Konten dari Pengguna

Perlukah Kita Bermadzhab ?

M Naufal Rizqin
Mahasiswa UINWS
2 November 2020 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Naufal Rizqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata madzhab tentu sudah familiar sekali bagi umat muslim, ketika kata ini disebut pasti seseorang akan teringat dengan nama-nama Imam madzhab. Diantaranya Imam Muhammad bin Idris atau yang biasa kita dengar dengan sebutan Imam Syafi’i. Banyak khalayak yang hanya mengetahui nama pelopornya saja, tanpa mengetahui apa yang dimaksud dengan madzhab ?. dan sepenting apakah madzhab dalam kehidupan beragama ?.
ADVERTISEMENT
Madzhab merupakan literasi Arab yang berarti tempat pergi—موضِعُ الذّهابِ—. Sedangkan secara terminologi madzhab ialah hukum-hukum syar’i yang bersifat cabang dan ijtihadi—mengerahkan segenap kemampuan berpikir dalam menggali hukum syari’at— yang dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat dzanni oleh seorang mujtahid secara khusus. Singkatnya, madzhab berarti hukum-hukum syari’at seperti haram; mubah; makruh dan lain sebagainya, yang dihasilkan dari nalar seorang mujtahid berlandaskan pada dalil-dalil al-Quran yang bersifat dzanni (belum pasti, dapat terjadi multi tafsir). Pada ranah dzanni inilah para mujtahid memberikan segenap kemampuannya untuk menghasilkan produk hukum syar’i.
Oke, lalu sepenting apa sih madzhab bagi kehidupan beragama ?. Terlebih banyak jargon berseliweran, khususnya dalam dunia maya, mengenai paradigma beragama yang harus murni kembali pada al-Quran dan as-Sunnah dan tidak perlu bermadzhab, corak berpikir semacam ini disebut dengan revivalis. Dengan adanya kontradiksi paradigma semacam ini, maka akan menimbulkan keadaan dilematis dalam lingkup masyarakat awam.
ADVERTISEMENT
Bila kita telaah jargon “Kembali pada al-Quran dan Sunnah”, sepintas hal ini memang benar adanya, namun apakah setiap orang memiliki kapasitas berpikir seperti cara berpikirnya para Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali). Jelas-jelas mereka memiliki kapasitas luar biasa dalam menggali hukum syari’at yang terkandung dalam Quran maupun Sunnah. Tidaklah mudah mencapai derajat mujtahid mutlak sekaliber Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
Sepertinya dari sini kita akan menyadari setinggi apa hierarki keilmuan kita jika dibanding dengan ulama madzhab. Maka jelas madzhab sangat urgen bagi kehidupan beragama. Tidak mungkin kita, yang hanya seorang awam, mengamalkan ajaran agama yang baik dan benar sesuai syari’at apabila tidak memiliki kapasitas sebagaimana Imam Madzhab. Bagaikan jarak langit dan bumi, begitulah kira-kira analogi yang sesuai antara kemampuan nalar ijtihad kita dan para Imam Madzhab.
ADVERTISEMENT
Lalu, kesimpulannya apa ?. ngga ribet ko, satu kata aja. Cukup taqlid—mengikuti—pada Imam Madzhab. Bahkan wajib hukumnya mengikuti Imam Madzhab apabila kita tidak memiliki kemampuan berijtihad. Hal ini selaras dengan ungkapan Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam syairnya.
Imam Malik serta Imam-Imam lainnya
begitu juga Abu Qasim adalah para penunjuk umat #
Maka wajib taqlid pada salah seorang di antara mereka yang alim
Seperti inilah dikisahkan oleh kelompok ulama dengan lafaz yang dapat dipahami
Dari syair di atas sepertinya sudah sangat gamblang bahwa bermadzhab itu hukumnya wajib. Ungkapan Syekh Ibrahim tersebut berlandaskan pada firman Allah dalam surah an-Nahl: 43.
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
ADVERTISEMENT
So, bermadzhablah, tinggalkan jargon “kembali pada Quran dan Sunnah”. Kita harus sadar akan kapasitas keilmuan kita . Maka dengan demikian, implementasi nilai-nilai keagamaan akan terlaksana sesuai dengan koridor syari’at.