Konten dari Pengguna

Science-Tech Colloquium: Konstruksi Baja Tahan Gempa di Indonesia oleh FaST UPH

28 Mei 2018 8:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nathania Levina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Science-Tech Colloquium: Konstruksi Baja Tahan Gempa di Indonesia oleh FaST UPH
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebagai rangkaian seminar yang dilakukan sebulan sekali, Faculty of Science and Technology Universitas Pelita Harapan (UPH) kembali mengadakan acara The Science-Tech Colloquium dengan topik Prospek dan Tantangan Konstruksi Baja Tahan Gempa Indonesia, dengan menghadirkan Dr. Wirjanto Dewobroto, Prodi Teknik Sipil selaku pembicara dalam seminar tersebut juga penulis buku struktur baja, Perilaku, Analisis & Desain – AISC 2010, pada hari Kamis, 24 Mei 2018 pukul 14:30 WIB di ruangan B-547, Gedung B, Kampus UPH Karawaci. Acara ini terbuka untuk para dosen, staff, mahasiswa UPH serta publik secara umum.
ADVERTISEMENT
Di dalam acara ini dijelaskan bahwa masih kurang penggunaan baja di Indonesia untuk menanggulangi bencana gempa bumi. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat baja merupakan bahan yang tepat untuk mencegah terjadinya bangunan runtuh saat terjadi gempa. Hal ini karena baja sifatnya yang kaku dan memiliki ketahanan yang sangat kuat; rasio kuatnya 5.1 – 7, dibandingkan beton 0.9-2.3. Beton hanya kuat pada tekan, sedangkan tarik dipukul baja.
Beberapa keuntungan dari baja adalah; kecepatan dalam merakit dan juga flexibel dengan proyek dengan keterbatasan seperti contoh lokasi yang sempit. Tetapi harga baja yang mahal dan juga butuhnya perencanaan yang lebih kompleks, menyebabkan banyak kontraktor di Indonesia lebih memilih beton dibandingkan baja.
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara yang sangat rawan bencana gempa di dunia, negara lainnya adalah Jepang dan Selandia Baru. Tetapi Jepang merupakan negara yang sangat meperhatikan kondisi struktur bangunan mereka agar tahan gempa dikarenakan 25% penduduk Jepang tinggal di Tokyo, yang dipenuhi oleh banyak bangunan.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan kali ini bapak Wirjanto mengajak kita untuk belajar cara Jepang menghadapi gempa. 20% gempa di dunia terjadi di perairan Jepang, hal ini terbilang lebih rendah dibandingkan Indonesia dengan mencapai angka 25%, akan tetapi lokasi Jepang yang tergolong kecil mengakibatkan dampak yang diberikan lebih besar dari pada Indonesia.
Salah satu cara Jepang menghadapi gempa adalah; pertama menetapkan batasan tinggi bangunan, yaitu tidak boleh lebih dari 60 lantai, kedua adalah pemakaian material dalam konstruksi bangunannya, mereka mewajibkan pemakaian baja pada bangunan besar dan tinggi, beton hanya digunakan untuk bangunan kecil dan rendah, yang ketiga adalah Teknologi Khusus peredam gempa sebagai upaya pertahanan negara.
Selandia baru menggunakan “base-isolation” yaitu konstruksi portal beton diatas diatas base isolation yang menjadi sistem utama tahan gempa.
ADVERTISEMENT
“Jepang dan Selandia Baryu sudah bersikap tega memilih konstruksi baja untuk menghadapi gempa dan mereka mengkaji sungguh – sungguh keandalan sistem konstruksi bangunan agar setelah gempa bangunan dapat diperbaiki dan dipakai kembali dengan cepat.” Jelas bapak Wirjanto.
Apabila menggunakan beton maka akan susah untuk inspeksi dan perbaikan kembali, dan pada akhirnya harus dibongkar ulang, yang akan memakan banyak waktu dan tenaga. Hal ini tentunya sangat merugikan perekonomian negara karena banyak aktivitas bisnis yang terhenti, dan ini sangat dirasakan oleh Jepang yang mempunyai kerugian yang sangat besar apabila terjadi gempa karena lokasinya yang kecil dan di rawan gempa.
“Kalau di Indonesia mereka memiliki moto bahwa bangunan boleh rusak asalkan penghuni selamat, padahal sebetulnya banyak korban jiwa juga, hal ini sangat kontras dengan Jepang dan Selandia Baru yang mempunyai prinsip bahwa keselamatan jiwa dan konstruksi bangunan harus sama pentingnya, karena dengan kontruksi bangunan yang tepat maka keselamatan jiwa juga akan tercapai. Di Indonesia, peraturan bangunan tahan gempa belom memakai control system / damper.” Lanjut bapak Wirjanto.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Dr. Wirjanto Dewobroto juga menjelaskan tentang prinsip kerja dan keandalan bangunan tahan gempa, kategori sistem bangunan tahan gempa, dan juga CODE bangunan tahan gempa yang disetujui pemerintah dalam membangun bangunan, sehingga apabila insinyur mengikuti CODE tersebut maka apabila terjadi bangunan yang runtuh karena gempa ia tidak dapat disalahkan dan merupakan suatu musibah yang tidak dapat dihindari.