Januari itu, Saya Menjadi Seorang Ibu di Paris

Nefertiti Hindratmo
A diplomat, learning the curves through Sesdilu 61
Konten dari Pengguna
5 Juli 2018 8:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nefertiti Hindratmo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi masih begitu gelap waktu waktu kami beranjak pergi. Pagi ini saya terbangun lebih awal karena perut mendadak terasa mulas. Minggu itu tepat 40 minggu menurut perhitungan dokter. Badan sudah terasa begitu berat dan begitu mudah lelah. Dokter bilang, anda harus banyak jalan supaya bisa cepat persalinannya. Tapi apa mau dikata, hari yang semakin dingin kerap menghambat keinginan untuk keluar rumah dan mungkin saya juga yang terlalu malas. Tepat sembilan bulan setelah ketibaan saya di Paris, saya akan bertemu dengan putra kami.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang kami lakukan setelah mendengar berita ini dari doktor Catherine Faurie, sang Ginekolog? Yang pertama, telpon orang tua tentunya dan mengatur kedatangan orang tua saya. Terdengar manja ya, tapi sebagai calon ibu yang belum pernah momong bayi sebelumnya, kami merasa ini solusi terbaik saat itu. Alhamdulillah, kedua orang tua saya berkenan hadir dan hingga kini kami bersyukur mereka bersedia meluangkan waktunya untuk kami. Yang kedua, mengintensifkan perburuan apartemen. Weekend demi weekend pun kami lewati kesana kemari untuk melihat calon apartemen yang sesuai untuk keluarga kecil kami.
Yang ketiga, dan mungkin yang paling penting, mempersiapkan kehadiran si kecil. Baca-baca tentang parenting, cara menyusui, sakitnya melahirkan dan yang paling seru, melangkahkan kaki untuk cari promo perlengkapan bayi. Persiapan mental, tentu saja. Saya yang emosional mendadak harus kalem dan sabar, karena katanya ibu hamil tidak boleh terlalu sering marah-marah. Lebih banyak menahan diri, jangan suka gosip. Ngidam? Ngga kepikiran tuh. Setiap ada keinginan untuk makan makanan Indonesia, saya selalu berbisik, “sebentar ya nak, ibu ga jago masak”.
ADVERTISEMENT
Apakah berat hamil di negara asing? Entah mengapa, di luar mual yang rasanya lama dan tak segera usai, saya menjalaninya dengan suka cita. Orang-orang baik di sekitar saya yang mendadak muncul dan mendukung si ibu hamil ini membuat saya tenang. Membayangkan sepanjang masa hidupnya, anak saya akan membawa akta lahir dengan Paris sebagai kota kelahirannya kerap membuat saya tersenyum simpul.
Ketika akhirnya, pagi di bulan Januari itu tiba, diantara dingin yang membekap erat, saya merasa tenang dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Di perjalanan menuju rumah sakit, menara Eiffel berkelip seakan meyakinkan saya bahwa putra kami akan menjadi cahaya hidup kami.
Ketika kami tiba, suster merujuk saya ke ruang persalinan, “masih bukaan dua, belum turun madame” ujarnya santai. “Mungkin nanti setelah makan siang anda akan jadi ibu” lanjutnya sambil memasangkan monitor jantung bayi. Saya pun berusaha tidur, tapi kontraksi memaksa saya terus terbangun. Saya melirik ke arah monitor yang terus menggambarkan detak jantung putra saya. Beberapa kali suster sempat datang melakukan pemeriksaan. Tidak banyak kemajuan dan kontraksi saya tidak teratur. Ia lalu memasangkan infus untuk mempercepat bukaan. Dokter anestesi tiba, menyuntikkan epidural, lalu saya kembali berusaha tidur.
ADVERTISEMENT
Ketika terbangun, rasa lapar mulai melanda, tapi saya tidak boleh makan. Rasa tak sabar mulai menghinggapi, ingin segera melihat putra kami. Saya mulai merasa lelah karena terlalu lama berbaring tapi saya tidak dapat berjalan. Saya suruh suami saya untuk makan, saya merasa mungkin bayi ini akan tiba malam nanti. Saya mencoba scrolling media sosial, tapi di tahun politik itu, hal ini malah membuat saya semakin lelah. Akhirnya saya tertidur.
Malam itu, dokter Faurie, ginekolog yang mendampingi kami sejak awal tiba. Ia meminta suami saya menunggu di luar dan lalu ia memeriksa saya. Tak lama, ia menegaskan “vous avez besoin d’une cesarienne”. Saya harus menjalani operasi caesar. Kondisi bayi anda stabil tapi air ketuban anda mulai berwarna merah muda, lanjutnya. Saya berusaha tenang dan berdoa, 12 jam sudah saya menanti untuk melahirkan normal, saya meyakini bahwa operasi ini memang diperlukan. Kamar operasi disiapkan, dokter anak dan dokter anestesi segera siaga. Tanpa banyak bicara mereka mendorong saya ke ruang operasi. Suami saya ikut masuk, agak bingung dan khawatir kenapa mendadak saya perlu dioperasi. Tirai biru dipasangkan. Melihat kami berdua agak khawatir, dokter anestesi mencoba mencarikan suasana. Ia menggambar di tirai biru itu, mengisahkan tentang kehadiran seorang bayi. Saya mulai tenang dan operasi pun dimulai.
ADVERTISEMENT
Tak lama, terdengar suara bayi, perawat menarik suami saya ke luar ruangan untuk melihat pemeriksaan putra kami. Suara tangisnya seakan menggema di luar ruang operasi, ksatria kecil kami, buah hati kami. Pada Januari itu, di antara kelam musim dingin dan malam yang begitu panjang, saya menjadi seorang ibu di Paris.