Konten dari Pengguna

Moralitas yang terabaikan: Mengapa menjadi Baik atau Jahat Tidak Sesederhana Itu

Naura Nabila Huda
I am a Psychology Student at University of Brawijaya. Passionate about finding meaning in every pattern of human behavior, questioning what, why, and how, and learning from the world beyond the classroom, as understanding is my destination.
20 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naura Nabila Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: DALL-E 3
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: DALL-E 3
ADVERTISEMENT
Mungkin kita terlalu sering menganggap bahwa moralitas adalah soal niat dan kehendak. Tapi bagaimana jika ternyata keputusan moral tidak dimulai dari hati—melainkan dari sirkuit di otak yang bahkan tidak kita sadari?
ADVERTISEMENT

Apakah kebaikan itu pilihan yang adil untuk semua orang?

Sering kali terdengar kalimat seperti, “Orang itu tahu kok mana yang bener, cuma dia emang jahat aja.” Kalimat ini terdengar logis, bahkan wajar. Tapi asumsi utamanya adalah bahwa semua orang memulai dari tempat yang sama: dari ruang di mana baik dan jahat adalah pilihan yang tersedia secara merata.
Kenyataannya tidak sesederhana itu.
Ada orang-orang yang tahu secara logis apa itu kebaikan, namun tidak merasakan dorongan untuk mengejarnya. Mereka tahu bahwa menyakiti itu salah, tapi tidak merasakan bersalah. Mereka sadar bahwa membantu itu benar, tapi tidak menemukan rasa puas setelah melakukannya. Ini adalah perbedaan antara moral cognition dan moral emotion—antara tahu dan merasa.
ADVERTISEMENT

Ketika otak tidak memberi alarm

Dalam psikologi, dikenal konsep moral disengagement. Ini terjadi ketika seseorang tahu bahwa ia sedang melanggar nilai moral, tapi tidak mengalami konflik batin apa pun. Dalam dirinya, tidak ada “rem” yang bekerja. Ini bukan karena seseorang kehilangan nurani, melainkan karena sistem itu tidak pernah aktif sejak awal.
Dalam sistem otak, pusat penguatan perilaku dikendalikan oleh dopamin. Sistem reward ini memperkuat perilaku berdasarkan apa yang terasa nyaman, bukan berdasarkan apa yang seharusnya dilakukan. Maka jika kenyamanan psikologis seseorang terbentuk dari kontrol, dominasi, atau kemenangan, maka semua tindakan yang menghasilkan sensasi itu akan dianggap sebagai “benar” oleh sistem tubuh—meskipun secara etis keliru.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, menyakiti bukan bentuk kekejaman yang disengaja. Itu hanya satu-satunya jalur yang tersedia untuk merasa aman.

Empati itu tidak otomatis ada pada semua orang

Empati sering diasumsikan sebagai kualitas moral, padahal secara ilmiah, ia adalah fungsi kognitif dan neurologis. Ia melibatkan area-area otak seperti insula, anterior cingulate cortex (ACC), dan ventromedial prefrontal cortex (vmPFC). Semua area ini membantu kita merasakan emosi orang lain dan memberi makna sosial pada tindakan kita.
Tapi ketika wilayah-wilayah ini tidak teraktivasi dengan baik—entah karena kurangnya latihan, trauma masa kecil, atau hambatan perkembangan—maka empati menjadi seperti bahasa asing yang tidak pernah diajarkan. Respons terhadap penderitaan orang lain tidak muncul secara otomatis. Bahkan bisa terasa tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, ketiadaan empati bukanlah kejahatan aktif. Ia adalah ketidakmampuan yang tersamarkan dalam bentuk ketidakpedulian.

