2020, Februari 24). Media Bikin Kita Gagal Paham Ujaran Kebencian [Video Youtube]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=1Mjy_wE2Chw
Surat Edaran Kapolri No. 06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian/Hate Speech.