Konten dari Pengguna

Membaca Alam Pikiran Ki Hajar Dewantara

Naufal Al-Zahra
Pegiat sejarah, pendidik, dan penulis paruh waktu
8 November 2023 21:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Al-Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soewardi Soeryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Foto: Prachaya Roekdeethaweesab/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Soewardi Soeryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Foto: Prachaya Roekdeethaweesab/shutterstock
ADVERTISEMENT
Perubahan merupakan hukum alam atau sunnatullah yang akan dialami oleh manusia bahkan mungkin seluruh makhluk hidup di alam semesta. Ia adalah sesuatu yang pasti, yang tidak akan pernah berubah adalah perubahan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Hal demikian berlaku juga dengan pendidikan yang selalu dimaknai sebagai proses yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan. Meski semuanya akan berubah, tetapi setidaknya kita dapat menjumpai keserupaan pola yang dirasakan hari ini, dengan hari yang telah lalu.
Seiring dengan pesatnya laju industrialisasi di tataran global, dewasa ini nampaknya pendidikan cenderung digunakan sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan pasar dunia. Beragam keterampilan teknis (baca: bakat) yang diperoleh peserta didik selama duduk di bangku sekolah sangat menentukan prospek karier atau kesejahteraan hidup mereka di masa depan. Mereka yang mempunyai bakat, akan cenderung mudah direkrut oleh perusahaan-perusahaan besar dibanding peserta didik yang memiliki bakat biasa-biasa saja.
Uraian ini tidak bermaksud menggugat pola yang sedang dibentuk oleh pendidikan kita belakangan ini. Hanya saja, pola pendidikan hari ini mengingatkan saya pada pola pendidikan yang diimplementasikan jauh sebelum entitas Indonesia terbentuk. Uraian singkat ini tiada lain adalah hasil refleksi penulis terhadap kritik Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan kolonial.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menciptakan manusia bahagia lahir dan batin, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ditujukan sebagai modus untuk memenuhi kebutuhan pasar dan administrasi mereka. Di balik kebijakan progresif ini, mereka sadar bahwa membuka akses pendidikan bagi kaum bumiputra sama artinya dengan mencipta pisau bermata dua. Mereka khawatir jika kaum bumiputra diberi akses pendidikan, kedudukan mereka sebagai penjajah kelak akan digoyahkan oleh kaum bumiputra terdidik.

Pendidikan Kolonial

Kekhawatiran itu nampak pada kebijakan diskriminatif Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam bidang pendidikan terhadap kaum bumiputra. Prof. Sartono Kartodirdjo dalam buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (2018) menerangkan bahwa kelompok bumiputra yang paling diprioritaskan menikmati hak istimewa pendidikan kolonial adalah anak-anak bangsawan dan aparatur kolonial.
ADVERTISEMENT
Anak bangsawan mudah sekali mendapatkan keistimewaan tersebut. Sedangkan, anak aparatur kolonial, umumnya pihak sekolah Belanda mempertimbangkan status kepangkatan dan gaji dari orang tua mereka.
Diskiriminasi di lapangan pendidikan menumbuhkan rasa kepedulian sejumlah kaum bumiputra didikan kolonial. Salah satu dari mereka yang hatinya terketuk melihat keprihatinan tersebut adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara.
Ia adalah anak dari bangsawan Jawa yang rela menanggalkan titel ke-priyayi-an demi meningkatkan derajat saudara-saudara sebangsanya melalui pendidikan. Ki Hajar Dewantara membentuk Perguruan Taman Siswa, sekolah partikelir yang menjadi lembaga alternatif bagi kaum bumiputra yang ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah.

Hampa

Sebagai lulusan sekolah kolonial, Ki Hajar Dewantara tidak sepenuhnya sepakat dengan metode pendidikan yang pernah dialaminya secara langsung. Dalam pidato penganugerahan gelar doktor honoris causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 7 November 1956, ia menyatakan bahwa pendidikan kolonial bersifat intelektualistis, materialistis, dan individualistis.
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantara menguraikan bahwa pendidikan kolonial terlalu berorientasi pada pengembangan isi kepala peserta didik, sementara isi jiwa mereka dibiarkan hampa. Sebagai buktinya, ia memaparkan fenomena peserta didik bumiputra yang berlomba-lomba mendapatkan nilai rapor dan ijazah yang bagus.
Ia menyebut fenomena itu sebagai penyakit "examen cultus" dan "diploma jacht" yang seharusnya diberantas guru-guru Indonesia. Meski demikian, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak perlu menganggap pendidikan kolonial (baca: Barat) mutlak jelek.
Karakteristik pendidikan kolonial yang dinilai hampa itu, Ki Hajar Dewantara anjurkan untuk diisi dengan muatan kebudayaan nasional. Ia menyatakan bahwa warisan dari leluhur bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang barharga.

Kebudayaan Nasional

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan kolonial sangat miskin sentuhan kebudayaan. Oleh sebab itu, ia merumuskan definisi kepribadian pendidikan nasional sebagai berikut, "pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (kultur nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya..."
ADVERTISEMENT
Pendidikan nasional bagi Ki Hajar Dewantara harus berusaha untuk mewujudkan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Untuk mencapai ke titik ini, ia menganjurkan agar anak-anak Indonesia merasakan langsung perikehidupan bangsa mereka sendiri dengan mengenal serta mengamalkan kebudayaan lokal yang nampak pada tatakrama hidup, kesenian, dan sebagainya.
Ki Hajar Dewantara memiliki cita-cita agar kepribadian pendidikan nasional tidak gagap dengan kemajuan zaman. Di lapangan pendidikan, ia menghendaki "perkawinan" warisan kebudayaan lokal dari masa lampau dengan kebudayaan lain yang baru.
Cara pandang demikian ini memungkinkan kebudayaan nasional berbaur dengan kebudayaan lain sehingga universalitas kebudayaan benar-benar terealisasi. Kendati begitu, Ki Hajar Dewantara tetap menekankan agar bangsa Indonesia mampu mempertahankan jati diri mereka di tengah pentas kebudayaan global.
ADVERTISEMENT

Universalis

Isi pidato yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara di hadapan sivitas akademika UGM pada 67 tahun silam masih memiliki nilai yang berarti. Uraian yang dinyatakannya meneguhkan kepribadian pendidikan nasional. Sebagai sosok yang berjuang di lapangan pendidikan sejak era kolonial, Ki Hajar Dewantara mampu menangkap ruang kosong dari pendidikan kolonial. Ia adalah sosok universalis yang menganjurkan perpaduan berbagai unsur kemanusiaan yang baik, tanpa menghiraukan asalnya, entah dari Barat maupun dari Timur.
ADVERTISEMENT