Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mengukur Efektivitas Konferensi-Konferensi Lingkungan Hidup
17 Juni 2023 18:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Neezar GZ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perhatian umat manusia terhadap lingkungan lahir karena semakin eksploitatifnya manusia terhadap lingkungan dengan dalih industrialisasi dan perkembangan zaman. Di tahun 1972, perhatian tersebut dimanifestasikan pada konferensi internasional pertama yang khusus membahas keberlanjutan lingkungan hidup sebagai wadah hidup satu-satunya bagi manusia.
ADVERTISEMENT
Konferensi tersebut diadakan pada 5 Juni di Stockholm, Swedia dan dikenal dengan nama ‘Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia’ dan melahirkan motto yang disepakati bersama yakni ‘Hanya Satu Bumi’. Di saat yang sama terbentuklah suatu organisasi berisikan negara-negara yang ingin menggalakkan lingkungan berkelanjutan yakni United Nations Environment Programme (UNEP).
Seiring berjalannya waktu, hasil konferensi tersebut tidak dapat berkutik melawan perbenturan antara konsep pembangunan ekonomi dengan konsep pelestarian lingkungan. Perdebatan yang mengutamakan perspektif individualistik antara pihak yang mengutamakan perkembangan ekonomi dengan pihak pemerhati lingkungan direspons oleh PBB dengan resolusi yang disepakati dalam sidang majelis umum PBB pada 19 Desember 1983.
Pada sidang tersebut PBB meresmikan terbentuknya Commission on Environment and Development (WCED) dengan rumusan utama bahwa pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tidak boleh mempengaruhi kemampuan generasi-generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
ADVERTISEMENT
Di bawah pimpinan Nyonya Gro Harlem Bruntland, WCED kemudian meletakkan dasar untuk diadakan lagi konferensi lingkungan hidup yang berupaya untuk menentukan langkah-langkah fundamental yang menunjang pembangunan berkelanjutan, sebab pada dasarnya hal tersebut merupakan kebutuhan seluruh negara untuk menjamin keamanan ekonomi sekaligus keamanan ekologi. Konferensi internasional yang kemudian lebih dikenal dengan Earth Summit ’92 tersebut diadakan di Rio De Jeneiro, Brazil, pada 30 Mei-12 Juni 1992 dengan tema pokok ‘Lingkungan dan Pembangunan’.
Konferensi terebut mencoba mendamaikan antara maraknya pembangunan ekonomi dan semakin terdegradasinya kondisi lingkungan atau bumi. Pada dasarnya hubungan antara aktivitas manusia dengan aktivitas lingkungan harus selalu diselaraskan, namun semakin tinggi tuntutan ekonomi maka hasrat eksploitatif dari manusia tidak dapat terkendali, ditambah lagi dengan lingkungan yang memang tidak memiliki kemampuan untuk melawan tindakan manusia secara langsung.
ADVERTISEMENT
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpotensi merusak lingkungan dengan sengaja atas dasar kebutuhan individual, bahkan kebutuhan komunal seperti perusahaan atau negara sekalipun. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perusakan lingkungan hidup akan berbanding lurus dengan semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan adalah alat legitimasi bagi manusia untuk membenarkan aktivitas eksploitasi yang dilakukannya terhadap lingkungan. Aktivitas-aktivitas pelestarian lingkungan tidak akan mencapai tujuan, jika persoalan kemiskinan juga tidak dituntaskan. Maka dari itu, pada Earth Summit ’92 memfokuskan arah bahasan terhadap masalah kemiskinan sebagai pokok permasalahan. Pembangunan, jika menggunakan teori dari Von Buri, ialah conditio sine qua non untuk menekan kemiskinan yang merupakan persemaian bagi perusakan lingkungan.
Dr. Hans J. Daeng dalam bukunya ‘Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan’ memandang hal tersebut dari kacamata antropologis dengan menyatakan bahwa tidak ada pemecahan yang tepat bagi persoalan lingkungan hidup selama tidak diadakan upaya-upaya perbaikan terhadap masalah keseharian manusia.
