Konten dari Pengguna

Sekilas Tentang Asas Hukum “Equality Before The Law” Persamaan di Hadapan Hukum

Naufal Syarief
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29 Desember 2024 14:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Syarief tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Patung Keadilan, Sumber Foto: Gambar oleh Sang Hyun Cho dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Patung Keadilan, Sumber Foto: Gambar oleh Sang Hyun Cho dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Kita sudah mengetahui dan bukanlah hal yang baru, bahwasanya Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum, di mana supremasi hukum dijunjung tinggi. Prinsip ini tertuang dalam konstitusi tertinggi, yaitu UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai negara hukum (rechstaat), penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berpedoman pada aturan hukum, bukan semata-mata pada kekuasaan (machstaat).
ADVERTISEMENT

Equality Before The Law/Persamaan di Hadapan Hukum

Equality before the law secara sederhana berarti bahwa setiap individu memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Prinsip persamaan di depan hukum ini merupakan salah satu dasar utama dalam sistem hukum modern. Sebagai bagian penting dari doktrin Rule of Law, asas ini juga diterapkan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam konsep negara hukum, A.V. Dicey menjelaskan bahwa "The Rule of Law" memiliki tiga elemen utama, yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Supremasi hukum menekankan bahwa hukum adalah kekuatan tertinggi dalam negara. Tidak ada individu, termasuk pejabat negara, yang memiliki kekebalan terhadap hukum. Semua tindakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
2. Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law)
Asas ini menjamin bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa memandang status, jabatan, atau kekuasaan. Baik warga biasa maupun pejabat pemerintah, semuanya terikat pada hukum yang sama dan tunduk pada pengadilan yang sama.
3. Proses Hukum yang Adil (Due Process of Law)
Prinsip ini memastikan bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil dan sesuai prosedur. Tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang, dan setiap hukuman harus didasarkan pada proses hukum yang sah, transparan, dan terukur
Secara yuridis, pada Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 secara jelas menjamin bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang asal-usul, apakah penduduk asli atau bukan, tingkat pendidikan, status sosial, atau kondisi ekonomi, memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Makna "kedudukan" dalam pasal ini adalah bahwa setiap warga negara harus diperlakukan secara setara di mata hukum, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum. Prinsip ini tercermin dalam doktrin no man above the law, yang berarti tidak ada subyek hukum yang mendapatkan keistimewaan sehingga menempatkannya melampaui aturan hukum yang berlaku. Hal serupa ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal ini memberikan dasar bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa diskriminasi, dan memastikan perlindungan hukum bagi semua pihak secara setara
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah kasus yang terjadi di Indonesia, penerapan asas equality before the law tampaknya tidak tercermin, terutama ketika berhadapan dengan individu yang memiliki kekuasaan. Pada Juli 2024, vonis bebas yang diterima RT, anak mantan anggota DPR yang terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap pacarnya, DS, memicu kemarahan publik. Meskipun jaksa menuntut hukuman 12 tahun penjara, hakim Pengadilan Negeri Surabaya justru membebaskan RT dari dakwaan, dengan alasan bahwa korban meninggal akibat alkohol, bukan karena penganiayaan. Padahal, hasil visum menunjukkan bahwa penyebab kematian korban adalah luka dalam, namun bukti tersebut dianggap tidak cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman kepada RT. Keputusan ini menambah deretan kasus impunitas hukum yang melibatkan keluarga pejabat, yang semakin memperlihatkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sosiolog Sunyoto Usman menyatakan bahwa tingginya status sosial seseorang dapat mendorong tindakan semena-mena, karena adanya hubungan kekuasaan yang saling melindungi. Hal ini tercermin dalam penanganan kasus ini, di mana pelaku merasa memiliki kekuasaan lebih dan merasa dapat bertindak sesuka hati terhadap korban. Komisi III DPR pun mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menyelidiki hakim yang memberikan vonis bebas kepada RT, karena adanya indikasi kesewenang-wenangan dalam proses hukum.
Ahli hukum Abdul Fickar Hadjar menegaskan bahwa hakim memiliki kewenangan besar dalam memutuskan suatu perkara, namun sering kali keputusan yang diambil tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Meskipun hakim memiliki kewenangan absolut, mereka tetap harus diawasi oleh Mahkamah Agung, dan masyarakat juga harus berperan aktif dalam mengawasi proses hukum, terutama pada kasus yang melibatkan kekuasaan politik atau ekonomi, untuk mencegah terjadinya ketidakadilan
ADVERTISEMENT
Dari kasus ini, dapat disimpulkan bahwa asas equality before the law mengharuskan setiap individu, tanpa memandang status atau profesinya, untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Baik pejabat negara maupun rakyat biasa, pengusaha ternama maupun karyawan, aparatur sipil negara maupun petani, semuanya harus tunduk pada aturan hukum yang sama. Prinsip ini menegaskan penolakan terhadap diskriminasi dan perlakuan tidak adil, yang seharusnya tidak ada dalam sistem hukum yang adil dan merata.
Dengan demikian, pembahasan mengenai asas equality before the law menunjukkan bahwa meskipun hukum bersifat absolut, jika hukum tersebut tidak mencapai tujuannya, sebaiknya tidak menyalahkan hukum itu sendiri. Hal ini mungkin lebih berkaitan dengan cara penegakan hukum yang diterapkan.
Mengutip adagium hukum “Judex set lex laguens” Hakim ialah hukum yang berbicara. Dan kutipan dari Prof. Erman Rajagukguk, “Hukum itu tidak selalu tegak. Sekali tegak, sekali runtuh. Karena, ia tergantung pada tingkah laku manusia. Tugas kita adalah: tegakkan ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.”
ADVERTISEMENT