Konten dari Pengguna

Antara Hidup dan Mati: Perspektif Hukum dalam Praktik Pseudoeuthanasia

Natasha Randal Kalya Tarigan
Undergraduate Law Student at University of North Sumatera TELADAN Scholarship Awardee 2023 Head of Project Division at Tanoto Scholars Association USU 2024
2 Oktober 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasha Randal Kalya Tarigan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Natasha Randal Kalya Tarigan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Natasha Randal Kalya Tarigan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilmu dan Teknologi yang semakin berkembang dalam bidang kedokteran menimbulkan permasalahan yang berhubungan erat dengan hak hidup seseorang. Salah satu yang masih menjadi perdebatan dalam polemik kesehatan di Indonesia, yakni tindakan penghentian bantuan hidup pada pasien terminal. Tindakan ini disebut juga dengan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate), yaitu perintah untuk tidak melakukan atau memberikan tindakan pertolongan jantung paru atau CPR (Cardiopulmonary Resucitation) jika terjadi henti nafas dan henti jantung. Namun, sebelum menjalankan praktek DNR, pasien ataupun keluarga pasien harus membuat suatu perjanjian tertulis, yang harus terlebih dahulu disetujui oleh pasien terminal itu sendiri. Perjanjian tersebut berisikan bahwa pasien menolak untuk diselamatkan ataupun diberikan bantuan hidup jika suatu waktu kondisi jantung dan pernafasan pasien berhenti. Dalam artikel ini, penulis sebagai mahasiswi fakultas hukum ingin membahas mengenai Euthanasia dan Pseudoeuthanasia dalam perspektif Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, konsep DNR belum secara luas diketahui dan dipahami secara hukum di fasilitas kesehatan, yang dalam hal ini adalah rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum memilki regulasi tentang DNR, diantaranya tentang pemberian label pasien DNR dengan kode gelang ungu sebagai penanda. Saat ini regulasi tersebut mayoritas baru dijalankan di RS atas dasar pemenuhan akreditasi. Dari segi sistem hukum di Indonesia, peraturan atau hukum yang mengatur tentang tindakan DNR ini masih belum jelas, sehingga sebagian besar perintah DNR di Indonesia belum terdokumentasi secara legal.
Menurut penulis, pengaturan tentang pelaksanaan DNR dari perspektif civil law harus diperjelas karena prinsip-prinsip dalam euthanasia, pseudoeuthanasia dan pembunuhan mempunyai unsur-unsur yang berbeda dan juga mengkaji lebih dalam mengenai DNR (Do Not Resucitate) yang termasuk dalam salah satu bentuk tindakan penolakan tindakan dan perawatan medis. Hal ini sangat penting untuk dikaji secara terfokus dan mendalam mengingat adanya polemik mengenai pelaksanaan DNR, tidak adanya hukum positif Indonesia mengatur pelaksanaan DNR secara jelas. Maka dari itu, mari kita tilik tindakan Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) dalam perspektif Hukum Pidana dan Hukum Perdata secara spesifik.
ADVERTISEMENT
Euthanasia dan Pseudoeuthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang dapat dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau kelalaian. Penerapan Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 dan pasal 340 KUHP. Dalam hal Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate), dimana permintaannya oleh karena sesuatu hal misalnya karena pasien tidak sadar dalam jangka waktu lama, dilakukan oleh keluarga pasien, ataupun tindakan yang dilakukan oleh dokter tanpa diminta oleh keluarga pasien, maka Pasal 338 KUHP atau bahkan Pasal 340 KUHP dapat diancamkan kepada dokter yang melakukannya.
