Konten dari Pengguna

Media Sosial dan Sejarah: Edukasi atau Distorsi?

Nazwa Zahrah Salsabilla
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Semarang
16 Maret 2025 17:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazwa Zahrah Salsabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital telah membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara kita memahami dan mempelajari sejarah. Jika pada masa lalu pembelajaran sejarah bergantung pada buku, arsip, dan institusi pendidikan formal, kini media sosial seperti Twitter (X), TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi sumber informasi sejarah yang semakin populer. Kemudahan akses dan penyajian informasi dalam format yang lebih interaktif telah menjadikan media sosial sebuah alat yang menarik untuk memperkenalkan sejarah kepada masyarakat umum, terutama generasi muda. Dengan narasi yang singkat, visual yang menarik, serta penggunaan bahasa yang lebih santai, sejarah yang dahulu dianggap sebagai disiplin ilmu yang kompleks dan membosankan kini lebih mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah penyajian sejarah melalui media sosial benar-benar membantu pemahaman yang lebih baik, atau justru memperkuat bias dan misinformasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat bagaimana media sosial mengubah cara sejarah dikomunikasikan, menganalisis dampak positif serta negatifnya, dan mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu dilakukan agar konsumsi informasi sejarah di media sosial tetap akurat dan tidak menyesatkan.
ADVERTISEMENT

Media Sosial dan Kemudahan Akses terhadap Sejarah

Tidak dapat disangkal bahwa media sosial telah membuat sejarah lebih mudah diakses dibandingkan dengan era sebelumnya. Dulu, seseorang yang ingin memahami peristiwa sejarah harus membaca buku akademik yang dimana terdiri dari banyak halaman itu atau mengikuti perkuliahan. Kini, hanya dengan menggulir layar ponsel, kita bisa menemukan berbagai thread Twitter yang membahas sejarah dengan gaya bertutur yang menarik, video singkat di TikTok yang menjelaskan peristiwa penting dalam waktu kurang dari satu menit, atau infografis di Instagram yang merangkum sejarah dalam bentuk visual yang menarik. Keunggulan utama dari metode ini adalah kemampuannya menjangkau audiens yang lebih luas. Banyak orang yang sebelumnya tidak tertarik dengan sejarah kini mulai memahami dan mengapresiasi peristiwa masa lalu berkat konten-konten yang dikemas secara menarik. Selain itu, media sosial juga memungkinkan adanya diskusi interaktif antara pembuat konten dan audiensnya, sehingga proses belajar menjadi lebih dinamis dan tidak lagi bersifat satu arah yang bersifat formal. Sejarah yang disajikan melalui media sosial juga lebih kontekstual. Banyak kreator yang menghubungkan peristiwa masa lalu dengan kondisi sosial-politik saat ini, sehingga sejarah terasa lebih relevan dan tidak sekadar kumpulan fakta yang kaku. Sebagai contoh, perbincangan mengenai kolonialisme di Twitter sering kali dihubungkan dengan dampaknya terhadap ketimpangan ekonomi saat ini, sehingga masyarakat dapat memahami bahwa sejarah bukan hanya sekadar cerita masa lalu, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap dunia modern.
ADVERTISEMENT

Ancaman Bias dan Misinformasi dalam Sejarah Digital

Meskipun media sosial telah membuka akses yang lebih luas terhadap sejarah, ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan, yaitu risiko bias dan misinformasi. Tidak semua konten sejarah di media sosial berasal dari sumber yang kredibel atau diteliti dengan baik. Banyak kreator yang menyajikan sejarah hanya berdasarkan sudut pandang tertentu, tanpa memberikan gambaran yang komprehensif dan objektif. Salah satu penyebab utama permasalahan ini adalah algoritma media sosial yang cenderung mendorong konten yang kontroversial atau mengundang keterlibatan tinggi dari pengguna. Dalam konteks sejarah, hal ini sering kali berarti bahwa narasi yang lebih sensasional dan emosional akan lebih cepat viral dibandingkan dengan penjelasan akademik yang lebih berimbang. Akibatnya, banyak pengguna yang menerima informasi sejarah yang telah disederhanakan secara berlebihan atau bahkan dipelintir demi menarik perhatian lebih banyak orang. Selain itu, banyak narasi sejarah yang disajikan di media sosial mengandung bias ideologis atau nasionalistik. Sejarah sering kali digunakan sebagai alat untuk membangun identitas kelompok tertentu, sehingga tidak jarang informasi yang beredar hanya menampilkan satu perspektif dan mengabaikan perspektif lain. Misalnya, dalam diskusi tentang sejarah kolonialisme, ada kelompok yang cenderung menekankan dampak positifnya seperti modernisasi, sementara yang lain menyoroti aspek eksploitasi dan ketidakadilan. Jika tidak ada upaya untuk menghadirkan narasi yang seimbang, maka publik hanya akan memahami sejarah dari sudut pandang yang sempit dan tidak mendapatkan gambaran yang utuh.
ADVERTISEMENT

Membangun Literasi Sejarah di Era Digital

Dengan adanya tantangan tersebut, penting bagi kita untuk membangun literasi sejarah yang lebih kuat di era digital. Konsumsi informasi sejarah melalui media sosial harus disertai dengan sikap kritis dan kesadaran akan adanya potensi bias. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemahaman sejarah yang lebih akurat antara lain: a. Memverifikasi Sumber Informasi Sebelum mempercayai suatu narasi sejarah di media sosial, penting untuk memeriksa kredibilitas sumbernya. Apakah informasi tersebut berasal dari sejarawan yang kompeten? Apakah ada referensi dari buku atau jurnal akademik yang mendukungnya? Jika informasi hanya berasal dari opini pribadi tanpa landasan yang jelas, maka perlu diwaspadai. b. Membandingkan Berbagai Perspektif Sejarah selalu memiliki berbagai sudut pandang. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih objektif, penting untuk membaca berbagai sumber yang berbeda. Jangan hanya mengandalkan satu akun atau satu narasi saja, tetapi carilah sumber lain yang bisa memberikan perspektif berbeda. c. Menggunakan Media Sosial sebagai Jembatan, Bukan Sumber Utama Media sosial bisa menjadi titik awal untuk mempelajari sejarah, tetapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya sumber informasi. Setelah menemukan suatu topik yang menarik, pengguna sebaiknya mencari referensi tambahan dari buku, jurnal, atau sumber akademik lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. d. Mendorong Diskusi yang Sehat Alih-alih hanya menerima informasi secara pasif, kita bisa aktif berdiskusi dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap narasi sejarah yang beredar di media sosial. Dengan berdiskusi, kita bisa menguji validitas informasi serta melihat bagaimana perspektif lain menanggapi suatu peristiwa sejarah.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Media sosial telah membawa revolusi dalam cara kita mempelajari sejarah. Dengan format yang lebih interaktif dan mudah diakses, sejarah kini lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan sebelumnya. Namun, tantangan berupa bias, misinformasi, dan penyederhanaan berlebihan tetap menjadi masalah yang harus diwaspadai. Agar media sosial benar-benar menjadi alat yang efektif dalam pembelajaran sejarah, pengguna harus mengembangkan sikap kritis dan literasi sejarah yang lebih baik. Jangan hanya menerima informasi secara pasif, tetapi verifikasi sumber, bandingkan berbagai perspektif, dan gunakan media sosial sebagai jembatan untuk menggali sejarah lebih dalam melalui sumber yang lebih kredibel. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa sejarah yang kita pelajari bukan hanya menarik dan mudah dipahami, tetapi juga tetap akurat dan berimbang.
ADVERTISEMENT