news-card-video
21 Ramadhan 1446 HJumat, 21 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Badai PHK di Kuartal Pertama 2025: Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia?

Natasya Izati
Selamat Datang! Halo, perkenalkan saya Natasya Izati. Saya merupakan seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta
20 Maret 2025 13:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasya Izati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PHK from Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PHK from Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini menghadapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif. Dalam tiga bulan pertama tahun 2025, lebih dari 40.000 pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka akibat penutupan pabrik dan kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar, termasuk Sritex Group, salah satu raksasa industri tekstil Indonesia. Ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Sritex dan Yamaha Music melakukan PHK massal, hal ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam efisiensi operasional dan daya saing industri. PHK memiliki dampak yang berlapis-lapis dari individu yang kehilangan pekerjaan hingga keluarga mereka yang menghadapi kesulitan finansial, serta efek jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Jika tidak segera ditangani, PHK massal dapat memperburuk ketimpangan sosial dan meningkatkan risiko konflik sosial di masyarakat. Dalam ini, penulis berpendapat bahwa PHK bukan sekadar angka statistik, di balik setiap angka terdapat kehidupan yang terpengaruh secara langsung. Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak sosial dan ekonomi dari PHK serta mencari solusi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Dampak PHK bagi Sektor Industri

Dampak PHK terhadap kehidupan pekerja sangat signifikan. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal pertama 2025, sektor industri mengalami penurunan drastis akibat penutupan pabrik dan efisiensi operasional. Menurut Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan pada awal 2025 bulan Januari, sebanyak 3.325 orang pekerja telah kehilangan pekerjaan akibat efisiensi perusahaan dan penutupan pabrik, jumlah tersebut belum termasuk PHK massal yang terjadi sepanjang Januari-Maret 2025. Selain itu, data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan bahwa pada Januari-Februari 2025 saja, sebanyak 44.069 buruh ter-PHK dari 37 perusahaan. Alasan 35 perusahaan tersebut melakukan PHK terhadap karyawannya beragam mulai dari pailit, efisiensi, penutupan pabrik, dan relokasi. Salah satu kasus paling mencolok adalah kebangkrutan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang menyebabkan lebih dari 11.025 karyawan kehilangan pekerjaan per Februari 2025 akibat putusan pailit per Januari hingga 26 Februari 2025. Angka tersebut didapatkan dari empat perusahaan Sritex Group, yakni PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali. Selain itu, perusahaan-perusahaan lain seperti PT Yamaha Music Piano, PT Sanken Indonesia, PT Danbi Internasional dan dua perusahaan pabrik sepatu Nike (PT Adis Demension Foorwear dan PT Victory Ching Luh Indonesia) juga melakukan PHK massal terhadap ratusan karyawan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena PHK bukan hanya terjadi pada satu atau dua perusahaan, tetapi merupakan masalah sistemik yang mempengaruhi banyak sektor industri.
ADVERTISEMENT

Meningkatnya Angka Pengangguran dan Penurunan Daya Beli Masyarakat

Ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh PHK massal menciptakan gelombang kekhawatiran yang lebih luas, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan penurunan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat merupakan salah satu dampak paling nyata dari PHK massal. Ketika pekerja kehilangan pekerjaan, pendapatan mereka terputus, yang langsung berdampak pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Penurunan daya beli ini tidak hanya memengaruhi individu dan keluarga mereka tetapi juga berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Dalam konteks ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi menurun drastis. Di sisi lain, UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia juga terdampak oleh penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya angka pengangguran akibat PHK. Ketika para pekerja kehilangan pendapatan mereka, belanja untuk produk lokal juga menurun. Banyak pelaku UMKM mengalami penurunan pendapatan, sehingga memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan menutup usaha mereka.
ADVERTISEMENT