Selain dua pasal tersebut, berdasarkan pasal 344 KUHP, dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasien yang dengan sadar memintanya pun dapat dikenakan ancaman hukuman pidana. Euthanasia pasif dalam perpektif hukum pidana dibagi menjadi tiga kelompok; Euthanasia pasif atas permintaan pasien, Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien, dan Euthanasia pasif tanpa sikap pasien. Euthanasia pasif atas permintaan pasien berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52. Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien artinya dokter sendirilah yang berinisiatif tanpa melakukan pengobatan. Dokter yang melakukan tindakan ini menganggap bahwa tindakan medis apapun yang dilakukan terhadap pasien sebagai pengobatan sudah tidak ada gunanya lagi. Jika dalam kasus seperti ini dokter tersebut dapat membuktikan bahwa memang benar berbagai tindakan medis sudah tidak manjur terhadap pasien, maka dokter tidak akan mendapat tuntutan hukum. Sebaliknya, jika tindakan yang dilakukannya tidak dapat dibuktikan, maka dokter tersebut akan dikenakan pasal 304 dan pasal 306 ayat (2) KUHP. Berbeda halnya dengan Euthanasia pasif tanpa sikap pasien. Dalam hal ini, dokter melakukan tindakan tersebut dalam keadaan pasien tidak sadarkan diri, yang artinya tindakan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan pasien. Dengan demikian, akibat hukum yang ditimbulkan antara keduanya tidak ada perbedaan dan prinsipil.
ADVERTISEMENT
Euthanasia dan Pseudoeuthanasia dalam Perspektif Hukum Perdata
Pada hakikatnya ada dua bentuk pertanggungjawaban dokter dibidang hukum perdata, yaitu pertama hubungan hukum yang disebabkan oleh suatu kesepakatan dan apabila kesepakatan ini dilanggar akan menyebabkan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPer dan yang kedua berdasarkan perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPer. Umumnya dalam perjanjian secara tertulis, setelah dokter memberikan penjelasan, selanjutnya dokter akan memberikan formulir yang akan ditandatangani oleh pasien jika pasien memberikan persetujuan.
Dalam kasus Euthanasia pasif jelas harus ada informed consent. Informed consent merupakan persetujuan tindakan medis yang menjadi sebuah proses di mana seorang pasien secara sukarela memberikan izin untuk menjalani suatu prosedur medis setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan jelas mengenai prosedur tersebut. Persetujuan ini diperlukan pada euthanasia pasif, untuk euthanasia aktif tenaga kesehatan belum berani karena belum ada payung hukumnya sehingga dapat terancam pidana. Namun, euthanasia dalam hal ini dinilai bukan merupakan suatu bentuk perjanjian yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPer. Hal ini karena kegiatan tersebut merupakan tindakan melawan hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain KUHP, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Kode Etik Kedokteran Indonesia, dll, sehingga kesepakatan untuk dilakukannya tindakan euthanasia tidak memenuhi poin ke-empat syarat sah perjanjian yakni sebab yang halal.
ADVERTISEMENT
Tindakan DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien. Dokumentasi yang dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil. Penjelasan yang diberikan dokter, termasuk pertanyaan yang dikeluarkan pasien serta jawabannya harus dituliskan dalam catatan. Pendokumentasian tersebut harus diikuti dengan pemberian tanda khusus yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan. Keputusan DNR bukan merupakan keputusan yang kaku. Bila dalam perjalanan penyakitnya pasien berkeinginan mengubah keputusan DNR-nya, maka harus dilakukan pendokumentasian yang baik. Keputusan DNR harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan pasien, misalnya dengan menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, besar harapan penulis agar negara segera menetapkan kepastian hukum yang mengatur Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) sehingga terjamin pelaksanaanya di mata hukum oleh dokter di fasilitas kesehatan. Selain itu, diharapkan pula agar negara segera mengatur mengenai bagaimana apabila keputusan DNR dilakukan oleh pasien, bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal ini, pasien yang pernah mengambil keputusan DNR di perawatan sebelumnya atau fasilitas kesehatan lain tidak dapat melakukan penuntutan pada dokter apabila atasnya dilakukan tindakan penyelamatan nyawa. Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Kesepakatan mengenai kondisi pasien dan bagaimana kualitas hidup pasien menjadi penting. Pendokumentasian keputusan ini dalam form khusus juga penting sebagai pembuktian bila ada permasalahan hukum di kemudian hari.
ADVERTISEMENT