Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Apresiasi Sastra Cerpen "Puasa" pada Buku Talijiwo Karya Sujiwo Tejo
15 Oktober 2022 14:40 WIB
Tulisan dari Natasya Maulida Andini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerpen Talijiwo karya Sujiwo Tejo ini merupakan cerpen yang menjangkau kedalaman jiwa manusia dengan cara yang sederhana. Dalam setiap bagian cerita, selalu ada pesan yang tersampaikan dengan jelas kepada pembaca.
ADVERTISEMENT
Didalam cerpen Talijowo terdapat beberapa cerita menarik antara lain yaitu kisah dengan judul Puasa. Cerpen berjudul “Talijiwo” yang dikarang oleh Sujiwo Tejo ini mengandung gagasan pengarang mengenai keluarga yang berkehidupan kecukupan dan sering mengadakan reaksi bersama suatu ketika mereka sekeluarga ingin menikmati masakan padang di Mojokerto tetapi ayahnya tidak bisa karena bosnya melarang tidak adanya jadwal makan siang karena bosnya sedang berpuasa sunah. Dalam menyampaikan ceritanya pengarang menggunakan alur maju dimana cerita itu dimulai dengan pengenalan tokoh hingga penyelesaian dengan sudut pandang orang ketiga karena di setiap bagian cerita itu, penulis seolah-olah mengisahkan cerita keluarga itu kepada pembaca. Selain itu, dikatakan sudut pandang orang ketiga karena setiap tokoh dalam cerita itu ditampilkan menggunakan nama secara langsung untuk menjelaskan setiap karakter, seperti Nunuk, Ninik, Nono, dan Bos. Kisah dalam cerpen ini terjadi disebuah restoran padang di Mojokerto, di rumah, dan di kantor.
ADVERTISEMENT
Tokoh pertama dalam cerita ini menggambarkan sosok ‘Nono’ sebagai orang yang tidak menepati janji, di perkuat pada narasi dimana tokoh ‘Nono’ mengabarkan kepada anak dan istrinya bahwa dia tidak bisa menepati janjinya. Hal tersebut dijelaskan dalam narasi pada paragraf kelima Mereka sudah janjian bertiga mau makan bareng di restoran Padang di Mojokerto. Pas tiba dong-nya Nono telepon, “Sorry. Gawean belum kelar. Tiba-tiba ada gubernur yang mau menghadap bosku. Tapi mungkin juga karena dipanggil. Kasih tau Ninik jangan muring-muring”. Lalu ada tokoh “Nunuk” dia sebagai istri Nono yang memiliki karakter yang sabar dan menenangkan anaknya. Ada juga tokoh “Ninik” dia sebagai anak dari Nunuk dan Nono yang memiliki karakter kukuh hal tersebut dijelaskan dalam narasi pada paragraf keenam Ninik ndak uring-uringan, tapi manyun. Nunuk paham. Itu hari terakhir restoran tersebut mempertahankan keasliannya. Kasir sampai tukang korah-korah piring semuanya orang padang. Itulah hari terakhir keaslian warung dengan atap bertanduk itu. Dan terakhir ada tokoh “Bos” sebagai orang yang sangat tertib dalam bekerja, taat beragama dan sering melakukan puasa sunah. Hal tersebut dijelaskan dalam narasi pada paragraf terakhir “Bos baru sampeyan sejak tahun terakhir ini tertib. Kalau kunjungan jadwa;nya sehari, ya sehari. Malah kabarnya orangnya suka puasa,” Tanya Nunuk.
ADVERTISEMENT
Konflik dalam peran ini menggambarkan permasalahan yang sering terjadi. Misalnya dalam cerita tersebut digambarkan rumah makan Padang di Mojokerto dan hari terakhir menjaga keasliannya. Seolah-olah ketika karyawan atau pemilik rumah makan Padang bukanlah orang Minang maka akan dianggap tak asli lagi, meskipun rasa masakannya sama. Lalu tentang puasanya tokoh bos dari Nono dalam cerita, yang mengakibatkan tidak adanya jadwal makan siang. Kisah ini berjalan seiring dengan sifat manusia yang tidak toleran dan egois. Sifat intoleran dan egois, jika dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam diri manusia, akan menjadi bibit fasisme. Merasa kitalah yang paling benar, menolak golongan lain untuk tumbuh dan hidup berdampingan.
Kisah puasa ini menggambarkan situasi di Indonesia saat ini, dan masalah di media tidak jauh dari masalah SARA. Apalagi di tahun politik seperti sekarang, isu-isu seperti ini selalu dihebohkan. Masyarakat terpecah, melihat satu sama lain secara berbeda, dan memusuhi perbedaan. Padahal, kita semua adalah manusia yang sama dan harus memanusiakan manusia lain.
ADVERTISEMENT
Cerpen ini cukup baik dalam perihal toleransi antar sesama sangat ditonjolkan. Sebagai warga negara yang memang memiliki kepentingan dan latar belakang yang berbeda sudah seperti sebuah keharusan jika kita harus saling menghargai satu sama lain. Namun, gaya bahasa yang digunakan penulis terlalu rumit bagi orang yang hanya membaca cerpen ini secara sepintas saja. Cerpen ini perlu dibaca berulang-ulang agar bisa memahami isi dan makna cerpen dengan sebaik-baiknya. Pemakaian kata dalam kalimat banyak yang tidak efektif sehingga membuat pembaca menjadi pusing dan susah memahami isinya. Walaupun cerpen ini pendek, namun ketika membacanya dibutuhkan kefokusan yang tinggi supaya bisa memahami inti dan makna cerita.