Menikmati dan Membenci Acara Televisi dan Film Secara Bersamaan, Apakah Mungkin?

Natrisia Avisha
Fresh Graduate of Communication Science from Brawijaya University
Konten dari Pengguna
19 Mei 2022 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natrisia Avisha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penonton televisi dan film. (sumber: dibuat melalui proses editing pada platform Canva.)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penonton televisi dan film. (sumber: dibuat melalui proses editing pada platform Canva.)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai orang yang sangat mengikuti perkembangan televisi dan film di dunia, saya sering kali menetapkan standar yang tinggi untuk menilai televisi dan film dengan kualitas yang baik, maupun yang kurang baik. Tentu saja pilihan-pilihan saya untuk menonton jatuh pada acara-acara yang diproduksi dengan mengesampingkan profit dan lebih mengutamakan kedalaman cerita dan kreativitas setiap orang yang terlibat dalam pembuatan suatu acara, baik itu sutradara, penulis naskah, sinematografer, sampai aktor yang memerankan karakter pada suatu acara. Sering kali saya menganggap acara-acara yang diproduksi dengan mengikuti kemauan pasar sebagai acara yang dangkal dan mudah ditebak. Namun, tidak dapat dipungkiri, terkadang saya juga merasa jenuh menonton acara yang saya anggap berkualitas baik tersebut. Menurut saya, menonton acara yang saya anggap bagus tersebut membutuhkan waktu yang harus saya dedikasikan untuk mencerna keseluruhan isi acara. Sehingga setelah hari yang panjang di luar rumah, biasanya saya tidak bisa menikmati acara-acara tersebut dengan mudah, dan pada akhirnya saya berhenti menonton di tengah-tengah acara. Hal ini membuat saya bertanya lagi, apakah saya harus membuka diri saya untuk acara-acara yang saya anggap tidak sesuai dengan selera saya?
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya mulai membuka diri untuk menonton acara mainstream dan mengabaikan idealisme saya sebagai pecinta televisi dan film. Kemudian saya sadar, tidak seperti acara yang saya gemari, ternyata saya mulai menikmati acara-acara mainstream tersebut setelah hari yang panjang di luar rumah. Memang pandangan saya terhadap acara-acara tersebut tidak berubah. Menurut saya, acara-acara tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan untuk saya dan memang keseluruhan acaranya mudah ditebak. Namun kemudian saya sadar, keringanan dan kemudahan dari konten acara tersebut lah yang membuatnya menarik. Saya bisa menonton acara-acara tersebut tanpa harus dengan sulit memproses konten acara tersebut, dan ternyata itu juga sama menghiburnya dengan menonton acara-acara yang saya anggap harus dicerna dalam-dalam. Bahkan, terkadang jalan cerita serial TV yang konyol dan cenderung cheesy, yang awalnya saya pikir akan membuat saya jijik, juga bisa menjadi alasan saya terhibur. Lantas saya berpikir, apakah permintaan pasar yang tinggi terhadap acara-acara seperti ini adalah karena banyak orang-orang seperti saya yang gemar menertawakan konten acara yang saya anggap murah ini?
ADVERTISEMENT
Dilansir dari The Washington Post, ternyata fenomena ini banyak terjadi di kalangan masyarakat yang mengikuti budaya pop. Acara-acara seperti “The Bachelorette”, dan “Keeping Up with the Kardashians” dinilai menjadi tontonan yang digemari penonton untuk “ditertawakan”. Kegiatan menonton suatu acara dengan intensi untuk menghina acara tersebut disebut hate-watching. The Washington Post menjelaskan, hate-watching merupakan aktivitas dimana masyarakat menganggap suatu tontonan menjadi sebuah guilty pleasure atau hal yang membawa kesenangan sekaligus rasa bersalah untuk dikonsumsi. Dengan menonton acara-acara yang tidak sesuai standar selera mereka sebagai penonton, mereka justru mendapatkan kesenangan dengan cara mengolok-olok konten acara tersebut. Menurut mereka, tontonan-tontonan tersebut sangat buruk sehingga itu menjadikannya sangat bagus juga untuk mereka “nikmati”. Joli Jensen, seorang professor studi media di Univesity of Tulsa, melalui BBC News, juga menjelaskan bahwa masyarakat cenderung mendapatkan kesenangan dengan cara mencari tahu mengapa suatu objek tidak dapat memberikan kesenangan yang mereka harapkan. Selain itu, Wikipedia menyebutkan bahwa kegiatan hate-watching juga sangat dekat hubungannya dengan budaya anti-fan. Dimana budaya anti-fan ini memiliki arti bahwa masyarakat tertentu melakukan kebalikan dari kelakuan penggemar yang mendapatkan kesenangan dengan menyanjung suatu konten maupun subjek suatu acara, namun budaya anti-fan justru mendapatkan kesenangan dari ketidaksukaan mereka terhadap suatu konten maupun subjek suatu acara.
ADVERTISEMENT
Ternyata, ungkapan “seorang pembenci adalah penggemar yang sesungguhnya” itu ada benarnya juga, ya. Walaupun fenomena ini terbukti ada dan terjadi di kalangan masyarakat, namun menurut saya tetap tidak membenarkan komentar-komentar yang bersifat merundung terhadap suatu tontonan atau figure dalam suatu acara. Sehingga, jika kita memutuskan untuk melakukan hate-watching, lebih baik kita nikmati sendiri di rumah tanpa harus melanggar batasan-batasan dan norma yang berlaku, ya!