Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Demokrasi yang Terpendam
13 Mei 2025 12:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Kurnia Ayu Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Demokrasi di negeri ini telah terlalu lama berada dalam ruang tunggu. Ia dikandung dengan harapan besar, digembar-gemborkan sebagai jalan menuju keadilan dan kesejahteraan, namun gagal dilahirkan secara utuh. Yang ada hanya kontraksi berkepanjangan, dengan jeritan rakyat yang menahan sakit akibat sistem yang tidak matang, penuh kompromi elit, dan cacat sejak dini oleh perselingkuhan antara kuasa dan uang. Demokrasi kita bukan bayi yang tumbuh sehat, melainkan janin yang dibiarkan hidup setengah, dipamerkan dalam pidato politik, namun dikorbankan dalam transaksi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Di atas kertas, demokrasi tampak menjanjikan. Ada konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat, pemilu yang digelar lima tahun sekali, dan parlemen yang katanya mewakili suara rakyat. Namun, itu semua hanya ornamen dalam pertunjukan yang sudah diatur sejak awal. Rakyat hanya penonton dalam panggung demokrasi yang dimainkan oleh aktor lama, yang berkostum berbeda namun tetap membawa naskah yang sama. Mereka berteriak tentang perubahan, padahal yang mereka jaga adalah status quo.
Kebebasan berpendapat ada, tapi dibatasi oleh undang-undang yang elastis, pasal-pasal karet yang bisa menjerat siapa saja yang terlalu kritis. Demonstrasi dibolehkan, tapi dikawal ketat, dibatasi ruang dan waktunya, bahkan dibubarkan paksa jika suaranya terlalu keras bagi kekuasaan. Di media sosial, algoritma dikendalikan oleh kepentingan, buzzer dibayar untuk membentuk opini, dan kritik dibanjiri disinformasi. Maka lahirlah ilusi demokrasi: kita tampak bebas, tapi dibatasi oleh pagar tak terlihat.
ADVERTISEMENT
Pemilu, puncak ritual demokrasi, telah kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi ajang adu kekuatan logistik, pengaruh media, dan koalisi transaksional. Setiap musim kampanye adalah musim panen janji. Kandidat berlomba membuat visi heroik: pendidikan gratis, lapangan kerja luas, harga murah, layanan publik unggul. Namun, semua itu berhenti di selebaran dan baliho. Ketika mereka duduk di kekuasaan, naskah janji dilipat rapi dan disimpan dalam laci meja anya dibuka saat pemilu berikutnya.
Sistem perwakilan kita telah kehilangan esensinya. DPR, yang seharusnya cermin suara rakyat, lebih sering menjadi perpanjangan tangan kepentingan partai dan elit ekonomi. Sidang-sidang digelar, RUU disusun, namun yang dibahas bukan aspirasi rakyat, melainkan lobi-lobi kekuasaan. Ketika undang-undang kontroversial disahkan semalam, jelas yang bekerja bukan demokrasi deliberatif, melainkan kekuasaan otoriter yang memakai topeng prosedural.
ADVERTISEMENT
Demokrasi gagal lahir karena dari awal ia dikandung dengan niat yang tidak tulus. Para pendiri pasca-reformasi memang menolak otoritarianisme, tapi bukan untuk membangun sistem yang setara. Otoritarianisme digantikan oleh oligarki kekuasaan tunggal digantikan oleh jaringan elit yang berbagi kekuasaan dalam sistem yang tampak demokratis, tapi dikendalikan dari balik layar. Maka lahirlah demokrasi prosedural yang kosong secara substansi.
Ironisnya, rakyat tidak lagi pasif. Generasi hari ini lebih cerdas, terhubung, dan kritis. Mereka bisa membedakan antara retorika dan kinerja, antara narasi dan realita. Namun ketika rakyat mulai bangkit, negara merespons dengan represi halus namun efektif. Kritik dibungkam melalui UU ITE, demonstran dicap perusuh, jurnalis dikriminalisasi, dan aktivis diawasi. Negara berjalan di atas dua kaki yang timpang: satu bicara tentang demokrasi, satu menuju otoritarianisme terselubung.
ADVERTISEMENT
Di tengah semua ini, media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, ikut bermain dalam pusaran kekuasaan. Banyak media arus utama kehilangan independensinya, tunduk pada pemilik modal yang memiliki afiliasi politik. Pemberitaan menjadi alat framing, bukan pencerahan. Investigasi yang tajam semakin langka, digantikan oleh berita infotainment politik yang dangkal.