Perspektif orang lain adalah dunia yang tak terlihat

Kemampuan untuk melihat dunia dari kacamata orang lain—perspective-taking—merupakan salah satu elemen mendasar dalam relasi sosial yang sehat. Tapi, seperti empati, ia tidak otomatis hadir pada semua orang. Memahami perspektif orang lain hanyalah kemungkinan, jika sejak kecil seseorang diberi pengalaman untuk memahami, mengobservasi, dan ditanggapi dengan validasi.
Sebaliknya, pada mereka yang hidup dalam lingkungan penuh ancaman, penghinaan, atau kekerasan psikologis, kemampuan ini tidak tumbuh. Yang tumbuh adalah mode bertahan hidup. Setiap peristiwa dibaca sebagai potensi ancaman, bukan peluang koneksi. Maka relasi pun diinterpretasikan bukan sebagai ruang bersama, melainkan sebagai medan kendali.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan seperti ini, bahkan percakapan biasa bisa dibaca sebagai provokasi. Dan respons yang muncul pun akan sesuai dengan konteks internalnya—reaktif, mendominasi, atau bahkan melukai terlebih dahulu demi bertahan.

Apakah moral benar-benar bisa dipilih?

Jika semua jalur neurologis di dalam otak diarahkan pada rasa aman melalui dominasi, jika reward system tidak pernah memperkuat tindakan prososial, jika empati tidak pernah tumbuh karena tak pernah dilatih—apakah seseorang masih bisa disebut memilih?
Konsep free will illusion dalam neuropsikologi menyatakan bahwa keputusan sadar hanyalah ilusi. Yang tampak seperti pilihan, sebenarnya adalah hasil dari proses biologis yang sudah selesai jauh sebelum kesadaran muncul. Maka, bisa jadi seseorang tidak memilih menjadi jahat. Ia hanya mengikuti rute yang sudah lebih dulu terbentuk di dalam tubuh dan pikirannya.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan ini, kehendak bebas bukan hilang. Ia hanya jauh lebih sempit dari yang kita kira. Bukan meniadakan tanggung jawab moral. Tapi ini mengguncang keangkuhan asumsi bahwa semua orang punya akses yang sama untuk menjadi baik.

Trauma bukan alasan, tapi juga bukan kebetulan.

Banyak individu yang tampak “dingin” secara moral sebenarnya menyimpan struktur kepercayaan internal yang dibentuk oleh trauma masa lalu.
Psikologi kognitif menyebutnya sebagai maladaptive schema: pola pikir dan keyakinan internal yang terbentuk sejak dini sebagai respons terhadap situasi yang menyakitkan. Misalnya: “Aku harus menyerang duluan sebelum diserang”, atau “Cinta itu lemah, takut itu efektif”.
Skema ini mungkin tidak rasional, tapi masuk akal dalam konteks masa kecil mereka. Dan ketika mereka tumbuh, skema ini tidak hilang – ia berevolusi menjadi logika hidup. Maka, dominasi menjadi bentuk proteksi, dan kekerasan menjadi jalan keluar paling cepat.
ADVERTISEMENT
Dan dalam kondisi itu, kebaikan terasa berbahaya. Karena ia membuka celah yang terlalu lama ditutup.

Kalau begitu, siapa yang bisa disalahkan?

Pertanyaan ini penting, tapi sering kali dijawab terlalu cepat. Menyalahkan perilaku tanpa memahami sistem yang membentuknya hanya akan memperpanjang luka. Seseorang tetap bisa bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan—tetapi kita juga bisa bertanggung jawab atas cara kita memaknai dan merespons perilaku itu.
Jika moralitas tidak selalu datang dari ruang niat, maka yang dibutuhkan bukan hanya teguran, tapi juga ruang aman untuk refleksi dan pertumbuhan. Otak bersifat plastis, ia bisa berubah. Empati bisa dilatih dan tumbuh. Prespektif bisa diperluas. Sistem reward bisa diarahkan ulang. Namun semua hanyalah jika ada ruang untuk itu.
ADVERTISEMENT

Mungkin, alih-alih bertanya “kenapa dia begitu jahat”, pertanyaan yang lebih relevan adalah:

Karena ketika kebaikan terasa mengancam, dan menyakiti terasa aman, maka sistem internal siapa pun akan memilih jalan yang terasa menyelamatkan. Bukan karena itu benar, tapi karena itu familiar. Dan manusia, pada akhirnya, hanya ingin bertahan.