Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
SANTRI: Sang Penggerak Budaya Literasi
9 Januari 2023 18:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Naufal Hibban Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu bagian dari masyarakat yang memperjuangkan kemerdekaan, santri berpartisipasi besar dalam melepaskan diri dari penjajahan. Terbukti sejak abad ke-16 M perkembangan pondok pesantren bukannya menyusut karena adanya penjajahan. Namun sebaliknya, berkembang sangat pesat dan menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adanya Serat Cobolek dan Serat Centhini yang mengungkap keberadaan pesantren dan menjadi bukti bahwasanya pesantren dengan santrinya tetap eksis setelah abad 16 M (Fatiyah, 2021: 75).
Menjadikan pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, selain itu dengan banyaknya pesantren yang berumur satu abad lebih menjadi bukti otentik lainnya. Bahwa pesantren menjamur sudah sejak zaman penjajahan berlangsung, hingga hari ini.
Salah satu bukti terbesar santri dan kiai yang berliterasi sejak tiga abad silam adalah banyaknya kiai nusantara yang memiliki karya dan masih dipakai sebagai sumber rujukan yang relevan pada hari ini. Seperti Syaikh Yusuf Al-Makassari dengan karyanya Syurut Al-A’rif Al-Muhaqqiq yang merupakan salah satu isi dari kitab Tasawuf miliknya (Subhan, 2009: 17).
ADVERTISEMENT
Beliau yang lahir pada akhir abad ke-17 mengembangkan literasi dari mulai di daerah Gowa, Banten, hingga Afrika Selatan. Seiring perkembangannya santri dan kiai hari ini berliterasi bukan hanya dibidang agama saja, namun sudah merambah ke bidang keilmuan lainnya.
Tidak jauh berbeda dengan Pendidikan hari ini, pesantren dengan visi misinya mengajarkan tentang literasi yang baik bagi para santrinya. Karena santri yang hidup di pondok, mereka akan belajar bersama kiai mengenai ilmu agama, dengan berbekal kitab suci al-Qur’an dan kitab klasik karya alim ulama terdahulu, dengan sumber inilah para santri belajar agar mampu berliterasi dengan baik.
Sosok kiai yang menjadi pembimbing para santri bukanlah sosok yang biasa, karena beliau yang sudah menimba ilmu di tanah suci bertahun-tahun sudah mengalami asam garam kehidupan dan mendapatkan ilmu pengetahuan dari tempat berkembangnya agama Islam, dengan alasan tersebutlah masyarakat dahulu sangat tertarik dengan sosok kiai. Karena banyak sekali orang luar kota (red. jauh) yang ingin juga ikut menimba ilmu dari sosok kiai tersebut maka dibuatkanlah pondok kecil sebagai tempat tinggal mereka.
ADVERTISEMENT
Munculnya istilah pemondokan atau pesantren
Dari sanalah muncul istilah pondok atau pemondokan, yang artinya tempat santri bernaung dan hidup sehari-hari. Pondok-pondok ini biasanya dibangun di dekat rumah kiai dan masjid, sehingga memudahkan mobilitas para santri ketika menimba ilmu.
Akhirnya atas dasar penelitian para ahli ditentukanlah tiga unsur wajib pesantren, yaitu santri, kiai, dan asrama (Herman, 2013: 145). Tanpa ketiga unsur tersebut maka belum bisa sebuah lembaga pendidikan di Indonesia dikategorikan sebagai lembaga pesantren.
Bahkan menurut Zamakhsyari Dhafier “pondok, masjid, santri, pengajian kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren” (Sangkot, 2019: 130). hal ini menjadi prasyarat agar suatu lembaga Pendidikan Islam di Indonesia dapat dikategorikan sebagai pesantren.
ADVERTISEMENT
Namun pada peringatan hari santri nasional tahun 2021 silam, KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus menyampaikan bahwasanya orang yang mau dan mampu mempelajari ilmu agama Islam dengan baik dan benar berhak disebut sebagai santri.
Kentalnya santri dengan literasi adalah hal yang bisa dikatakan biasa, sama halnya dengan pendidikan di era modern sekarang, santri belajar literasi yaitu membaca dan menulis.
Selama bertahun-tahun santri tidak pernah luput dari budaya literasi. Bahkan santri memulainya dengan literasi bahasa asing, yaitu bahasa Arab. Hingga era teknologi sekarang santri tetap terikat dengan budaya literasi bukan hanya secara fisik tapi digital pun sudah santri rasakan pada saat ini.