ADVERTISEMENT
Sekarang, jika ditinjau hubungan kausalitas antara konferensi-konferensi terkait lingkungan dengan kondisi aktual bumi saat ini, dapat dikatakan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan tujuan. Bumi yang saat ini dihuni oleh lebih dari 8 miliar manusia semakin memikul beban, ditambah lagi dengan maraknya eksploitasi yang mengutamakan bisnis investasi dengan kedok kebutuhan negeri. Bahkan diprediksi bahwa jika hutan tropis terus dirusak hingga jangka waktu 50 tahun ke depan maka paru-paru dunia tidak akan berfungsi.
Melalui kondisi tersebut, seharusnya konferensi Stockholm maupun konferensi Earth Summit ’92 yang melahirkan kebijakan, organisasi hingga komisi khusus yang katanya bertujuan menciptakan pembangunan berkelanjutan harus kemudian direfleksi dan dikonfirmasi kembali.
Satu hal yang harus menjadi perhatian ialah bahwa konferensi Earth Summit ’92 yang diharapkan menyelamatkan bumi demi kepentingan umat manusia telah disusupi oleh kepentingan dan pertarungan politik antar negara-negara atau kelompok-kelompok negara. Pada berita harian Kompas, 16 Nopember 1991 mengabarkan bahwa pada pertemuan Joint Working Commite on Forestry, komite kerja sama Indonesia-Malaysia di bidang kehutanan, yang diadakan pada November 1991 di Medan, Indonesia dan Malaysia menyatakan tidak akan menghadiri Earth Summit ’92 jika yang dijadikan sumber permasalahan lingkungan hanyalah masalah degradasi hutan tropis. Indonesia dan Malaysia menilai tidak adil jika negara-negara maju menuding eksploitasi hutan sebagai kesalahan dan harus segera dilarang tanpa mempertimbangkan bagaimana eksploitasi itu harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kecemasan negara-negara Eropa terhadap kerusakan paru-paru dunia, sampai-sampai diadakan kampanye dan propaganda anti kayu hutan tropis agar masyarakat dunia tidak membeli produksi industri kayu, dengan demikian hutan tropis tidak akan banyak dibabat. Jika dilihat secara objektif, penyebab kerusakan lingkungan tidak hanya berfokus pada kerusakan hutan. Justru penyumbang limbah serta emisi karbon terbesar ialah dari kegiatan-kegiatan industri yang pastinya mayoritas berasal dari negara-negara industri.
Dinamika tersebut sangat berbahaya jika terus menerus dibenturkan, pada akhirnya umat manusia seluruh dunia akan sampai pada dikotomi bahwa untuk menjaga keberlanjutan bumi, manusia harus menjaga hutan atau mengontrol industrialisasi. Kontestasi antar negara tidak akan dapat terhindarkan. Dengan kemajemukan perspektif, gengsi, kepentingan serta tujuan akan sulit mengimplementasikan kesepakatan universal di ruang-ruang yang lebih partikular.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, selain dari kewajiban negara untuk memakmurkan masyarakatnya, untuk mengusahakan terbentuknya pembangunan berkelanjutan ialah dengan melakukan ekspansi nilai-nilai ideologi dan konstitusi ke arah penyadaran terhadap kelestarian lingkungan hidup sebagai dasar kehidupan dan ruang aktivitas masyarakat di dalam suatu negara.
Misalnya, dasar negara Indonesia, Pancasila, dikontekstualisasikan dengan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan hidup. Lima sila dalam Pancasila tidak akan dapat dimanifestasikan jika tidak disokong oleh kondisi lingkungan yang nyaman. Begitupun juga dengan cita-cita UUD 45 tidak akan tercapai jika oksigen terbatas, ruang hidup semakin sempit, kemiskinan dan kelaparan merajalela, berkurangnya lahan pertanian, semakin maraknya bencana ekologis, dan akibat-akibat lain yang penyebabnya adalah tidak selarasnya kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan.