Konten dari Pengguna

Religious Trauma: Antara Pengalaman Pribadi dan Penyangkalan Sosial

Nazwa Zahrah Salsabilla
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Semarang
17 Maret 2025 11:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazwa Zahrah Salsabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Trauma. Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Trauma. Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, istilah religious trauma atau trauma religius menjadi topik hangat di media sosial, khususnya di platform X (Twitter). Banyak pengguna berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana dogma agama, lingkungan religius yang ketat, serta penggunaan ajaran agama untuk menekan individu, dapat menyebabkan dampak psikologis yang signifikan. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang menolak keberadaan fenomena ini, menganggapnya sebagai bentuk pemberontakan terhadap agama atau ketidakmampuan individu dalam menerima nilai-nilai keimanan.
ADVERTISEMENT

Apa Itu Religious Trauma?

Religious trauma mengacu pada pengalaman negatif yang dialami seseorang akibat ajaran atau praktik keagamaan yang bersifat menekan, menakut-nakuti, atau bahkan menyakiti secara emosional dan psikologis. Kondisi ini sering terjadi ketika ajaran agama digunakan sebagai alat kontrol sosial yang berlebihan, menyebabkan individu merasa bersalah, takut, atau bahkan kehilangan identitas pribadinya. Menurut beberapa pengguna X yang membagikan kisahnya, trauma ini muncul karena tekanan berlebihan dari lingkungan religius mereka sejak kecil. Misalnya, pengguna @peachyfraise membagikan kisahnya bahwa ia menempuh pendidikan di sekolah Islam sejak SD hingga SMA, serta mengikuti pengajian, tetapi tidak pernah merasa tenang dalam beragama. Ia merasa bahwa pelajaran agama yang diterimanya selalu menekankan dosa dan neraka, bahkan sebagai perempuan, keberadaannya saja sudah dijadikan alasan mengapa ayahnya bisa masuk neraka. Pengguna lain, @asriprabasari, juga mengungkapkan bagaimana banyak muslimah yang merasa tertekan oleh individu yang menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk merasa lebih superior dalam beragama. Pengalaman ini membuatnya merasa dihakimi dan lelah secara mental karena harus terus meyakinkan dirinya bahwa tidak semua orang Islam bersikap demikian.
ADVERTISEMENT

Mengapa Banyak yang Menolak Konsep Religious Trauma?

Di Indonesia, pembahasan tentang trauma religius masih dianggap tabu. Seperti yang disampaikan oleh pengguna @eoniana, banyak orang Indonesia yang "pasti tidak terima" jika ada yang menyebut bahwa agama bisa menyebabkan trauma. Penolakan ini kemungkinan besar berasal dari beberapa faktor: • Anggapan bahwa agama tidak mungkin salah Banyak masyarakat melihat agama sebagai sesuatu yang mutlak benar. Jika seseorang mengalami tekanan atau luka batin dalam lingkungan religius, mereka sering disalahkan sebagai pihak yang kurang beriman atau tidak cukup kuat dalam menghadapi ujian kehidupan. • Takut dianggap menentang agama Membahas trauma akibat agama sering kali disalahartikan sebagai bentuk penolakan terhadap agama itu sendiri. Hal ini membuat banyak orang enggan berbicara, karena takut dianggap sesat atau menyimpang. • Budaya kepatuhan yang kuat Dalam banyak masyarakat religius, terutama yang konservatif, kepatuhan pada aturan agama dianggap sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Jika ada individu yang merasa tertekan oleh aturan tersebut, mereka dianggap sebagai orang yang tidak mau mengikuti ajaran dengan baik.
ADVERTISEMENT

Dampak dan Cara Mengatasinya

Religious trauma dapat berdampak panjang pada kesehatan mental seseorang. Rasa bersalah berlebihan, ketakutan akan hukuman ilahi, kehilangan jati diri, hingga kecemasan sosial adalah beberapa efek yang sering dialami. Dalam beberapa kasus, individu yang mengalami trauma ini akhirnya memilih untuk menjauhi agama, bukan karena mereka tidak percaya, tetapi karena pengalaman buruk yang mereka alami dalam komunitas religius. Untuk mengatasi religious trauma, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: • Mengenali bahwa perasaan tersebut valid Mengakui bahwa trauma akibat agama itu nyata adalah langkah awal yang penting. Tidak semua pengalaman religius bersifat positif, dan ini bukan berarti seseorang otomatis menjadi anti-agama. • Mencari lingkungan yang lebih sehat Jika komunitas atau kelompok religius tertentu memberikan tekanan yang berlebihan, mencari lingkungan yang lebih mendukung bisa menjadi solusi. Tidak semua komunitas agama bersikap toksik. • Terapi dan konseling Banyak orang yang berhasil mengatasi trauma religius dengan bantuan terapi profesional. Psikolog atau konselor dapat membantu mengolah pengalaman negatif ini tanpa harus menolak spiritualitas sepenuhnya.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Religious trauma adalah isu nyata yang dialami banyak orang, meskipun keberadaannya sering kali disangkal. Perbincangan yang muncul di media sosial menunjukkan bahwa semakin banyak individu yang berani berbagi pengalaman mereka, meski masih dihadapkan pada penolakan sosial. Dalam masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan, penting untuk memahami bahwa agama seharusnya membawa kedamaian dan bukan ketakutan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran lebih luas agar ajaran agama dapat diterapkan dengan lebih manusiawi, tanpa meninggalkan luka psikologis bagi pemeluknya.