Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Absennya Negara dalam Melindungi Masyarakat Adat Samin Melawan Pabrik Semen
28 Mei 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Naufal Fauzan Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat memiliki kekayaan komunal dan otoritas khusus yang otonom sebagai ciri pokok persekutuan masyarakat adat, yaitu semacam kedaulatan atas wilayah adat, yang lazim disebut juga dengan beschikkingsrecht atau hak ulayat. Hak ulayat sendiri adalah otoritas masyarakat adat atas sumber kekayaan komunal.
Secara khusus, masyarakat adat memiliki tiga susunan atau corak kelompok. Tiga corak kelompok tersebut antara lain genealogis, teritorial, dan campuran (genalogis-teritorial).
Hubungan antara negara dengan masyarakat adat diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab VI Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah negara, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menunda-nunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Negara tidak menganggap penting keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum di Indonesia.
Padahal, RUU tersebut telah diusung sejak tahun 2003 dan naskah akademiknya sendiri telah dirumuskan pada tahun 2010. Karena selama puluhan tahun tidak kunjung disahkan, konflik-konflik dan sengketa-sengketa yang melibatkan masyarakat adat terus terjadi dan mandek dalam penyelesaiannya.
Idealnya, negara hadir untuk melindungi dan mempertahankan masyarakat adat. Upaya perlindungan dan pemertahanan tersebut bisa dimulai dari memberi kepastian hukum kepada masyarakat adat. Namun, realitanya negara tidak jarang berada di posisi yang justru berlawanan dengan masyarakat adat.
Negara biasanya mengatasnamakan pembangunan atau memihak korporasi. Baik negara maupun korporasi sering kali menganggap masyarakat adat sebagai hambatan dalam pembangunan atau produksi.
ADVERTISEMENT
Semestinya, masyarakat adat dilibatkan dalam dialog sebelum memulai pembangunan. Tidak terlindunginya masyarakat adat oleh hukum di Indonesia membuat negara dan korporasi memperlakukan masyarakat adat sewenang-wenang.
Masyarakat Adat Sedulur Sikep
Salah satu masyarakat adat di Indonesia yang bersengketa dengan korporasi dan tidak dilindungi oleh negara ialah masyarakat yang tinggal di Pegunungan Kendeng. Masyarakat adat Pegunungan Kendeng dikenal juga sebagai Sedulur Sikep atau Wong Sikep yang terkenal sebagai penganut Saminisme.
Saminisme merupakan ajaran tradisionalisme dan anti-kapitalisme yang dipelopori oleh tokoh bernama Samin Surosentiko (Raden Kohar). Penganut Saminisme tersebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di wilayah Pegunungan Kendeng.
Di Jawa Tengah antara lain terdapat di Pati, Grobogan, Rembang, Kudus, dan Blora. Sementara di Jawa Timur antara lain terdapat di Madiun, Bojonegoro, Tuban, Blitar, Gresik, dan Ngawi.
ADVERTISEMENT
Sedulur Sikep merupakan masyarakat yang sebagian besarnya bermata pencaharian sebagai petani sejak zaman kolonialisme Belanda di Indonesia. Pelopornya, Raden Kohar, yang kemudian dikenal dengan nama Samin Surosentiko, membuat ajaran agar masyarakatnya mengisolasi diri, hal tersebut memiliki kesamaan nilai-nilai dengan ajaran Hindu.
Meskipun cenderung isolasionis, ajaran Samin juga bisa dikatakan populis. Hal tersebut dapat dilihat pada pemberontakan Wong Sikep terhadap rezim kolonialisme & imperialisme Belanda saat penetapan kebijakan pajak tanah yang merugikan petani lokal.
Karena pemberontakan dan perlawan yang dipimpinnya, Samin Surosentiko sang pelopor ajaran Samin diasingkan oleh penjajah Belanda ke Sawahlunto, Sumatera Barat hingga wafat di sana pada tahun 1914. Pada bulan Februari 2024, Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro baru memindahkan tanah makam Samin Surosentiko dari Sawahlunto kepada masyarakat Samin di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Konflik Kendeng
Perjuangan masyarakat Samin melawan untuk mempertahankan pertaniannya tidak berhenti pada zaman kolonialisme. Perjuangan tersebut terus berlanjut sampai Indonesia sudah merdeka dari kolonialisme & imperialisme asing. Masyarakat Samin di daerah Pati, Jawa Tengah berkonflik dengan korporasi di Pegunungan Kendeng.
Korporasi yang dimaksud ialah PT Semen Indonesia, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT Semen Indonesia berniat membangun pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng yang mana semestinya wilayah tersebut merupakan hak ulayat masyarakat adat Sedulur Sikep.
Wilayah masyarakat adat yang hendak dibangun pabrik semen di atasnya merupakan lahan pertanian milik masyarakat adat Pegunungan Kendeng. Masyarakat adat Pegunungan Kendeng yang masih bertani secara tradisional sangat bergantung terhadap lahan pertanian & sumber daya alam sekitar untuk keberlangsungan hidup komunitasnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sengketa antara masyarakat adat Pegunungan Kendeng dengan PT Semen Indonesia bukan hanya konflik ekonomi, lebih dari itu ia juga menyangkut soal ruang hidup, sebuah konflik agraria. Sebagai contoh yang lebih rinci, jika pabrik PT Semen Indonesia jadi dibangun, maka masyarakat adat Pegunungan Kendeng akan kehilangan tanah tempat tinggal, ladang produksi pangan, dan sungai untuk kehidupan sehari-hari pun akan tercemar.
Masyarakat adat Pegunungan Kendeng tidak memilih untuk tinggal diam. Mereka, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang disengketakan dengan korporasi, memilih untuk melawan. Beberapa bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat adat Pegunungan Kendeng di antaranya adalah aksi protes, aksi pendudukan, aksi kebudayaan, aksi di pengadilan, aksi simbolik oleh para petani yang menyemen kaki, advokasi kebijakan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), menekan istana melalui audiensi, dan aksi-aksi sosial politis lainnya.
ADVERTISEMENT
Simpulan
Menurut pendapat saya, masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep memang berhak melawan PT Semen Indonesia yang hendak membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng. PT Semen Indonesia sebagai korporasi memang hanya memikirkan keuntungan tanpa memedulikan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Terlebih lagi, PT Semen Indonesia sendiri merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana seharusnya di samping mencari keuntungan juga memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selain itu, seharusnya negara memihak masyarakat adat dan menghukum korporasi.
Penting juga bagi negara untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat serta ke depannya jangan memberikan izin pendirian maupun operasional terhadap korporasi yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat, lebih-lebih lagi masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, segala bentuk pembangunan maupun produksi harus memperhitungkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan, jangan hanya memikirkan keuntungan, serta negara harus memihak rakyatnya.