Konten dari Pengguna

Marginalisasi Masyarakat Adat dalam Proses Legislasi di Indonesia

Nazhif Ali Murtadho
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
10 September 2024 12:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazhif Ali Murtadho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Nazhif Ali Murtadho memberikan pemahaman kondisi Hukum dan Demokrasi Indonesia. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Nazhif Ali Murtadho memberikan pemahaman kondisi Hukum dan Demokrasi Indonesia. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam konteks kehidupan bernegara, masyarakat adat sering kali menjadi kelompok minoritas yang mengalami kesenjangan pembangunan dan marginalisasi. Walaupun hak-hak mereka telah dijamin oleh konstitusi, kenyataannya implementasi pengakuan tersebut masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Masyarakat adat pada dasarnya masih teguh memegang nilai-nilai tradisional dan hukum adat, yang tidak bisa diabaikan oleh hukum positif. Terlebih lagi, mengingat bahwa nilai-nilai etik, moral, dan kepentingan masyarakat berfungsi sebagai instrumen pengontrol kebijakan pemerintah, sangat penting bagi Indonesia untuk terus menjaga ruang partisipasi ini guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Zamroni menjelaskan bahwa salah satu nilai utama dalam demokrasi adalah pemahaman akan keanekaragaman masyarakat. David Beetham dan Kevin Boyle bahkan menekankan bahwa pluralisme dan kompromi harus dianggap sebagai nilai penting yang harus dipenuhi dalam sebuah negara demokrasi.
ADVERTISEMENT
Perkembangan model-model demokrasi semakin menegaskan pentingnya pengakuan terhadap keragaman masyarakat dalam sistem demokrasi. Clark D. Neher, misalnya, mengkategorikan model demokrasi sebagai model Pluralis yang menekankan perlunya jaminan bagi setiap elemen pluralitas dalam sistem politik untuk mengekspresikan kepentingannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa ada individu-individu yang kepentingannya tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu, demokrasi politik seharusnya menyediakan berbagai alternatif politik dan memaksimalkan keterwakilan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan. Dalam praktiknya, Jeff Haynes juga mengidentifikasi demokrasi substantif yang dianggap mampu memberikan ruang bagi rakyat biasa, perempuan, dan kelompok minoritas untuk benar-benar menempatkan kepentingan mereka dalam agenda politik negara, bukan sekadar menjadi agenda demokrasi atau partai politik saja.
Masalah partisipasi masyarakat yang belum bisa mengakomodasi dualitas tipologi masyarakat akhirnya membuat masyarakat adat menjadi kelompok yang termarginalkan. Sebagai kelompok minoritas, masyarakat adat memiliki daya tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat modern. Akibatnya, kepentingan dan nilai-nilai khas mereka sering kali terpaksa untuk tunduk dan teredam oleh perwakilan-perwakilan yang cenderung hanya menyuarakan aspirasi mayoritas. Situasi ini digambarkan dengan sangat jelas melalui teori The Majority Principle oleh Jack Lively, yang menyatakan bahwa prinsip kedaulatan tidak lagi dilaksanakan atas nama seluruh rakyat, melainkan telah bergeser menjadi kedaulatan kaum mayoritas, sehingga pemerintahan yang benar-benar mewakili kehendak masyarakat secara keseluruhan tidak pernah terwujud. Lively juga menawarkan prosedur minimal dalam pengambilan keputusan yang demokratis, salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi suara minoritas untuk dapat menentukan hasil sebagai pihak yang mengalami derivasi politik.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya membangun ruang partisipasi untuk masyarakat adat, ada dua masalah utama yang perlu diperhatikan, yaitu (i) kecenderungan elitisme dalam perwakilan dan (ii) pengaruh patriarki. Kecenderungan elitisme dalam perwakilan masyarakat adat sangat berkaitan dengan peran kepala adat, yang menurut Soepomo dianggap sebagai pemimpin dan pelindung masyarakatnya. Kepala adat dianggap memiliki fungsi sebagai tempat berlindung bagi anggota masyarakat adat, serta menjamin ketentraman kelompoknya. Selain itu, posisi kepala adat semakin kuat karena hukum adat hanya dianggap sah jika telah disetujui oleh kepala adat yang bersangkutan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh seorang kepala adat akhirnya menciptakan elitisme dalam perwakilan masyarakat adat, yang mana kepala adat cenderung menjadi satu-satunya perwakilan yang dianggap mampu menggambarkan kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Pengaruh patriarki dalam perwakilan masyarakat adat juga merupakan masalah yang tidak bisa dihindari. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat adat memandang budaya patriarki sebagai sesuatu yang alami dan tidak bisa dilawan. Dominasi laki-laki dalam budaya patriarki ini menciptakan struktur sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah dan terpinggirkan dalam berbagai aktivitas budaya, domestik, ekonomi, dan politik. Kondisi ini juga tercermin dalam partisipasi masyarakat adat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Adanya dominasi patriarki membuat partisipasi masyarakat adat hanya berfokus pada laki-laki, yang sebenarnya belum tentu dapat mewakili kepentingan-kepentingan adat yang dimiliki oleh kaum perempuan.
(Nazhif Ali Murtadho, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya)
ADVERTISEMENT