Penyebab PHK Massal

Jika kita tarik ulur penyebab PHK massal, PHK massal ini dipicu oleh beberapa faktor utama, seperti kebangkrutan perusahaan yang gagal bertahan di tengah tekanan ekonomi, persaingan global yang membuat produk lokal sulit bersaing dengan barang impor yang lebih murah, serta kebijakan pemerintah terkait upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap memberatkan sebagian perusahaan sehingga perusahaan untuk melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan. Sebagai salah satu contohnya, Sritex Group yang terpaksa menghentikan operasionalnya setelah gagal merestrukturisasi utang sebesar $1,6 miliar. Di sisi lain, pemerintah telah berusaha menangani krisis ini dengan menjanjikan bantuan bagi pekerja terdampak melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Namun, langkah tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi yang luas akibat badai PHK ini. Hingga pada akhirnya Saritex Group tutup total dan berhenti beroperasional per 1 Maret 2025.
ADVERTISEMENT

Tanggungjawab Elemen yang Terkait

Namun, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas fenomena PHK massal ini? Pertanyaan ini menjadi krusial dalam upaya mencari solusi. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang mendukung stabilitas tenaga kerja dan mencegah gelombang PHK di masa depan. Salah satu langkah strategis adalah meningkatkan daya beli masyarakat melalui kebijakan fiskal yang proaktif, seperti menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau memberikan insentif pajak bagi pekerja dengan pendapatan rendah. Perusahaan juga harus mengambil tanggung jawab moral dalam proses PHK. Mereka perlu memastikan bahwa proses pemutusan hubungan kerja dilakukan secara transparan dan adil, serta memberikan pesangon sesuai dengan ketentuan hukum. Selain itu, perusahaan dapat membantu pekerja dalam masa transisi dengan menyediakan pelatihan keterampilan atau dukungan finansial untuk membantu mereka mencari pekerjaan baru. Masyarakat sipil dan serikat pekerja juga memiliki peran penting dalam menjaga hak-hak pekerja selama proses PHK berlangsung. Mereka dapat berfungsi sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa kebijakan ketenagakerjaan diterapkan dengan baik dan bahwa hak-hak pekerja terlindungi. Dalam menghadapi tantangan ini, beberapa solusi konkret dapat diusulkan. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan investasi di sektor-sektor baru seperti teknologi informasi dan energi terbarukan untuk menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan. Kedua, pemerintah harus memberikan dukungan lebih kepada UMKM, yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Ini bisa berupa bantuan finansial, pelatihan manajemen, dan akses ke pasar. Ketiga reformasi kebijakan upah, kebijakan upah minimum perlu dievaluasi agar tidak memberatkan perusahaan, terutama di sektor-sektor yang sedang mengalami kesulitan. Keempat, program pelatihan keterampilan harus diperkuat agar pekerja dapat beradaptasi dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah. Kelima pemberian insentif untuk perusahaan yang menjaga tenaga kerja, pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau subsidi kepada perusahaan yang berkomitmen untuk tidak melakukan PHK selama periode krisis dan mempertahankan karyawan mereka meskipun dalam situasi sulit.
ADVERTISEMENT
Masa depan tenaga kerja di Indonesia tampak suram jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis untuk mendukung industri lokal dan melindungi pekerja. Banyak pekerja menghadapi ketidakpastian dan kesulitan ekonomi akibat kehilangan pendapatan. Jika jumlah PHK terus meningkat hingga ratusan ribu pekerja dalam beberapa bulan ke depan, konsekuensi jangka panjang bagi stabilitas sosial dan ekonomi negara tidak dapat dihindari. Selain itu, penting untuk diingat bahwa PHK bukanlah sekadar angka dalam statistik di balik setiap angka tersebut terdapat kehidupan yang terpengaruh secara langsung. Dengan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil dan serikat pekerja, kita dapat mengatasi dampak negatif dari PHK massal dengan membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih tangguh dan menciptakan solusi yang berkelanjutan demi menjaga kesejahteraan masyarakat serta stabilitas ekonomi nasional. Menghadapi tantangan ini memerlukan kesadaran kolektif akan tanggung jawab kita terhadap sesama manusia karena setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi diri mereka dan keluarganya.
ADVERTISEMENT