Jalan dan Persimpangan

Naufal Al Rafsanjani
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirayasa. Antusias dalam mengamati fenomena sosial yang berkaitan dengan kebahasaan, politik dan kebijakan publik.
Konten dari Pengguna
16 Mei 2023 16:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Al Rafsanjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Jadi kamu akan pergi?" ujarnya.
Tak ada lagi suara yang terdengar, keduanya sepakat untuk menciptakan keheningan.
Ilustrasi: Dokumen Pribadi © Irma Kartika
Aku memalingkan wajah ke arah jendela, memandangi lalu lintas malam yang nampak cukup senggang.
ADVERTISEMENT
Sementara ia mulai sibuk mengeluarkan ponselnya, mengirim beberapa balasan pesan yang entah ditujukan kepada siapa.
Kemudian aku berdiri. Matanya yang sebelumnya terfokus pada ponsel, kini beralih melihat langkahku yang hendak pergi.
Aku mengeluarkan sebuah pesan singkat yang ku tuliskan dalam secarik kertas, kemudian ku letakan kertas tersebut di samping tangan kirinya.
Dan aku pun melangkah pergi.
Ada perasaan yang menyuruhku untuk menengok ke belakang, tapi enggan aku turuti. Aku membuka pintu kedai kopi itu dan berjalan melintasi trotoar Jl. Melati.
Udara malam ini cukup sejuk, semilir angin menyapu setiap jengkal kulit, sementara di atas sana bulan belum sempat menjadi purnama.
Ada yang sedikit berbeda soal langkahku malam ini, biasanya ada langkah kecilnya yang suka mengiringi, tapi kini hanya terlihat refleksi bayangan langkahku sendiri.
ADVERTISEMENT
Langkah ini membawaku ke sebuah tempat perhentian bus. Sebuah halte bus kecil yang kondisinya sudah agak memprihatinkan. Aku duduk di tempat yang terlihat agak rapuh.
***
Whina melihat pria itu pergi, dan ia kembali sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya, membalas setiap pesan yang muncul dalam panel notifikasi.
Setelah beberapa saat, kemudian ia mengecek waktu melalui jam tangannya, dan kini ia tertarik dengan apa yang tertulis di secarik kertas itu. Ia membuka lipatannya secara perlahan dan membacanya dengan hati-hati.
"Aku tetap dengan apa yang pernah ku ungkapkan tempo lalu, aku tetap melangkah bersama dengan perasaan ini, ku tau ini tidak mudah bagiku, tapi aku ingin yakin untuk kali ini"
ADVERTISEMENT
Whina berfikir sejenak, "Lantas mengapa ia pergi?" ucap Whina dalam hati.
Whina mengambil tas jinjingnya yang berada di sebelah kanan meja, berdiri dan melangkah meninggalkan kedai kopi itu. Ia berjalan di trotoar yang sama dengan pria yang baru ia temui sebelumnya. Kemudian pandangannya menengadah ke langit, melihat bintang-bintang yang berdiri tidak beraturan. Ada yang cahayanya terang, dan adapula yang sedikit agak redup, walaupun Whina juga memahami bahwa bintang yang cahayanya redup adalah ia yang letaknya lebih jauh dari bumi.
Fenomena indahnya bintang di langit adalah fenomena keberadaan, ia tetap berdiri, meski seringkali terabaikan oleh hadirnya bulan.
Ia melangkah hingga sampai ke tempat perhentian bus. Halte bus ini menyimpan beberapa memori masa lalu, bagaimana ia dulu sering menunggu bus di sini. Dahulu halte bus ini berdiri sangat kokoh, berjejer pula tanaman hias yang memperindah suasana, namun keadaan tergerus oleh waktu, tempat ini bukanlah tempat yang sama seperti dulu, semuanya telah berbeda, dan bahkan perencana pembangunan kota justru membangun halte bus pengganti, namun di titik pemberhentian yang berbeda.
ADVERTISEMENT
***
Tak ada yang bisa ia nikmati sepanjang perjalanan, pikirannya bercabang. Tentu ini masih ada kaitannya dengan perempuan yang ia temui beberapa menit lalu. Perempuan baik yang mengajarkan ia banyak hal, dan menemani ia dalam sejumlah situasi sulit. Perempuan itu bernama Whina.
Kami tinggal di kota yang sama, rute bus yang sama, bahkan pemberhentian yang sama, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah persimpangan, Whina ke arah timur, sementara aku ke arah utara.
