Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
“Aku Benci Sekolah”: Refleksi Kritis atas Sistem Pendidikan Kita
5 Mei 2025 15:25 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nazwaandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasa benci sekolah? Atau merasa enggan belajar hanya karena pengalaman yang kurang menyenangkan di ruang kelas? Jika ya, mungkin ada yang keliru dalam sistem pendidikan yang kita jalani.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel kali ini, saya ingin membagikan insight dari buku The Learning Game karya Ana Lorena Fabrega, seorang mantan guru yang kini menjadi edupreneur sukses. Buku ini membahas bagaimana sistem pendidikan konvensional sering kali tidak lagi relevan dengan kebutuhan dan karakteristik generasi muda saat ini. Lebih dari itu, buku ini mengajak kita untuk beralih dari sekadar "bermain dalam sistem sekolah" menjadi "bermain dalam sistem pembelajaran" yang lebih bermakna dan sesuai dengan kehidupan nyata.
Inside #1: Belajar Harusnya Lebih dari Sekadar Mengejar Nilai
Kita semua mungkin pernah merasakan betapa sistem belajar di sekolah membuat kita terlalu fokus pada nilai. Murid yang baik didefinisikan sebagai yang patuh, mendapat nilai tinggi, dan tidak banyak bertanya. Padahal, idealnya, siswa didorong untuk berpikir kritis, mengeksplorasi ide baru, dan berani menyampaikan pendapat.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya, Fabrega mengkritik tiga aspek utama yang dianggap "berbahaya" dalam sistem pendidikan:
1. Pelajaran tanpa konteks: Banyak siswa yang tidak memahami relevansi materi pelajaran dengan kehidupan nyata. Mereka bertanya-tanya, “Kenapa aku harus belajar ini?” Ketika pembelajaran terasa tidak bermakna, minat untuk belajar pun memudar.
2. Sistem peringkat dan ranking: Sistem ini menciptakan ilusi bahwa nilai adalah status sosial. Akibatnya, siswa dikotak-kotakkan antara yang “pintar” dan “bodoh”, padahal setiap anak memiliki gaya belajar dan potensi berbeda-beda.
3. Ujian sebagai tujuan utama: Belajar demi ujian membuat siswa hanya menghafal, bukan memahami. Setelah ujian selesai, materi pun terlupakan. Proses belajar menjadi dangkal, instan, dan hanya didorong motivasi eksternal.
Inside #2: Kegagalan Bukan Musuh, Tapi Guru Terbaik
ADVERTISEMENT
Di sekolah, kegagalan sering kali dianggap sebagai aib. Namun di dunia nyata, kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar dan bertumbuh. Alih-alih dihukum, anak-anak seharusnya diajarkan untuk melihat kegagalan sebagai peluang.
Fabrega menyarankan beberapa strategi, seperti:
- Ceritakan pengalaman kegagalan pribadi kepada anak.
- Gunakan kisah tokoh inspiratif yang bangkit dari kegagalan.
- Ajak anak berdiskusi dan refleksi setelah gagal.
- Rayakan kegagalan sebagai momen untuk mencoba lagi.
Dengan demikian, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berani bereksperimen, resilien, dan tidak takut mencoba hal-hal baru.
Inside #3: Beri Anak Ruang untuk Tumbuh dan Mandiri
Sebagai orang dewasa, sering kali kita ingin membantu anak-anak melewati tantangan dengan cara memberikan solusi cepat. Padahal, niat baik ini justru bisa menghambat proses tumbuh kembang mereka.
ADVERTISEMENT
Untuk membantu anak lebih mandiri dan berpikir kritis, penulis menyarankan beberapa pendekatan:
- Berikan pilihan, bukan perintah: Ini memberi anak rasa memiliki dan tanggung jawab.
- Libatkan mereka dalam pengambilan keputusan: Tanyakan pendapat dan keinginan mereka.
- Dorong rasa penasaran: Ajukan pertanyaan yang memancing mereka berpikir.
- Berikan ruang untuk eksplorasi: Biarkan mereka mencoba, gagal, dan mencoba lagi tanpa harus menunggu instruksi.
Respons kita sebagai orang dewasa juga sangat penting. Saat memberi pujian, misalnya, jangan hanya berkata “Bagus!”, tapi berikan apresiasi yang lebih spesifik, seperti: “Aku suka cara kamu menyelesaikan soal ini. Bagaimana kamu memikirkannya?” Ini mendorong anak menghargai proses, bukan hanya hasil akhir.
Penutup: Mengubah Paradigma Pendidikan Dimulai dari Kita
ADVERTISEMENT
Buku ini tidak hanya cocok dibaca oleh siswa, tetapi juga sangat berguna bagi orang tua, guru, dan siapa pun yang peduli terhadap masa depan pendidikan. Karena pada akhirnya, pembelajaran bukan soal nilai atau kelulusan — melainkan bagaimana kita membantu anak-anak memahami dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Terima kasih sudah membaca artikel ini. Jika Anda memiliki rekomendasi buku lain yang juga membahas pendidikan dengan cara yang menyegarkan, silakan tinggalkan di kolom komentar. Mari sama-sama membangun ekosistem pendidikan yang lebih manusiawi dan relevan.