Praktik Asal Comot Konten dan Masa Depan Bisnis Media

Ndoro Kakung
Blogger dan Kreator Konten
Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ndoro Kakung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang pemain band mengeluhkan kelakuan wartawan yang asal comot konten Instagram miliknya tanpa konfirmasi kepada yang bersangkutan. Jurnalis tersebut bahkan disebut tak bisa membedakan akun Instagram milik sang pemain band dan akun istrinya. Karena, si jurnalis menulis berdasarkan konten di akun sang istri yang dikira akun si pemain band.
Foto ilustrasi media cetak. Foto: Pexel.com
Praktik mengutip konten akun media sosial milik pesohor, pejabat, atau orang biasa tanpa konfirmasi sudah jamak dilakukan oleh jurnalis, terutama media daring (online). Dalam kasus ini, ada dua aspek yang terlihat: soal akurasi dan dugaan pelanggaran etika jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kasus ini diselesaikan? Ada mekanisme sesuai Undang-Undang nomor 14 tahun 1999 tentang Pers. Menurut undang-undang ini, pers Indonesia wajib melayani hak jawab. Maksudnya, jika terjadi sengketa, media harus memberi hak jawab kepada pihak yang merasa dirugikan. Jika memang melakukan kesalahan, media wajib minta maaf dan memberi kesempatan narasumber mengoreksi. Media kemudian memuat koreksi itu.
Narsum yang merasa dirugikan dan belum puas atas mekanisme itu, bisa melanjutkan proses dengan mengadu ke Dewan Pers. Dewan Perslah yang akan mengeluarkan rekomendasi atas semua aduan tentang media. Apa pun rekomendasinya, media wajib menaati. Selesai?
Belum. Kasus keluhan pemain band di atas hanyalah riak-riak permukaan dari samudera masalah yang menantang media dan jurnalis masa kini. Kasus ini belum bisa disebut sebagai puncak dari gunung es, karena di masa depan mungkin bakal ada kasus lain yang lebih serius.
ADVERTISEMENT
Media sampai hari ini dibelit beberapa masalah pelik, baik dalam urusan bisnis maupun kualitas jurnalistik. Belitan masalah ini kalau dibiarkan berlanjut tanpa perbaikan berpotensi mengancam kelangsungan hidup media. Mengapa?
Mari kita mulai dengan menelisik lanskap media di Indonesia masa kini. Menurut Dewan Pers, total jumlah media massa di Indonesia diperkirakan mencapai 47 ribu. Di antara jumlah tersebut, 43.300 media online, sekitar 2.000-3.000 media cetak, sisanya radio dan stasiun televisi. Yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi Dewan Pers hingga 2018 hanya 2.400 media. (Sumber: situs Media Indonesia, 11 Februari 2019).
Dari data ini terlihat betapa ketatnya bisnis media dan persaingan merebut perhatian pembaca. Ketatnya persaingan bisnis membuat media harus kuat secara modal untuk menjamin kelangsungan bisnis dan kreativitas mengemas konten yang menarik pembaca. Yang tak kuat modalnya terpaksa gulung tikar atau sekadar menjadi alternatif media peringkat bawah. Yang tak kreatif lama-lama juga akan ditinggal pembaca, dianggap tak relevan dan menarik lagi.
ADVERTISEMENT
Media yang masih bertahan pun harus terus putar otak agar bisnisnya berkelanjutan dan jumlah pembaca naik terus, atau minimal jangan sampai anjlok drastis. Itu yang membuat sejumlah besar media cetak lempar handuk lebih dahulu, karena ongkos produksinya lebih tinggi daripada media online, dan jumlah pembacanya pun merosot terus. Jumlah pembaca turun drastis karena kebutuhan mereka memperoleh berita sebagian besar sudah dipenuhi oleh media di internet yang gratis. Jadi pembaca tak perlu membayar lagi untuk mendapat berita.
Turunnya jumlah pembaca itu merupakan pukulan telak bagi media cetak. Bisnis media cetak itu mengandalkan pada dua hal: sirkulasi dan jumlah pembaca. Kalau dua hal ini jeblok, selesai sudah.
Semula para pengelola media cetak mengira kemunculan internet membuat mereka harus melakukan konvergensi untuk menyelamatkan bisnis. Belakangan kita melihat bahwa media sosial dan konten kreator membuat konsep konvergensi itu justru diragukan kesuksesannya dan mengubah peta persaingan media.
ADVERTISEMENT
Proses kerja jurnalis, terutama media online, pun terpengaruh oleh kemunculan media sosial dan produsen konten. Media sosial telah menjadikan konsumen menjadi prosumen, produsen dan konsumen konten. Para konten kreator itu disebut sebagai blogger, vlogger, youtuber, atau instagramer.
