Tempur atau Kabur? Sistem Fight or Flight Manusia di Era Modern

Naufal Allam
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
6 Desember 2022 21:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Allam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi otak mempertimbangkan keputusan. (Foto: chenspec by https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak mempertimbangkan keputusan. (Foto: chenspec by https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
Fight or flight merupakan sistem di dalam tubuh manusia yang berperan saat kita membuat keputusan ketika kita merasa terancam oleh bahaya. Sesuai dengan artinya, dalam kondisi bahaya, otak kita hanya memiliki dua pilihan, yaitu melawan (fight) atau kabur (flight) dari ancaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Contoh Fight or Flight
Bayangkan bila kita sedang berkemah di hutan, lalu ada sebuah ular yang memasuki tenda kemah kita. Tentunya tubuh kita akan bereaksi secara langsung seperti otot yang menegang, jantung yang berdebar dengan cepat, berkeringat, dan bola mata yang membesar. Hal-hal tersebut adalah bukti dari rasa takut manusia saat merasa terancam. Saat kita merasakan ancaman tersebut, sebuah sistem di dalam tubuh kita yang disebut fight or flight akan bekerja. Ketika ular tersebut mendekat, kita akan berpikir apa keputusan terbaik yang dapat kita lakukan demi menyelamatkan diri kita sendiri. Apakah kita harus melawan ular tersebut? atau kita harus melarikan diri dari area hutan?
Mekanisme Fight or Flight
Ada tiga bagian otak yang bekerja saat sistem fight or flight berjalan. Bagian pertama yang memberi respons terhadap ancaman tersebut adalah amigdala. Amigdala berperan dalam mendeteksi adanya rasa takut di dalam diri kita. Setelah amigdala mendeteksi adanya ancaman, amigdala akan mengirim sebuah sinyal ke bagian otak yang bernama hipotalamus. Lalu, hipotalamus akan meneruskan sinyal tersebut dengan memberikan sebuah rangsangan terhadap sistem saraf otonom.
ADVERTISEMENT
Sistem saraf otonom dibagi menjadi dua, sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Masing-masing saraf memiliki sistem dan fungsinya sendiri. Sistem saraf simpatis berfungsi sebagai pemberi respons, sedangkan sistem saraf parasimpatis berfungsi sebagai pengendali respons yang kita berikan ketika kita mengalami fight or flight. Reaksi yang akan kita berikan sangat tergantung pada sistem saraf mana yang lebih mendominasi saat terjadi fight or flight.
Saat amigdala mendeteksi adanya ancaman atau rasa takut, lalu mengirim sinyal terhadap hipotalamus yang selanjutnya akan mengaktifkan sebuah sistem saraf, disaat bersamaan hipotalamus juga membantu tubuh kita dalam melepaskan dua hormon. Hormon tersebut adalah hormon kortisol dan hormon adrenalin. Pelepasan kedua hormon tersebut akan menghasilkan suatu respons yang spontan seperti mata yang melotot, jantung yang berdebar cepat, otot yang menegang, tubuh yang berkeringat dan banyak bentuk respons lainya. Di situasi tersebut tubuh kita mengalami fight or flight. Sebuah situasi yang memaksa kita untuk membuat keputusan, apakah kita harus melawan atau kabur dari ancaman yang ada di hadapan kita.
ADVERTISEMENT
Ancaman di era modern
Pada zaman dahulu, nenek moyang kita telah menghadapi banyak sekali ancaman, saat mereka berburu, melawan banyak hewan liar, dan hal-hal berbahaya lainya untuk keberlangsungan hidup mereka yang mengaktifkan sistem fight or flight. Namun, di era modern ini ancaman yang didapatkan berbeda dari zaman dahulu. Ancaman pada zaman modern rata-rata lebih bersifat psikologis dan kerap terjadi di kalangan remaja. Dengan adanya media sosial yang sangat berpengaruh pada remaja pada masa kini, sistem fight or flight kerap aktif dialami para remaja.
Contoh fight or flight di era modern
Salah satu contoh dari fight or flight yang dialami pada masa kini adalah ketika seseorang mengunggah sebuah post di salah satu akun media sosialnya, namun setelah post tersebut telah diunggah, dia tidak mendapatkan reaksi dan perhatian yang sesuai dengan apa yang dia ekspektasikan atau harapkan dari unggahan tersebut. Setelah dia mengunggah post tersebut, tidak hanya mendapatkan sedikit komen, tetapi juga komen yang didapat merupakan komen negatif. Hal tersebut akan menimbulkan sistem fight or flight di dalam diri pengunggah post tersebut. Reaksi yang dialami oleh pengunggah tersebut akan sama dengan reaksi ular yang memasuki tenda kemah kita, atau reaksi nenek moyang kita dahulu kala ketika mereka menerima ancaman hidup atau mati.
ADVERTISEMENT
Otak manusia merupakan sebuah sistem yang sangat purba sehingga otak sangat boros energi. Terlebih saat energi tersebut disalurkan terhadap sistem fight or flight. Akibat dari energi yang habis, kemampuan neocortex yang berfungsi untuk mengendalikan diri kita akan berkurang, sehingga kita akan melakukan suatu hal untuk mencapai ekspektasi kita sebelumnya, atau dalam kata lain, kita berusaha untuk mendapatkan perhatian yang kita inginkan. Dalam kasus pengunggahan post di media sosial, mungkin individu tersebut akan mengubah posisi foto yang diunggah, mengganti pose atau latar foto, atau mengganti baju yang dia kenakan. Hal tersebut tentunya dilakukan untuk mendapatkan perhatian yang dia cari. Hal ini terus-menerus terjadi pada banyak kalangan terlebih kalangan remaja yang aktif dalam media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam tubuh kita terdapat sebuah molekul yang disebut dopamin. Dopamin sangat memengaruhi emosi kita, kurangnya perhatian yang didapat dari lingkungan sekitar, orang terdekat, atau dari contoh kasus diatas akan membuat berkurangnya dopamin dalam tubuh yang merupakan salah satu molekul penunjang rasa senang kita. Dengan kurangnya dopamin, individu tersebut akan merasa sedih, gelisah, dan dapat menyebabkan emosi yang tidak stabil. Jika berkurangnya dopamin tersebut terjadi secara berulang kali, maka hal tersebut akan membentuk sebuah pola yang tidak sehat bagi kesehatan mental.
Risiko gangguan psikologis
Pola seperti contoh di atas sangatlah berbahaya bagi kesehatan manusia, tentunya berkurangnya dopamin bukanlah suatu hal yang baik bagi tubuh kita. Sangat memungkinkan bagi seorang individu yang mengalami pola ini berulang kali untuk mengalami gangguan psikologis seperti depresi, stres, bahkan Post Traumatic Disorder. Dalam contoh kasus di atas, ada pula kemungkinan bahwa individu akan bereaksi dengan berhenti agar tidak mengalami ketakutan atau kegelisahan yang sama. Contohnya seperti orang tersebut menonaktifkan media sosialnya karena tidak ingin merasakan kegelisahan tersebut lagi.
ADVERTISEMENT