Konten dari Pengguna

Mahasiswa, Pertanian & Kemiskinan

Neezar GZ
Pembelajar
9 Juli 2022 6:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Neezar GZ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Pada hierarki kebutuhan Maslow dikatakan bahwa upaya memenuhi kebutuhan fisiologis (pangan) adalah yang pertama kali harus dilakukan untuk mempertahankan hidup. Aktor utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan suatu negara adalah dari kalangan petani. Melalui berbagai macam budidaya yang diusahakan oleh para petani ketahanan pangan nasional sampai saat ini dapat terpenuhi. Mulai dari beras sebagai makanan pokok, sayuran, ikan, daging dan berbagai kebutuhan lainnya disediakan dan dihasilkan oleh keringat petani.
ADVERTISEMENT
Namun, justru kalangan petani yang menjadi sasaran wabah kemiskinan dan seringkali dianggap sebagai profesi masyarakat kelas bawah. Realita yang tidak bisa diterima mengingat kinerja dan hasil tani yang sedari dulu menjadi penonggak kehidupan bangsa dan negara. Jika kita mengkaji penyebab miskinnya para petani, maka harus diketahui terdapat dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi kecil. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi secara tidak langsung atau disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang rusak. Dalam hal ini tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun segala regulasi atau aturan yang dimainkan oleh para pemangku kebijakan.
ADVERTISEMENT
Dari kedua jenis kemiskinan tersebut dapat diketahui bahwa faktor penyebab petani menjadi miskin adalah kurangnya kekreatifitasan dalam hal pengelolaan dan kurangnya pelayanan dari para pelayan masyarakat (pemerintah). Kemiskinan alamiah terjadi karena kurangnya rasa adaptif-kreatif dari petani untuk menyesuaikan dan mengembangkan segala potensi sumberdaya yang dimiliki. Kemiskinan struktural terjadi karena keinginan kuat dari pemangku kebijakan untuk terus memperpanjang derita miskin para petani, dengan segala regulasi dan permainan harga yang semena-mena membuat petani yang sedari awal kurang adaptif-kreatif hanya bisa pasrah dan memperbanyak do’a kepada Tuhan.
Masalah kemiskinan kaum tani sebenarnya dapat diselesaikan oleh kaum akademisi yang berfokus pada sektor pertanian, yakni mahasiswa pertanian. Keberadaan universitas yang memiliki fakultas pertanian dengan program studi ilmu agronomi, agroklimatologi, ilmu hama & penyakit, ilmu tanah dan sebagainya bisa menjadi titik kekuatan pembangunan pertanian yang dapat mengubah kondisi petani saat ini. Namun tak jarang para sarjana pertanian malah tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. Alasannya ialah profesi dengan penghasilan paling rendah (miskin) adalah di sektor pertanian (petani).
ADVERTISEMENT
Citra petani miskin sebenarnya tidak ditanggapi dan ditelan begitu saja oleh para mahasiswa pertanian. Sebagai mahasiswa yang dianggap sebagai agen of change, seharusnya mahasiswa pertanian mau dan mampu untuk menciptakan perubahan terhadap kondisi para petani, khususnya dalam hal ekonomi dan pendapatan. Sebagai moral force, mahasiswa selayaknya menjadi manusia yang bermoral dengan tidak membiarkan kemiskinan petani terus menerus berlanjut, harus ada pemantik dalam hati untuk menciptakan kesadaran moral demi kesejahteraan bersama.
Selanjutnya mahasiswa sebagai Guardian of value artinya seorang mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat seperti integritas, gotong royong, keadilan dan empati. Nilai-nilai tersebut seharusnya dapat diwujudkan untuk kepentingan bersama, kepentingan petani, kepentingan pahlawan pangan di negeri ini. Terakhir, mahasiswa adalah social control atau kontrol sosial, melalui kemampuan intelektual, kepekaan sosial serta sikap kritisnya, diharapkan mahasiswa mau dan mampu menjadi pengontrol sebuah kehidupan dan kepentingan sosial pada masyarakat dengan terus menerus mengusahakan hadirnya saran, kritik serta solusi bagi permasalahan sosial masyarakat ataupun bangsa.
ADVERTISEMENT
Masalah petani di Indonesia tidak terletak pada cara menanam, cara memupuk, cara menyemprot dan sebagainya. Namun, persoalan utama yang memiskinkan kaum tani adalah keberadaan sistem kompleks hasil desain para pemangku kebijakan yang sama sekali tidak berpihak pada petani.
