Konten dari Pengguna

Implikasi Hukum dari Pilkada Serentak 2024: Kekosongan Kepemimpinan Daerah

Nazhif Ali Murtadho
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
8 Agustus 2024 7:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazhif Ali Murtadho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ilustrasi Pilkada Serentak 2024. (Sumber Foto: unpar.ac.id)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ilustrasi Pilkada Serentak 2024. (Sumber Foto: unpar.ac.id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu Hukum dan Kepemimpinan Daerah
Pemilihan Kepala Daerah adalah manifestasi dari demokrasi lokal yang mencerminkan keinginan masyarakat setempat dalam menentukan arah pembangunan. Melalui pemilihan ini, diharapkan masyarakat daerah akan semakin sadar secara politik untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya. Kepala daerah yang terpilih akan memiliki legitimasi yang lebih kuat karena dipilih langsung oleh warga lokal melalui proses pemilihan yang transparan dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak adanya perubahan terkait Undang-Undang Pemilihan dan Undang-Undang Pemilu, pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan akan tetap dilakukan secara serentak pada tahun 2024. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah menyepakati bahwa Pemilu akan dan telah dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 lalu, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 mendatang.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah adanya penundaan jabatan bagi kepala daerah yang masa tugasnya berakhir pada tahun 2022 dan 2023. Sebanyak 272 daerah akan mengalami kekosongan kepemimpinan hingga dilaksanakannya pemilihan kepala daerah di wilayah mereka, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi
Berdasarkan situasi permasalahan di atas, memperpanjang masa jabatan Kepala Daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 bisa menjadi salah satu alternatif untuk menghindari politisasi dalam penempatan pejabat sementara. Selain itu, memilih 272 pejabat sementara yang kompeten akan cukup menyulitkan Pemerintah Pusat dan Provinsi. Tidak bisa dipungkiri, penempatan ASN di posisi penting dan strategis seperti Kepala Daerah akan selalu melibatkan tarik ulur politik.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk memperpanjang masa jabatan Kepala Daerah diperlukan dasar hukum yang memadai. Solusi tercepat adalah Pemerintah dapat mengeluarkan PERPPU, hal ini sudah dilaksanakan dan menghasilkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang disahkan pada bulan April 2023 lalu, karena jika harus merevisi Undang-Undang akan memakan waktu yang lama, sedangkan di tahun 2022 lalu sudah ada beberapa Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir.
Komisi II sebagai Mitra Kerja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diharapkan dapat mendorong Pemerintah agar dalam memilih Pejabat Sementara untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah haruslah profesional, akuntabel, dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. DPR-RI bersama Pemerintah perlu mengoptimalkan pengawasan untuk memastikan tidak ada politisasi dalam pemilihan pejabat sementara untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah. Selain itu, Kemendagri juga perlu menetapkan regulasi yang jelas terkait kekosongan kepemimpinan di daerah akibat ditundanya pemilihan Kepala Daerah.
ADVERTISEMENT