Rakyat menghadapi kesenjangan struktural yang semakin menganga. Pendidikan masih menjadi barang mewah, kesehatan sulit dijangkau, pekerjaan layak semakin langka, sementara harga kebutuhan pokok naik. Di pedesaan, petani menghadapi konflik agraria, di perkotaan, buruh terjebak dalam sistem kerja eksploitatif. Pemerintah menampilkan citra keberhasilan di media, menciptakan realitas alternatif yang jauh dari kenyataan.
Demokrasi gagal lahir ini adalah potret negara yang lebih mementingkan estetika daripada etika. Semua diukur dari tampilan luar: pertumbuhan ekonomi tinggi, indeks pembangunan naik, investasi masuk. Tapi siapa yang menikmati hasilnya? Ketimpangan tetap tinggi, kemiskinan semu, dan kesejahteraan tak merata. Pertumbuhan tanpa distribusi yang adil hanyalah ilusi.
ADVERTISEMENT
Namun, ironi paling menyakitkan adalah bagaimana sistem ini perlahan-lahan mematikan harapan yang dulu besar. Reformasi 1998 adalah simbol kelahiran baru, revolusi moral yang menjanjikan masa depan lebih baik, di mana suara rakyat menjadi hukum tertinggi. Namun, dua dekade berlalu, semangat itu semakin pudar, tergantikan oleh pragmatisme politik yang dibungkus dengan bahasa teknokratis.
Ketika politik kehilangan moralitas, yang tersisa hanyalah perebutan pengaruh. Institusi negara, yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, berubah menjadi alat untuk menyingkirkan lawan dan memperkuat posisi. Penegakan hukum bersifat selektif, tergantung siapa pelakunya dan seberapa besar kepentingan politik yang terlibat. Birokrasi dipolitisasi, dan sumber daya negara digunakan untuk pertarungan kekuasaan.
Ruang publik kita berubah menjadi arena pertempuran simbol dan narasi. Setiap kelompok berusaha mendominasi persepsi publik, bukan dengan debat substansi, tapi dengan mobilisasi massa, amplifikasi media sosial, dan penggiringan opini. Polarisasi semakin tajam, perbedaan pandangan bukan lagi kekayaan demokrasi, tapi ancaman yang harus dibungkam.
ADVERTISEMENT
Ketika masyarakat terpolarisasi, elite politik berkoalisi. Mereka yang di atas tetap bertransaksi, saling berbagi kekuasaan dan keuntungan. Rivalitas hanya di depan publik, namun di belakang layar semuanya telah diatur: siapa yang duduk di kursi menteri, siapa yang menguasai lembaga strategis, siapa yang mendapat perlindungan. Ini bukan demokrasi, ini adalah kartel politik.
Salah satu bentuk paling tragis dari kegagalan demokrasi adalah bagaimana anak muda mulai kehilangan kepercayaan terhadap politik. Mereka melihat bahwa politik tidak membawa perubahan, suara mereka tidak didengar, dan idealisme hanya membuat mereka dikucilkan. Banyak dari mereka memilih menjauh, fokus pada kehidupan pribadi, aktif di media sosial, tapi enggan masuk sistem yang mereka anggap busuk.
Namun, bukan berarti semua telah hilang. Dalam gelap masih ada cahaya, meski kecil. Masih ada aktivis, jurnalis, akademisi, dan warga negara yang gigih melawan pembusukan sistem. Mereka adalah penjaga bara demokrasi yang tak padam. Tapi mereka tidak bisa berjuang sendirian. Demokrasi bukan hanya urusan elit, tetapi tentang kehidupan sehari-hari, tentang keadilan di ruang publik, tentang suara di ruang rapat, tentang keseimbangan di ruang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin demokrasi benar-benar lahir, kita semua harus menjadi bidannya. Kita harus melawan segala bentuk pembajakan demokrasi, menolak kooptasi kekuasaan, dan membangun ruang publik yang sehat. Demokrasi adalah proses panjang, penuh luka, penuh kekecewaan, dan kadang membuat kita ingin menyerah. Tapi menyerah berarti membiarkan tirani perlahan kembali. Demokrasi adalah tentang konsistensi memperjuangkan kebebasan, meskipun hasilnya tidak instan.
Kini pertanyaannya bukan lagi apakah demokrasi kita sehat atau sakit, tetapi apakah ia pernah benar-benar lahir. Demokrasi yang gagal lahir bukan sekadar metafora ini adalah realitas politik yang kita hadapi. Demokrasi kita baru sampai pada tahap imitasi: meniru bentuk demokrasi, namun belum menghayati substansinya. Maka tugas kita bukan hanya melanjutkan demokrasi, tapi melahirkannya ulang dengan cara yang lebih jujur, lebih adil, dan lebih manusiawi.
ADVERTISEMENT