Konten dari Pengguna

Belajar Bukan Lagi Duduk Diam: Menyambut Cara Pikir Generasi Alpha

Natasya Indira Putri
Saya seorang mahasiswi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan program studi pendidikan ekonomi, Universitas Pamulang
30 April 2025 8:09 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasya Indira Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ini menggambarkan anak-anak Generasi Alpha yang belajar dengan teknologi dalam ruang kelas yang modern.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini menggambarkan anak-anak Generasi Alpha yang belajar dengan teknologi dalam ruang kelas yang modern.
ADVERTISEMENT
Generasi Alpha dan Tantangan Baru Menurut laporan McCrindle Research, Generasi Alpha diprediksi menjadi generasi paling berpendidikan dan paling melek teknologi. Tapi di balik itu, mereka juga generasi dengan rentang perhatian yang pendek dan lebih suka belajar dengan pengalaman langsung daripada sekadar mendengar ceramah.
ADVERTISEMENT
Laporan UNESCO (2023) juga menyoroti bahwa pendidikan abad ke-21 harus menekankan pada keterampilan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas empat hal yang justru sulit tercapai jika metode belajar masih terpaku pada sistem satu arah yang kuno. Kritik: Ketika Pembelajaran Masih Terjebak Zaman Batu Bukan hal asing jika siswa masih dipaksa duduk diam berjam-jam, mencatat papan tulis yang penuh tulisan, dan diuji berdasarkan hafalan. Sayangnya, ini bukan lagi cara kerja otak generasi Alpha. Dalam studi yang diterbitkan oleh Frontiers in Psychology (2021), metode belajar yang melibatkan interaksi, problem-solving, dan visualisasi terbukti jauh lebih efektif dalam membangun pemahaman jangka panjang, khususnya untuk anak-anak digital native. Solusi: Strategi Pembelajaran Berbasis "Inkuiri + Teknologi + Empati" Strategi yang terbukti menjawab tantangan ini adalah inkuiri terbimbing model pembelajaran yang mendorong siswa untuk bertanya, mencari tahu, dan menyimpulkan sendiri. Ketika dipadukan dengan teknologi (seperti video interaktif, simulasi, dan game edukatif), pembelajaran menjadi lebih “hidup”. Tak hanya itu, pendekatan empatik yang menyesuaikan gaya belajar individu juga perlu diperkuat. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tapi fasilitator yang membantu siswa menemukan sendiri makna belajar. Arah Baru: Guru sebagai Desainer Pengalaman Belajar Bayangkan jika guru didorong untuk mendesain pembelajaran layaknya arsitek merancang rumah—unik, estetis, dan fungsional. Maka, ruang kelas akan berubah menjadi ekosistem belajar yang fleksibel dan menyenangkan. Bukan sekadar tempat mendengarkan, tapi ruang untuk bereksplorasi. Generasi Alpha bukanlah “masalah” yang harus ditaklukkan, tetapi potensi besar yang harus diarahkan. Maka, pendidikan tak bisa lagi berjalan dengan pola yang sama, karena dunia mereka sangat berbeda. Jika kita ingin mencetak generasi unggul, mari kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana: Apakah cara kita mengajar sudah sebaik cara mereka belajar?
ADVERTISEMENT