Konten dari Pengguna

Trotoar dan Parkir Liar: Ironi Hidup di Perkotaan

Naufal Al Rafsanjani
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Antusias dalam mengamati fenomena sosial yang berkaitan dengan kebahasaan, politik dan kebijakan publik.
3 Agustus 2023 21:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Al Rafsanjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Parkir Liar. (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Parkir Liar. (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Siang itu lalu lintas di sepanjang Jalan Cikini Raya menuju komplek Taman Ismail Marzuki tidak sepadat pada umumnya. Barangkali karena hari itu hari minggu. Sehingga warga Jakarta banyak yang lebih memilih untuk tinggal di rumah.
ADVERTISEMENT
Hari itu juga tidak seperti biasanya, karena matahari malu-malu kala menampakan diri, padahal pukul 11 mestinya cuaca sedang terik-teriknya. Aku berjalan dari stasiun cikini menyusuri trotoar hendak ke Perpustakaan Jakarta atau ada pula yang menyebutnya sebagai Perpustakaan Cikini. Namun ada yang berbeda kali ini. Entah aku yang jarang kesini atau memang ini adalah ironi yang sudah rutin terjadi.
Aku melihat trotoar yang tak jauh dari pintu masuk perpustakaan, kini difungsikan oleh para oknum tak bertanggung jawab sebagai lahan parkir. “Pak mau kemana? Parkir di sini aja.” ujar salah seorang juru parkir liar kepada para pengguna kendaraan roda dua di kawasan Taman Ismail Marzuki.
Padahal kawasan Taman Ismail Marzuki sendiri telah memiliki lahan parkir tersendiri. Namun banyak pengunjung Perpustakaan Jakarta di hari itu lebih memilih menempatkan kendaraannya di atas trotoar.
ADVERTISEMENT
Ada tempat parkirnya, di basement, cuma kebanyakan orang males kesana, gelap soalnya,” ujar salah seorang pedagang ketika saya tanyai mengenai keberadaan parkir liar tersebut.
Penting untuk menyepakati bahwa trotoar adalah fasilitas khusus yang disediakan untuk menunjang kebutuhan para pejalan kaki. Trotoar dibuat untuk memberikan jalur yang jelas dan terpisah dari jalur kendaraan. Tujuannya jelas, yaitu untuk memberikan mobilitas yang aman kepada para pejalan kaki.
Hal tersebut juga sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ yang secara jelas menyebutkan bahwa “Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.”
Namun balik lagi, ini merupakan persoalan yang membutuhkan tindakan kolektif. Pemerintah Kota mestinya hadir dalam rangka memantau, mencegah dan menindak kegiatan parkir liar tersebut. Di lain sisi, perlu juga adanya kesadaran diri masyarakat bahwa kegiatan parkir liar dilarang oleh undang-undang dan dapat dikenakan sanksi.
ADVERTISEMENT
Fenomena parkir liar di atas trotoar juga rasa-rasanya memang masih marak terjadi di Jakarta, mungkin juga di kota-kota lainnya dan tidak sebatas pada contoh konkret yang menjadi latar dalam artikel ini saja. Penulis rasa hal ini perlu menjadi catatan serius. Seringkali karena kerap banyak pelanggaran yang terjadi dan terus berulang, masyarakat akhirnya menormalisasi kegiatan parkir di sembarang tempat yang jelas berlawanan dengan aturan.
Sudah sepatutnya sebagai pengguna jalan, baik yang membawa kendaraan dan juga para pejalan kaki menghormati satu sama lain. Apalagi trotoar-trotoar di Jakarta pasca direvitalisasi semestinya semakin menghadirkan kenyaman dalam segi akses dan keamanan.
Terakhir, hal yang membuat saya tergelitik dan akhirnya menuliskan opini ini adalah bahwa para pengunjung perpustakaan, yang mestinya lebih open minded terhadap aturan, karena mendapatkan kemudahan dalam hal mengakses dan membaca buku, nyatanya tak ada bedanya dengan orang-orang di luar sana. Ironis bukan?
ADVERTISEMENT
Jadi sangat sayang bila pengetahuan hanya terkungkung dalam relung pikiran, namun dalam realitas sosial, hal tersebut tidak pernah diimplementasikan. Padahal perubahan itu terjadi bila dilakukan, bukan sebatas dibayangkan.
Penulis kira demikian.