Konten dari Pengguna

Laut, Nelayan, dan Istirahat yang Nyaris Terlupakan

Nazwa Ayu Bintani
Seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Tahun 2023
26 Desember 2023 9:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazwa Ayu Bintani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para Nelayan Penjaring Ikan di Pantai Timur, Pangandaran, Jawa Barat. Dok: Pribadi/Nazwa
zoom-in-whitePerbesar
Para Nelayan Penjaring Ikan di Pantai Timur, Pangandaran, Jawa Barat. Dok: Pribadi/Nazwa
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian selalu menghantui kehidupan para nelayan setiap harinya. Pikiran esok akan mendapat ikan atau tidaknya mereka serahkan pada yang Maha Kuasa. Karena Lautan, seperti yang kita ketahui, merupakan tempat yang sangat jauh dari kata terprediksi. Pada saat ombak besar bisa membawa rezeki ataupun petaka.
ADVERTISEMENT
Ketika semua orang tertidur dengan lelapnya, tiap malam, para istri nelayan menunggu dengan cemas. Melangitkan doa dengan harapan para suami nya dapat pulang ketika bulan sudah berganti menjadi matahari. Perempuan itu tidak tahu apakah lelakinya akan kembali pulang atau malah terjebak di lautan yang kelam dan tidak dapat kembali pulang.
“Saya pernah kejebak badai di laut, cuma diem aja ga ke mana-mana. Soalnya kan lebih bahaya juga kalo kita nya pindah terus malah salah arah,” ucap Toni (27) seorang nelayan yang mempertaruhkan hidupnya pada lautan.
Saat bulan sudah mulai memasuki satu pertiga malam, perahu-perahu itu mulai kembali dari peraduannya di tengah lautan. Di kediaman-kediaman kecil tepi pantai, para istri nelayan sibuk menyiapkan hidangan sederhana namun hangat untuk menyambut kepulangan suami mereka. Di antara deru ombak yang menggema, aroma masakan rumahan merayap memenuhi udara. Hari ini, lautan sedang tidak menampakkan sinarnya, karena itu Tatang (46) tak mendapatkan ikan seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
“Engga pasti kalo dapetnya mah, tapi ya ada aja walaupun engga banyak,” kata Tatang dengan wajah yang tetap tegar namun sedikit kecewa, berjalan menuju rumahnya dengan tangannya masih memegang erat setumpuk jaring yang hanya terdapat secuil ikan.
Tatang tahu bahwa hari ini tak seberuntung biasanya. Namun, di matanya yang lelah, terpancar tekad untuk tidak menyerah. Ia akan kembali berlayar besok pagi dan menantang lautan yang kadang murka, kadang muram.
Untuk lautan, tempat mengadukan harapan. Dok: Pribadi/Nazwa
Sebelum matahari muncul dengan sempurna, para penarik ikan sudah berdiri di tepi laut, mendengarkan deru ombak yang nyaring di telinga setiap harinya. Menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencari keberuntungan bukanlah hal baru bagi mereka.
“Setiap hari biasanya dari selesai subuh, sekitar pukul 5 langsung berangkat ke laut. Soalnya lumayan jauh dari rumah ke laut,” ucap Gini (69), sembari menggulung tali yang di dalamnya seakan menjadi benang penghubung antara dirinya dan lautan yang menjadi sumber kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Dengan baju yang lusuh, wajah yang penuh dengan pasir, dan tak lupa dengan caping yang selalu menutupi kepalanya, para nelayan dengan semangat turun ke tepi laut untuk menarik jaring.
“Semangat, ini dapetnya ikan bawal putih satu kuintal,” katanya sambil tertawa
Ikan bawal putih selalu dinantikan oleh para penjaring ikan di Pangandaran, Jawa Barat. Ikan dengan harga per satu kilo yang bisa digunakan untuk memesan salah satu hotel di sekitar Pangandaran menjadi yang sangat dinanti kemunculannya.
Tali yang melintang hingga ke tengah lautan itu merupakan harapan bagi para penarik ikan. Semakin jauh tali dibentangkan, semakin besar harapan mendapatkan banyak ikan.
“Kalo ikan itu biasanya dapetnya sesuai sama berapa meter dilemparnya. Kadang kalo cuacanya lagi bagus itu dilemparnya bisa sampe 5 roll (500 meter), tapi kalo cuacanya lagi buruk itu cuma 2 roll. Satu hari itu kalo yang tali kecil bisa sampe 9 kali tarikan, kalo yang besar cuma 5 sampai 6. Soalnya kan berat ya, satu kali tarik aja itu sampe 20 orang biasanya,” ucap Gini (69)
ADVERTISEMENT

Kembali Ke Tradisi

Pantai Timur, Pangandaran, Jawa Barat. Dok: Pribadi/Nazwa
Pada Selasa tanggal 28 November, telah dilaksanakan musyawarah antara Rukun Nelayan (RN) dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), kesepakatan dicapai untuk melarang nelayan menangkap ikan dan menjaring ikan pada hari Kamis pukul 13.00 hingga hari Jumat pukul 13.00.
“Jadi, setiap hari Kamis jam 1 siang tuh semua nelayan harus udah pada pulang semuanya. Engga boleh ada yang jaring ikan. Terus baru boleh itu besoknya di hari Jumat ba’da salat Jumat, baru nelayan pada turun lagi,” ucap Gini (69), seorang penarik jaring yang menggantungkan hidupnya pada lautan.
Adat tersebut sebetulnya sudah berjalan dari lama. Namun, semakin lama aturan tersebut semakin diabaikan oleh para nelayan. Di mana para nelayan lebih mengutamakan nilai ekonomis dibandingkan dengan nilai adat.
ADVERTISEMENT
Alasan dari tradisi ini didasarkan pada keyakinan adat dan budaya mereka yang menganggap hari Jumat sebagai hari yang suci. Selain itu juga, lautan membutuhkan istirahat setelah menempuh hari-hari yang panjang dan juga memberikan waktu bagi para nelayan untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Bagi mereka yang melanggar aturan itu, keyakinan akan karma menjadi bayang-bayang yang tak terhindarkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar hukuman duniawi, melainkan beban moral yang merayap perlahan dalam jiwa mereka. Menyerahkan tangkapan ikan kepada warga sekitar bukanlah hanya tindakan fisik, tapi juga pengakuan akan kesalahan yang terlintas di dalam benak dan hati.
Mereka mengetahui, di balik setiap bagian ikan yang mereka berikan, terselip kepercayaan yang menebarkan aura kehidupan dalam cerita adat dan budaya yang telah terpatri dalam jiwa mereka.
ADVERTISEMENT
“Mau gimana lagi ya, kalo kita melanggar juga kita takut dengan sanksi yang berlakunya. Cuma kalau untuk hasil tangkapan yang berkurang mah, ya lumayan juga. Jadi ya kita cuma bisa ngikutin peraturan aja gitu. Nangkap ikan di hari lain juga bisa,” ucap Kias (54), yang hanya bisa berpasrah atas aturan yang berlaku.
Lautan yang membutuhkan ketenangan. Dok: Pribadi/Nazwa
Hari Jumat, hari suci yang mereka lindungi, tidak hanya menjadi batas waktu, melainkan sebuah ruang yang sakral. Ruang bagi lautan untuk merengkuh ketenangan, memulihkan diri setelah hari-hari yang dipenuhi kehidupan dan rutinitasnya yang padat dan tanpa henti.