Konten dari Pengguna

Confess: Cerita Tentang Rasa

Naufal Al Rafsanjani
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Antusias dalam mengamati fenomena sosial yang berkaitan dengan kebahasaan, politik dan kebijakan publik.
26 Desember 2022 9:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Al Rafsanjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku berjalan menghampiri kotak kecil yang berada di atas meja di lantai dua, kotak itu masih terkunci, butuh barisan angka untuk membukanya. Tentu saja aku ingat kombinasi angka untuk membuka kuncinya. Kemudian aku atur sedemikian rupa dan terbukalah… Kotak itu hanya berisikan kertas yang bertuliskan cerita tentang rasa, sebuah cerita yang mungkin sekarang menjadi legenda.
Ilustrasi: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Dokumen Pribadi
Di meja yang berbeda, ‘Jujur’ dan ‘Waktu’ duduk saling berhadap-hadapan, menyesap kopi dan menatap langit yang pada malam hari ini dihiasi oleh hujan.
ADVERTISEMENT
Malam ini aku mencoba berfikir, merenung, menentukan apakah cerita tentang rasa itu perlu diungkapkan, atau justru dibiarkan menjadi sebuah fiksi yang penuh daya khayal. ‘Waktu’ mencoba meyakiniku, meski kami sempat besitegang, tapi pada akhirnya aku mengalah, karena menurutnya semuanya bisa saja akan berakhir lebih cepat dari yang semestinya.
Memang begitu faktanya, dan masih menjadi tanyaan besar apakah Dia yang ada di dalam cerita akan terus menjadi tokoh utama, atau justru rasa canggung mengambil alih jeda kata pada kalimat tentang kita setelahnya.
Kemudian Aku mengambil ponsel yang sedari tadi juga tergeletak di meja dan mengirim satu baris pesan singkat kepadanya. Menanyakan sebuah kepastian akan pertemuan. Pesan itu nampaknya langsung Ia baca. Dan tak lama berselang sebuah balasan pesan datang.
ADVERTISEMENT
Aku hanya tersenyum membaca pesannya.
***
Aku berjalan dengan tergesa-gesa diantara deretan gedung yang menjulang tinggi, langit malam ini tidak menampakan bintang, awan gelap cukup tebal menyelimuti. Lalu lintas padat seperti biasanya, sementara pedagang kaki lima masih bersemangat menjajakan barang dagangannya. Aku terus berjalan menyusuri trotoar Jl. Bhayangkara, sampai pada akhirnya tiba di pusat perbelanjaan pinggir kota.
Mulanya agak sulit menemukannya, karena pusat perbelanjaan ini cukup luas dan Aku tidak familiar, sampai pada akhirnya ponsel dalam saku bergetar dan memunculkan dua baris pesan pada panel notifikasi.
Kamu sudah tiba kan?
Aku di lantai dua ya.
Huft… Aku menghela nafas, karena sudah 15 menit keliling mencarinya.
Aku kembali menuju lantai dua, dan berjalan ke arahnya. Dari kejauhan nampak ia mencoba melambaikan tangan, di depan sebuah toko DIY. Aku melangkah ke arahnya hingga jarak kami semakin dekat. Ia tampak serasi dengan setelan yang digunakan, dan semyumnya masih nampak sama seperti dulu.
ADVERTISEMENT
Kami berjalan berdampingan, menuju tempat yang cukup bersejarah, tempat dimana jantung berhasil mengidentifikasi lewat detaknya yang semakin cepat, dan hati yang berhasil mendefinisikan suatu perasaan aneh, kekaguman yang tidak biasa, yang orang sebut sebagai cinta.
Kemudian tibalah di sebuah restoran, kami memesan minum dan makanan, dan mencari tempat ternyaman. Kami menceritakan tentang kehidupan kami masing-masing. sebuah momen yang agaknya langka, karena belakangan kami sibuk dengan kegiatan dan rutinitas yang berbeda.
Sampai pada akhirnya obrolan itu diarahkan kepada sebuah pengakuan, aku mencoba menatapnya tanpa keraguan, kemudian mengatakan...
Ada satu hal yang perlu Aku sampaikan, aku ingin kamu dengar baik-baik karena hal ini sangat potensial menghasilkan kekeliruan.
Ini soal janji terhadap diri sendiri…
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu, sejak pertemuan itu, sebuah rasa aneh muncul, pertemuan kita meninggalkan jejak rasa suka.
Yaa… Rasa sukaa…
Perasaan yang seolah dapat meraba asa yang tak dimiliki oleh angan.
Perasaan yang mampu mendengarkan hening yang tak dimiliki oleh suara.
Juga perasaan yang bisa mendapatkan abadinya jingga yang tak dimiliki oleh senja.
Selama ini rasa suka menjadi sebuah rahasia, karena nampaknya aku tidak se-tegar matahari yang terus bersinar meski ditutupi awan gelap, dan aku tidak yakin mampu bersinar sebagai bintang di tengah indahnya langit malam.
Keberanian selalu dilucuti rasa pesimistis.
Aku takut ungkapan ini akan menghapus warna dalam dunia, aku takut dunia menjadi hitam dan putih.
Aku takutt… Yaaa aku sangat takut… Aku pengecut.
ADVERTISEMENT
Ia tertegun mendengar pengakuan itu, wajahnya memerah, dan diam seribu bahasa.
***
Pengakuan itu berhasil menghapus beban yang ku tanggung selama ini.
Misiku berhasil, memberitahunya, bahwa dialah tokoh utama dalam “Cerita Tentang Rasa”
Tak ada harapan yang menyusup dalam pengakuan, karena sejatinya ungkapan bukan pertanyaan, sehingga keberadaan jawaban bukanlah suatu hal yang penting untuk diperhitungkan.
***
Hari ini, ‘Jujur’ mulai mengemas barang-barangnya, misinya sudah selesai, dan sudah waktunya ia kembali. Sementara ‘Waktu’ sibuk memandangi indahnya cakrawala. Langit pagi hari ini cukup cerah, konon matahari pun nampak tersenyum di singgasananya, burung-burung pun nampak bahagia berterbangan memamerkan kepakan sayap indahnya.
Pertemuan yang menunjukan soal tokoh utama itu adalah awal bagaimana sebuah kata bekerja, menyajikan fakta empiris sekaitan dengan rasa cinta.
ADVERTISEMENT
***
Note: Cerita pendek ini merupakan cerita bersambung dari kisah sebelumnya yang dipublikasikan secara terpisah dari waktu ke waktu. Cerita pendek sebelumnya yang dimaksud ialah:
Beberapa nama tokoh dalam cerita pendek ini dibuat dengan nama yang tidak biasa, seperti tokoh 'Jujur' dan 'Waktu' hanya untuk merepresentasikan makna sebuah adjektiva.