Jenis konten mereka bervariasi, termasuk informasi. Pembaca ternyata menyukai konten pembuatan para kreator di media sosial. “We are the media,” teriak para kreator dengan tangan terkepal ke atas. Lahirlah para Youtuber dan selebgram, serta para vlogger seperti Nusier Yassin, yang populer dengan medianya, Nas Daily. Vlogger dari Israel ini menjadi semacam standar media baru dan sumber informasi penting bagi warganet.
Apa pengaruh media sosial dan para kreator konten terhadap media online (pers daring)?
ADVERTISEMENT
Media daring semula masuk ke gelanggang pertarungan bisnis media dengan organisasi kecil untuk menghemat ongkos dan mengutamakan kecepatan menyampaikan berita agar menjadi pilihan utama pembaca.
Lama-lama kita melihat bahwa media online pun cenderung makin gemuk organisasinya agar mampu membuat sebanyak mungkin berita dan secepat-secepatnya menyampaikan ke pembaca. Konsekuensi dari cara tersebut adalah pengeluaran media online pun otomatis menggelembung.
Untuk menurukan biaya produksi, beberapa pengelola media sebisa mungkin mengurangi awaknya melakukan liputan lapangan, terutama penugasan ke luar kota dan luar negeri. Jurnalis cari berita dengan telepon saja atau cari info di media sosial.
Di sisi lain, agar mampu bersaing, media online mendongkrak jumlah produksi konten dan kecepatan menyampaikan berita. Media online terpaksa meningkatkan produksi konten agar membuat halaman yang dapat disisipi iklan makin banyak, sehingga peluang mendapat iklan makin tinggi. Apalagi kalau satu konten dapat dipecah menjadi beberapa halaman. Ini berpengaruh terhadap page views.
ADVERTISEMENT
Tapi cara ini menimbulkan konsekuensi bagi awak media. Produktivitas jurnalis atau awak media digenjot habis-habisan. Mereka harus membuat berita sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setiap hari para jurnalis mesti mengejar sejumlah berita agar memenuhi target yang ditentukan oleh atasannya. Dari sini bisa dibayangkan apa yang terjadi, bukan?
Selain menggenjot produktivitas jurnalis, media juga terus mencari model bisnis baru yang menghasilkan revenue stream. Ada media yang merangkap jadi EO acara. Ada yang menawarkan jasa menggarap media internal perusahaan/pemerintah, dan sebagainya – sesuatu yang tak pernah dijalankan oleh media zaman di masa Orde Baru.
Belakangan bahkan muncul model media baru yang berperan sebagai platform konten. Ia menjadi penampung konten produksi internal dan khalayak. Terobosan ini membingungkan sebagian publik yang terbiasa dengan model bisnis media lama.
ADVERTISEMENT
Model baru ini membuat publik tak mudah membedakan mana konten yang dibuat sesuai etika dan standar jurnalistik dan konten mana yang tidak. Model baru ini belum bisa dipahami dengan baik oleh sebagian pembaca. Banyak komplikasinya. Pembaca beberapa kali mengeluhkan kualitas berita dari media baru tersebut dan mengira berita itu produksi redaksi. Padahal bukan. Berita yang dikeluhkan ternyata sumbangan dari warga.
Dibutuhkan waktu untuk membuktikan apakah model media baru ini akan diterima publik dan berhasil secara bisnis. Kenyataan menunjukkan bahwa bisnis media model lama dan baru masih sama-sama berjuang keras agar sukses secara bisnis.
Bisnis media makin menantang ketika khalayak berpaling kepada para konten kreator di media sosial. Kita bisa melihat karya para Youtuber dan selebgram ternama, seperti Nas Daily, yang punya audience besar, lebih besar dari mayoritas media online, dan penghasilannya mencengangkan. Meskipun konten mereka yang gratis itu bukan tanpa masalah. Yuval Noah Harari bahkan pernah memperingatkan bahayanya konten yang gratis, terutama yang diproduksi oleh industri media.
ADVERTISEMENT
“Jika konten gratis berserakan di mana-mana, bagaimana sebuah media menarik perhatian orang?” tanya Harari.
Menurut Harari, berita telah menjadi komoditas. Ada insentif untuk media yang mampu meraih perhatian orang – bisa dijual ke pengiklan, politikus, dan sebagainya – sehingga membuat media bersedia mengikuti permainan ini dengan membuat lebih banyak lagi berita sensasional, tidak relevan, dan tidak benar. Sementara itu, tidak ada penalti kepada media yang membuat berita sensasional dan tak benar.
Pada saat kebanyakan media belum mampu menjawab tantangan itu, konten produksi para kreator malah semakin terbukti menarik perhatian audience. Artinya, konten mereka memenuhi selera dan kebutuhan audience. Mereka jadi pesaing nyata media.
Bagaimana para pemain media lama bersiasat agar tetap kompetitif di pasar? Di sisi pengelola, mereka terus mencari model bisnis baru di era ketika selera dan kebutuhan publik berubah. Berbagai model dicoba. Sampai hari ini belum ada yang terbukti berhasil.
