Konten dari Pengguna

Ekspektasi Tinggi sebagai Anak Guru: Kamu Bisa dan Harus Bisa

Nazwa Ayu Bintani
Seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Tahun 2023
26 Desember 2023 9:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazwa Ayu Bintani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ekspektasi vs Realita. Dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ekspektasi vs Realita. Dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Pada tulisan ini, saya bukan merasa tidak bersyukur atas kesempatan hidup menjadi anak guru yang saya dapatkan. Dalam tulisan ini saya hanya ingin berkeluh-kesah tentang apa yang saya rasakan selama saya hidup menjadi seorang anak guru.
ADVERTISEMENT
Saya terlahir sebagai anak dari seorang guru. Ibu saya merupakan guru di salah satu Sekolah Menengah Atas di Bandung. Ini merupakan keluh kesah seorang anak guru yang sudah mendapatkan tekanan dari lingkungan sejak ia duduk di sekolah dasar.
Dulu saya merasa ekspektasi mereka baik untuk saya. Namun, seiring berjalannya waktu itu memberikan energi negatif yang semakin lama semakin mencekik. Sampai ada satu titik di mana saya pernah meminta Ibu untuk jangan memperkenalkan saya sebagai anaknya kepada guru-guru di sekolah. Alasan di balik itu adalah karena saya tidak ingin dianggap berbeda dengan teman-teman yang lain.

Label Pintar yang Melekat dalam Diri

com-Ilustrasi anak cerdas. Foto: Shutterstock
Menjadi anak guru membawa beban tersendiri, di mana ekspektasi tinggi menyelimuti setiap langkah. Segan untuk berbuat kesalahan dan dorongan pada diri untuk terus berusaha lebih keras menjadi satu-satunya pilihan.
ADVERTISEMENT
Setiap hari adalah tantangan. Di dalam kelas diharapkan untuk menjadi sumber pengetahuan dan solusi bagi teman-teman sekelas. Namun, pada kenyataannya, saya sendiri sering kali tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Hal ini menimbulkan dilema, di mana ekspektasi terhadap kemampuan saya begitu tinggi, namun kenyataannya, saya juga manusia yang tidak sempurna.
Setiap akan melaksanakan ujian saya mem-push diri saya untuk belajar lebih daripada yang lain. Ujian merupakan momen yang paling saya benci selama masa sekolah. Di mana rasa takut terkait hasil yang akan didapat bercampur menjadi satu.
Pada awal masuk SMA, saya mendapat peringkat pertama dalam satu kelas. Bangga, pasti. Namun ekspektasi itu semakin melambung tinggi. Lalu ada masa ketika peringkat saya turun satu, salah satu guru di sekolah saya berbicara “Pertahanin ranking aja ko ga bisa”.
ADVERTISEMENT
Padahal, penting untuk memahami bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan kelemahan. Kesalahan dan kegagalan adalah bagian dari proses belajar yang normal.
Pernah ada satu momen di mana saya ingin merasakan ‘normal’, dalam artian ingin merasakan hal-hal yang teman-teman sebaya saya lakukan. Namun, setelah itu saya diliputi berbagai macam rasa bersalah. Gimana kalau ada guru yang lihat? Nanti yang malu Ibu.
Sejak saat itu saya tidak pernah mau membuat kesalahan apapun lagi di masa sekolah. Ini terjadi karena anak guru diharapkan selalu menjunjung moralitas dan etika.

Gagal Itu Wajar

Ilustrasi gagal SNMPTN. Foto: Dok. Freepik
Ambisiku saat SMA sangat besar, salah satunya memforsir diriku untuk bisa masuk ke salah satu PTN di Yogyakarta. Hampir setiap hari aku habiskan waktu untuk belajar, belajar, dan belajar. Namun, aku lupa bahwa hasil tidak selamanya sesuai dengan rencana.
ADVERTISEMENT
Tahun 2022, saat itu aku gagal masuk PTN, aku merasa duniaku lebur seketika. Bayangan kekecewaan Ibu yang paling awal menghiasi kepalaku. Namun, Ia hanya memberi kalimat penenang “gapapa ko, masih ada tahun-tahun berikutnya buat kamu coba”. Ibu engga pernah nganggap anak-anaknya gagal. Ia selalu menganggap bahwa “ini bukan waktunya”, kalimat yang selalu diucapkan Ibu saat anak-anaknya merasa gagal.
Hari-hari selanjutnya, pertanyaan beruntun datang kepada Ibu, “Anakmu sekarang kuliah di mana? PTN mana?” dan pertanyaan serupa lainnya. Ibu hanya menjawab “Belum rezekinya” pertanyaan lain muncul “Kok bisa?”.
Satu tahun Aku mengurung diri, menyiksa diriku sendiri di dalam kamar dengan berbagai buku tebal yang menghiasi meja belajarku setiap harinya, dengan doa “Aku gamau gagal lagi”.
ADVERTISEMENT

Hidup Itu Pilihan yang Engga Bisa Dipilih

com-Ilustrasi wanita bahagia setelah menerapkan gaya hidup minimalis Foto: Shutterstock
Konsep yang selalu melekat pada anak guru di mana kita diharapkan untuk mampu menunjukkan kualitas dan kemampuan yang lebih tinggi. Saya kadang-kadang merasa mendapat tekanan untuk berhasil dan mewakili keunggulan dalam hal akademis maupun perilaku. Harapan ini memengaruhi cara saya menilai diri saya sendiri, terutama dalam hal prestasi akademis.
Dalam banyak hal, menjadi anak guru telah membentuk saya menjadi individu yang memiliki nilai-nilai pendidikan yang kuat dan rasa hormat terhadap orang lain. Saya belajar untuk menghargai kesempatan mendapatkan pendidikan dan merasa bersyukur memiliki ibu yang mendukung dan menginspirasi saya dalam perjalanan hidup ini. Ibu juga selalu memotivasi saya untuk lebih dari beliau.
Menjadi seorang anak guru membuat saya memiliki kedisiplinan terkait waktu yang tinggi. Jam keluar masuk untuk main sudah ditentukan. Jika lebih, tidak ada toleransi lagi, ya, mau tidak mau dikunci dari dalam.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang saya sangat hargai dari pengalaman menjadi anak guru adalah pengembangan nilai-nilai, seperti empati dan rasa peduli terhadap pendidikan. Mempunyai ibu seorang guru menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya, khususnya. Saya melihat betapa kerasnya ibu saya bekerja untuk membantu siswa-siswinya mencapai potensi terbaik mereka, dan hal itu mendorong saya untuk peduli pada pendidikan.
Menjadi seorang anak guru harusnya menyenangkan. Bisa mendapat ilmu lebih terkait salah satu mata pelajaran yang orang tua saya kuasai dari teman-teman yang lain, tetapi harus diingat juga, menjadi anak guru harus siap juga menerima ekspektasi lebih tinggi dari teman-teman yang lain.
Stigma-stigma mengenai “anak guru bisa dan harus bisa” harus dihapuskan. Karena tidak setiap individu memiliki kemampuan yang sama. Hidup sudah cukup melelahkan, ditambah ekspektasi yang diberikan menambah beban yang harus dipikul sendirian, tidak adil rasanya.
ADVERTISEMENT