Kini bus yang ku tumpangi sudah mendekati persimpangan, sopir bus yang nampak lelah memutar bilah kemudi ke arah kiri, kemudian bus berhenti dan akupun turun.
Kini aku berdiri tepat di pinggir persimpangan itu, jarak rumahku dari sini masih cukup jauh, aku mesti berjalan 500m ke depan menuju stasiun kereta api, membeli tiket, menaiki kereta dan tidur hingga waktu pagi. Seperti biasanya sebelum pulang, aku menyebrang jalan dan mampir ke sebuah toko roti, toko roti yang tidak terlalu besar sebetulnya, namun memiliki cita rasa yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Aku memesan beberapa roti cokelat dengan kondisi yang masih hangat, kemudian aku duduk sejenak di depan toko itu, sambil memakan satu dari 3 roti yang ku beli.
Aku kenal dengan penjualnya, penjual yang sudah ada sejak lama, ia konsisten menyajikan roti dengan rasa yang khas, ia bahkan tidak takut tersaingi, ia juga tidak gencar melakukan promosi, karena menurutnya, rotinya memiliki keunikan tersendiri, dan para pembelinya memercayai itu, maka yang perlu ia lakukan adalah tetap berdiri, melayani pelangganan dari pagi, hingga pagi lagi.
***
Sepanjang perjalanan, Whina hanya memandang ke arah luar melalui jendela, melihat beberapa sepeda motor yang meliuk-liuk, menyalip ke kiri dan ke kanan.
Ia mengetahui bahwa sebentar lagi ia sampai di persimpangan, karena dari kaca bus yang agak terbuka, ia sudah mencium aroma adonan roti, dan ia tau bahwa itu berasal dari toko roti di dekat persimpangan.
ADVERTISEMENT
Bus yang ia naiki, merapat ke lajur kiri untuk kemudian berhenti. Ia turun dan melihat pria yang baru ia temui beberapa menit lalu, sesang duduk di sebrang jalan, di depan toko roti.
Pria itu kemudian berdiri, dan berjalan ke arahnya.
Perlahan mendekat dan semakin mendekat, sampai jarak diantara mereka tersisa satu meter.
Kemudian Whina mendengarkan pria itu berbicara.
***
Kita berjalan dengan langkah yang sama, kita menaiki bus dengan rute yang sama, bahkan kita berhenti dan turun dari bus di tempat yang sama, kita pernah saling bercerita, pernah saling tertawa, dan pernah saling meratapi keironian.
Kemudian kita berdiri di sini, di persimpangan, langkah kita terhenti, melihat seseorang yang akan datang, dan orang itu yang kini sedang berbicara.
ADVERTISEMENT
"Percayalah, bahwa semua orang pernah kecewa, tapi semua orang juga bisa memilih untuk melupakan rasa kecewanya, masa lalu memang membawa sebuah pelajaran, namun hal itu tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasi situasi masa kini. Keduanya hadir bukan untuk dibandingkan, disaat masa lalu menghasilkan pengalaman, masa kini hadir membawa jalan perubahan, ini lagi-lagi soal persepsi.
Pada akhirnya kita akan berpisah di persimpangan, kamu menuju tujuan, begitupun aku, tapi aku yakin kita akan bertemu, tapi sekarang biarkan aku pergi, aku akan menghubungimu beberapa kali, dan kamu juga tau bagaimana caranya mencariku, kehadiranmu membawa sebuah kebahagiaan dalam hidupku, tapi aku tidak cukup percaya diri bahwa kamu juga merasakan hal yang sama, aku tau bahwa bukan ini yang mesti difokuskan masa kini, tapi kita akan tetap berpisah di persimpangan ini.
ADVERTISEMENT
Kau tau Tuhan tidak pernah salah dalam mempertemukan kita dengan seseorang, paling tidak kita akan mendapatkan satu dari dua hadiah, hadiah yang pertama adalah pengalaman dan hadiah yang kedua adalah kebahagiaan, aku belum mengetahui hadiah apa yang nantinya aku terima, aku hanya bisa berharap, berencana dan melakukan tindakan dalam mewujudkannya. Doa terbaik untukmu, juga untuk setiap tujuan kita..."
***
Cerita pendek ini merupakan cerita bersambung dari kisah sebelumnya yang dipublikasikan secara terpisah dari waktu ke waktu. Cerita pendek sebelumnya yang dimaksud ialah:
ADVERTISEMENT