Pupuk subsidi sengaja dibatasi kuantitasnya agar petani berebut untuk mendapatkannya, bahkan tak jarang petani bernegosiasi dengan penjual pupuk untuk membooking pupuk subsidi bahkan sebelum pupuk itu ada di lokasi penjual. Petani yang tidak kebagian akhirnya terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan biaya mahal, bahkan rela untuk hutang demi mendapatkan nutrisi bagi tanaman budidayanya.
Selain itu, permainan harga yang dipatok semena-mena oleh pihak swasta membuat para petani hanya bisa menebak-nebak sembari berdo’a semoga harga jagung atau padi (misalnya) naik dan tidak turun. Terdapat tirai penghalang antara petani dengan dinamika naik-turunnya harga bahan pangan. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena telah bekerja sama dengan pihak swasta dan memberikan hak kepada pihak swasta untuk mengatur sendiri harga produk yang mereka inginkan. Di antara pemerintah, swasta dan petani, pihak petani adalah yang paling termarjinalkan dan tidak dibiarkan memiliki power sendiri untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan kekreatifitasannya.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menyatakan dan menyesalkan banyaknya kalangan pemuda yang tidak mau terjun ke dunia pertanian. Wajar saja para pemuda tidak ingin masuk dan bergelut di dunia pertanian jika petani saja kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan, rata-rata berumur 45 tahun ke atas, bahkan petani sendiri yang tidak mau anaknya menjadi petani sebab mereka merasakan beratnya menjadi petani di negeri ini. Kalau mau pemuda terjun dan tertarik pada sektor pertanian, buatlah hidup petani sbahagia, sejahterakan mereka!
Mahasiswa zaman zillenial kurang memiliki keinginan untuk memahami dan mendalami makna kata mahasiswa dan di saat bersamaan juga bangga terhadap status mahasiswa. Penyakit pemuda saat ini adalah sering menyetujui namun tidak mau untuk memahami lebih dalam lagi. Pemahaman mereka atas mahasiswa hanya sebatas pelajar yang tidak lagi memakai seragam dan pelajar yang tidak lagi masuk kelas setiap hari.
ADVERTISEMENT
Kedangkalan berpikir seperti inilah yang semestinya menjadi titik fokus dosen dan universitas. Kegiatan dan pembelajaran yang diberikan seharusnya diorientasikan untuk membuat mahasiswa bangga sekaligus paham secara komprehensif akan statusnya sebagai mahasiswa. Namun realitanya berbeda, mahasiswa digiring layaknya sapi yang harus mengikuti segala arahan dan perkataan dari dosen. Bukan bermaksud untuk menjadi pemberontak, namun yang dibutuhkan untuk menumbuhkembangkan nalar kritis sebagai identitas mahasiswa, didikan yang diberikan seharusnya jangan disamakan dengan didikan siswa semasa sekolah.
Mengutip perkataan Eko Prasetyo dalam bukunya Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (2019), “Mau dibilang apa jika ada ketidakadilan dan penindasan sedangkan kamu hanya berdiam diri saja. Tengoklah ke luar dan sentuh derita itu dengan emosi serta nyali. Jangan puas dengan materi kuliah yang disampaikan, jangan pula diperdaya oleh janji atas masa depan.” Begitulah seharusnya mahasiswa, untuk memantaskan diri sebagai mahasiswa harus ada keberanian untuk mendobrak dan merubah ketertindasan yang terstruktur. Pengkajian yang dilakukan harus menyentuh persoalan-peroalan yang muncul, dengan berbagai macam fakultas dan jurusan yang ada semestinya gerakan dan inovasi yang dibangun bisa lebih bersifat komprehensif.
ADVERTISEMENT
Jika universitas tidak menyediakan ruang-ruang untuk mewujudkan nalar kritis dan nalar sosial dari dalam diri mahasiswa, organisasi bisa menjadi alternatifnya. Dengan bergelut di dunia organisasi, terkhusus organisasi yang bergerak di ranah keagamaan, kemahasiswaan dan kemanusiaan dapat membantu mahasiswa untuk tidak hanya mempertajam potensi diri, namun juga membudidayakan akal budi, agar dapat menggunakan potensi yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat tertindas di luar sana.