Konten dari Pengguna

Asian Value: Menuju Indonesia (C)emas

Naufal Al Rafsanjani
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Antusias dalam mengamati fenomena sosial yang berkaitan dengan kebahasaan, politik dan kebijakan publik.
9 Juni 2024 10:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Al Rafsanjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini ramai penggunaan istilah Asian value di media sosial. Istilah ini lahir pada sebuah obrolan politik di salah satu kanal YouTube. Obrolan tersebut melibatkan dua host, yakni Budi Adiputro dan Arie Putra, serta salah satu komika (stand up comedian) yang menaruh minat terhadap isu politik, yakni Panji Pragiwaksono.
Ilustrasi: Savvas Stavrinos via pexels
Kanal Youtube tersebut sebenarnya menyajikan obrolan-obrolan yang menarik selama ini. Menghadirkan banyak tokoh politik, tokoh publik hingga Menteri dan cukup berperan memberikan edukasi politik sepanjang yang penulis ketahui. Hanya saja pada tulisan ini kita akan berfokus pada salah satu episodenya.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada istilah Asian Value. Istilah ini sederhananya dapat ditautkan dengan nilai-nilai kehidupan yang bernafaskan moral ketimuran. Seperti halnya, kekeluargaan, kerja sama, dan rasa empati.
Hal yang membuat istilah Asian Value ini menjadi viral dan begitu cepat menuai sorotan publik bahkan menjadi trending topic di media sosial X sebenarnya terletak pada konteks pembicaraannya.
Adapun yang menjadi konteks (sebagian) obrolan politik tersebut adalah pembicaraan mengenai politik dinasti yang dikhawatirkan akan kembali tegak di Republik ini. Hal yang menyebabkan isu ini kembali naik kepermukaan adalah putusan Mahkamah Agung No.23 P/HUM/2024 tentang Perubahan keempat atas PKPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Putusan itu dinilai memiliki kemiripan pola dengan putusan Mahkamah Agung nomor 90/PUU-XXI/2023 karena diputuskan menjelang perhelatan Pemilu dan langsung berefek atau memengaruhi kontestasi.
ADVERTISEMENT
Jika putusan MK nomor 90 berpengaruh terhadap perubahan mengenai syarat ketentuan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan MA nomor 06 ini berpengaruh terhadap persyaratan dan ketentuan pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota beserta masing-masing wakilnya.
Sebagian masyarakat menilai bahwa putusan ini adalah alat yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk memuluskan niat salah satu bakal calon yang notabene terhalang oleh persyaratan. Namun tidak sedikit juga yang mengambil sikap untuk memilih diam (selagi tidak merugikan dan/atau berefek langsung dalam kehidupannya.)
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat kita apatis dengan kondisi politik karena menganggap "siapapun pemimpinnya tidak akan berpengaruh pada nasib mereka?" Atau justru mereka lelah karena selama ini suara-suara perjuangan hanya berdengung tanpa masuk kuping istana?
ADVERTISEMENT
Poin yang akan disorot di sini adalah kemunafikan masyarakat kita dalam melihat isu ini. Sebagai contoh, banyak orang kesal ketika dihadapkan pada situasi penyeleksian yang dilakukan secara tidak jujur dikarenakan adanya pengaruh "orang dalam". Pada saat yang sama, ketika hal itu juga dipertontonkan dalam panggung politik kekinian, masyarakat cenderung bungkam dan seolah menerapkan double standard.
Sementara itu, hal yang menjadi keunikan dalam pertimbangan prespektif sebagian lainnya yang menganggap bahwa Politik Dinasti itu tidak clear sebagai hal yang dipraktikkan di negara ini karena sistem pemilihan di Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Nah, garis bawahi bagian ini "dipilih langsung oleh rakyat".
Hal itulah yang kemudian menjadi soal karena turut digelorakan oleh mereka yang mengambil posisi pro (mendukung politik dinasti dengan berlandaskan pada Asian Value tadi). Mereka yang pro menjadikan itu sebagai alasan yang paling ampuh untuk menjawab setumpuk pertanyaan dari publik. Padahal seperti yang kita tau bahwa Pemilihan Umum kemarin juga mendapatkan catatan yang harus menjadi perhatian ke depan bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki ke depannya dan masalah etika yang nampaknya tidak ada harga dirinya di negara ini juga perlu diletakan kembali pada posisi seharusnya.
ADVERTISEMENT
"Lalu bagaimana dengan hukum yang berlaku? Bukankah semuanya totally legal atau sah secara hukum?"
Inilah yang menjadi titik lemahnya. Celah tersebut yang pada ujungnya menjadi tameng para pihak yang berkepentingan. Orang-orang ini seolah menganggap bahwa masyarakatnya mudah dibodohi sehingga tak akan menaruh curiga atas tindakan yang mereka lakukan, pun apabila ada kecurigaan, akan muncul berentet tokoh yang piawai dalam membela dan membenahi opini publik yang kontra. Mereka memanfaatkan celah dan oleh karena telah menjadi putusan hukum maka cukup menjadi landasan yang berlaku surut (incrach) sehingga tidak bisa diganggu gugat.
Kembali lagi pada istilah Asian value, apakah pembaca adalah bagian yang setuju terhadap pandangan yang tidak mempermasalahkan praktik politik dinasti asalkan menerapkan Asian Value? Atau justru menjadi bagian yang khawatir karena menilai politik dinasti sebagai pintu masuk tindakan tidak terpuji, yakni praktik korupsi? Lebih lagi negara ini memiliki traumatis tersendiri.
ADVERTISEMENT
Penulis meyakini bahwa hal ini akan awet sebagai isu dan menjadi bahan bakar utama perdebatan sampai mulut berbusa atau sampai jari keriting karena masifnya aktivitas berbalas komentar antarpengguna.
Pada akhir artikel ini, penulis hendak memberikan pesan bahwa pihak-pihak pemegang kuasa seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat luas. Ini bukan sekedar peristiwa politik yang akan surut seiring dengan berjalanannya waktu, tetapi praktik politik dinasti, perpanjangan tangan melalui anggota keluarga, perubahan aturan secara tergesa-gesa, dan pengabaian kritik, bukan tidak mungkin diadaptasi pada situasi dan kondisi lainnya.
Sebab apabila sudah sampai pada titik tertentu dan menjadi keyakinan yang mengakar, percayalah bahwa masyarakat adalah korban yang paling terimbas dan impian untuk menjadi Indonesia Emas semakin sulit digapai karena berakhir pada rasa cemas.
ADVERTISEMENT