ADVERTISEMENT
Di sisi jurnalis, mereka harus kerja keras memenuhi tugas kantor yang kadang sampai melewati batas kemampuan fisik. Ada yang mampu meniti buih tanpa mengorbankan idealisme, banyak juga yang gagal dan terpaksa berkompromi dengan banyak kepentingan.
Salah satu ekses dari situasi yang penuh tantangan dan pekerjaan yang kian berat itu, proses kerja jurnalis juga berubah. Sering terjadi kasus pelanggaran garis panduan. Karena keseringan offiside, lama-lama jadi kebiasaan. Apa contohnya?
Jurnalis mestinya selalu melakukan verifikasi terhadap semua informasi yang diperoleh, menerapkan check and recheck, dan kaidah jurnalistik lainnya, sebelum menerbitkan berita. Kenyataan menunjukkan bahwa pedoman itu sering kali luput dikerjakan, seperti dalam kasus pemain band yang mengeluhkan berita sebuah media di atas.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran pedoman juga menimpa narasumber lain dari berbagai kalangan. Akibatnya terjadi perselisihan. Saling menyalahkan. Tapi semua merasa benar berdasarkan argumen dan dalih masing-masing. Dan pembaca mengambil kesimpulan sendiri berdasarkan pengetahuan masing-masing.
Perselisihan terjadi karena beberapa hal, di antaranya narsum belum terbiasa menghadapi jurnalis, melakukan komunikasi publik, dan tahu bagaimana menyampaikan informasi kepada publik lewat media.
Perselisihan juga bisa timbul karena ada jurnalis yang mengabaikan menerapkan prosedur standar jurnalistik atau ada faktor lain. Pembaca pun belum semua melek media dan mengerti cara memperlakukan semua informasi dari media.
Semua faktor itu berkelindan dan menimbulkan banyak ekses. Beberapa di antaranya: narsum dan media kehilangan kepercayaan dari publik. Publik pun akhirnya kebingungan.
Kita tahu jurnalis mengejar kecepatan karena tuntutan bisnis dan atasan. Tapi diharapkan agar jurnalis memegang prinsip ini: be the first. But first get the truth.
ADVERTISEMENT
Jurnalis, utamanya media online, perlu memahami kritik ini …
Jurnalisme menurut Sally Claire.
Media yang baik seharusnya tidak membuat bingung pembaca dengan membuat judul berita (bukan feature) memakai kalimat tanya, misalnya, “Mengapa Presiden memanggil Panglima TNI dan Kapolri ke Istana pagi ini?”
Pembaca yang kritis akan balik bertanya, kalau media belum tahu alasannya, mengapa dijadikan berita? Justru pembaca ingin tahu dari media mengapa presiden memanggil bawahannya, bukan sebaliknya, media bertanya kepada pembaca.
Memang tak ada pelanggaran aturan atau kode etik jika jurnalis membuat berita dengan kalimat tanya. Tapi praktik itu keliru secara kodrati. Berita itu seharusnya berisi informasi, bercerita, bukan pertanyaan. Lain soal kalau judul dengan kalimat tanya itu digunakan di tulisan feature.
ADVERTISEMENT
Pembaca zaman sekarang mengkonsumsi berita dengan cara scanning, bukan reading, seperti yang mereka lakukan dulu di media cetak. Mereka menyusuri judul-judul. Inilah yang membuat pengelola media online berkilah bahwa justru judul bertanya seperti itu yang akan membuat pembaca penasaran dan ingin tahu apa isinya.
Masalahnya, pembaca sering kecele, tetap tak menemukan jawaban sampai akhir berita. Modus yang disebut click bait semacam ini berbahaya jika diteruskan. Lama-lama pembaca belajar dan menganggap media online sering berbohong.
Publik sebenarnya berharap media, termasuk media daring, menjadi clearing house terhadap semua isu aktual, dan terutama kontroversial, bukan malah membuatnya makin kusut dan membingungkan. Jika keterangan narsum membingungkan dan si wartawan juga belum paham, ya dicari dulu kejelasannya supaya berita yang keluar sudah jelas. Tugas jurnalis bukan hanya mengutip sepotong-sepotong pernyataan narasumber.
ADVERTISEMENT
Media dan jurnalis itu penting bagi publik. Mereka mendapat amanat dari undang-undang memberikan informasi selengkap mungkin agar publik mampu membuat keputusan. Sangat disayangkan jika media dan jurnalis melupakan atau bahkan mengabaikan amanat ini.
Jika media dan jurnalis tak melakukan introspeksi, baik dari sisi bisnis maupun kerja jurnalistiknya, bukan tak mungkin situasinya makin memburuk. Media bisa kehilangan reputasi, kredibilitas, juga kepercayaan masyarakat, sehingga akhirnya ditinggalkan.
Kita tentu tak ingin hal ini terjadi, bukan?