Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Politik Militer dalam Pretorianisme Rezim Joko Widodo
17 Maret 2021 20:52 WIB
Tulisan dari Nazar EL Mahfudzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Nazar EL Mahfudzi*
Transisi demokrasi setelah reformasi ingin mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis. Partisipasi aktif rakyat melalui partai politik dan organisasi masyarakat menjadi hal yang patut dipandang positif. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menempatkan kalangan militer sebagai Oligar Istana (OI). Mereka juga dikenal sebagai Pretorianisme "tentara berbaju sipil" karena sering menggantikan lencana militer dan pakaian seragam mereka dengan gelar dan pakaian sipil.
ADVERTISEMENT
Demokrasi sebagai lahan yang sangat menjanjikan bagi elite politik militer untuk mendapatkan kekuasaan dan sangat berpotensi melakukan kejahatan mengatasnamakan stabilitas negara. Negara melawan demokrasi dapat disebut sebagai “State Crime Democracy” (SCADs) (deHaven-Smith 2006), telah didefinisikan oleh deHaven-Smith sebagai tindakan bersama oleh orang dalam pemerintah yang dimaksudkan untuk memanipulasi proses demokrasi, menumbangkan institusi politik dan lawan politik yang bertentangan dengan pemerintah. Korupsi politik pejabat dan kepala pemerintahan sangat erat kaitannya dengan mempertahankan atau melangsungkan kekuasaan. (Alkostar 2009).
Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden berlatar belakang sipil dalam menjaga kekuasaannya menyandarkan diri kepada kelompok militer. (Leonard C. Sebastin,dkk 2018). Pada periode kedua terhitung mulai 20 Oktober 2019-20 Oktober 2024 pemerintahan Jokowi, seolah kesulitan lepas dari cengkeraman pelanggaran HAM, utang kapitalisme global dan para pretorian atau campur tangan militer dalam politik kalangan TNI dan Polri yang dipilih Jokowi-Ma'ruf Amin untuk mendampinginya bekerja. Terdapat 6 orang dari TNI Polri yang masuk dalam jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju, yaitu: Prabowo, Moeldoko, Luhut Binsar Pandjaitan, Terawan, Fachrul Razi dan Tito Karnavian. Militer sebagai alat negara kerap dijadikan perpanjangan tangan pemerintah untuk memastikan jalannya kebijakan pusat sampai ke desa-desa terpencil. (Nathaniel 2019)
ADVERTISEMENT
Maka pemaparan penulis sebagai kajian diskusi bersama dalam membuat analisis penelitian kualitatif, bagaimana hubungan petorianisme rezim Jokowi dalam demokrasi?
Tipologi Pretorianisme Rezim Jokowi
Situasi militer tampil sebagai aktor politik utama yang dominan dan secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan alat negara dapat dikatakan sebagai pretorianisme (Nordlinger, Eric. A 1990). Menurut Nordlinger, militer merupakan lambang kedaulatan negara dan penahan utama bagi kemungkinan serangan, baik dari luar maupun dari dalam, terhadap negara serta semua angkatan bersenjata mempunyai pengaruh politik yang besar. Pretorianisme merupakan campur tangan atau keterlibatan militer dalam politik. Campur tangan militer tersebut, bagi Huntington, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modernisasi politik. (Samuel Huntington 1993)
Analisis Amos Perlmutter (Perlmutter 1984) membagi pretorian berdasarkan kemampuannya membangun lembaga politik. Pretorianisme menjadi tiga, yakni tentara sebagai wasit “arbitrator army”, tentara yang memerintah “the ruler army”, dan tentara “revolusioner profesional”. Pretorian dalam “The Military and Politics in Modern Times” sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pertama, tipologi “arbitrator army” tercermin Undang-Undang (UU) No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)) dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Catatan ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik telah memperingatkan bahwa saat ini ada 397 komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merangkap jabatan dan menimbulkan konflik kepentingan. Terdapat Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif di kementerian maupun lembaga non kementerian menjadi pejabat rangkap jabatan terbanyak di BUMN, diikuti komisaris dari kalangan TNI dan Polri. (Yosarie 2020)
Kedua, tipologi “the ruler army”, Perlmutter menyebut bahwa militer sebagai alternatif satu-satunya untuk mencegah kekacauan, sehingga militer menganggap dirinya yang paling pantas memerintah selama-lamanya. Kehadiran militer yang semakin meningkat terlihat dari 41 perjanjian yang dibuat TNI dengan kementerian, lembaga negara, dan perusahaan dari tahun 2000 hingga 2019. Beberapa perjanjian mengizinkan keterlibatan militer juga kerap berujung pada penyalahgunaan anggaran.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tipologi persenjataan seluruh bangsa “nation-in-arms”, jenis tentara revolusioner profesional. Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhan) dibawah komando Prabowo Subianto menargetkan 35 Batalyon komponen cadangan dihasilkan sepanjang 2021.
Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi tipologi pretorianisme rezim Jokowi dan peran politik militer TNI dan Polri sangat kuat menempatkan relasi sipil dalam berdemokrasi sebagai ancaman. Peran aktif prajurit pretorial yang membentengi Jokowi lebih mempertahankan kekuasaan, apabila warga negara mengancam atau menggunakan kekuasaan untuk mendominasi arena pemerintahan kebijakan politik totalitarian.
Literasi
deHaven-Smith, Lance. "When Political Crimes Are Inside Jobs: Detecting State Crimes against Democracy." Administrative Theory & Praxis, 2006: 28(3), 330-355.
Ghaliya, Ghina. “Under Jokowi's leadership, military creeps deeper into civilian life”. Januari 7, 2020. https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/07/under-jokowis-leadership-military-creeps-deeper-into-civilian-life.html.
ADVERTISEMENT
Leonard C. Sebastin,dkk. "Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period." Article in Asia Policy, 2018: Vol 1-3.
Nordlinger, Eric. A. "Militer Dalam Politik Kudeta dan Pemerintahan". Jakarta: Reneka Cipta , 1990.
Perlmutter, Amos. “Militer dan Politik” . Jakarta: Rajawali Pers, 1984.
*Research Asistant Professor Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta