Timnas Sepak Bola Prancis: Sepak Terjang Keberagaman

Nefertiti Hindratmo
A diplomat, learning the curves through Sesdilu 61
Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 9:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nefertiti Hindratmo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
15 Juli 2018 menjadi hari yang akan dikenang sebagai “le jour de victoire” atau Hari Kemenangan. Tepat 20 tahun setelah kemenangan pertama Prancis di Piala Dunia 1998, tim nasional Prancis berhasil membawa pulang Piala Dunia kembali ke tanah air mereka.
ADVERTISEMENT
Para anggota tim pun diarak di jalanan utama kota Paris dan diterima oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Di luar semangat sportivitas yang mereka junjung tinggi serta determinasi kuat untuk menambah bintang kemenangan, timnas Prancis juga melambangkan keberagaman dan integrasi.
sumber: twitter.com/@equipedefrance
Keandalan timnas Prancis pada gala akbar sepak bola kali ini seakan mengamini pentingnya keberagaman. Bagi timnas Prancis sendiri, hal tersebut bukan merupakan hal baru. Tahun 1984, tim Ayam Jago bertanding di Piala Eropa. Tim ini digawangi oleh Michel Platini, seorang keturunan Italia. Bersama Platini, terdapat bek asal Afrika bernama Jean Tigana yang lahir di Mali. Selain itu, ada pula Marius Trésor yang lahir di Guadalupe, wilayah seberang lautan Prancis di Karibia.
ADVERTISEMENT
Di final yang diadakan di stadion Parc des Princes, Paris, tim Prancis berhasil mengalahkan Spanyol 2—0 dan mempersembahkan UEFA Euro Champions kepada rakyatnya. Kumandang La Marseillaise saat itu, juga menandai gelar internasional pertama yang diraih timnas Prancis.
Tentunya, kemenangan yang paling tak terlupakan adalah tim Les Bleus pada Piala Dunia 1998. Diadakan di tanah sendiri, tim Ayam Jago melaju terus dengan Didier Deschamps sebagai kapten tim. Si anak emas adalah Zinedine Zidane, seorang muslim anak imigran Aljazair. Keberagaman tim Prancis semakin marak dengan kehadiran pemain keturunan Afrika seperti Marcel Desailly dan Patrick Vieira.
Para pemain dari wilayah seberang lautan Prancis semakin mempersolid tim ini. Di laga final, kepiawaian Zidane, terbukti dengan dua gol yang ia cetak ke gawang Brazil. Kemenangan Prancis ditutup dengan gol Emmanuel Petit di injury time.
Sumber: twitter.com/@jdadijonhand
ADVERTISEMENT
Keberadaan tim sepak bola di negara seperti Prancis tentu tidak bisa dilepaskan dari isu sosial politik. Timnas 1998 yang memenangkan Piala Dunia kerap disebut sebagai tim “black-blanc-beur” (keturunan kulit hitam—kulit putih—arab).
Tim inilah yang kerap disebut sebagai lambang keberagaman dan integrasi. Keberhasilan para imigran dan keturunannya untuk berintegrasi dengan kultur Prancis dan tekad masyarakat Prancis untuk membuka diri. Upaya ini berbuah manis dan menggiring Piala Dunia ke pangkuan rakyat Prancis.
Tapi, kesuksesan timnas yang mempersatukan Prancis tak bertahan lama. Tersingkirnya timnas Prancis dari putaran group Piala Dunia 2002 membuat romantisme ’98 semakin terpuruk. Selama beberapa waktu, beberapa skandal sempat melanda tim nasional mulai dari penerapan kuota pemain yang dianggap rasis hingga penyelidikan atas Karim Benzema.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, nilai-nilai keberagaman dan persatuan yang diusung oleh kemenangan 1998 semakin jauh seiring dengan menguatnya sentimen anti-imigran. Kondisi perekonomian Prancis yang masih berupaya memulihkan diri pasca krisis ekonomi semakin mendorong penguatan paham proteksionisme.
Di beberapa lapisan masyarakat mulai terdengar keengganan untuk terus bergabung dengan Uni Eropa atas alasan kedaulatan nasional dan krisis pengungsi yang terus meningkat. Naiknya gerakan ekstrem kanan yang dipimpin Marine Le Pen dianggap sebagai konfirmasi atas perkembangan ini.
Di tengah kondisi ini, timnas Prancis berangkat ke Russia dipimpin pelatih Didier Deschamps. Di dalamnya 23 pemain terbaik Prancis dengan latar belakang yang beragam. Empat belas di antara mereka memiliki darah Afrika. Sebagai wakil bangsanya, kesebelasan ini tentunya mendapat perhatian penuh dari masyarakat Prancis.
ADVERTISEMENT
Kepergian mereka pun dilepas oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron melalui jamuan makan siang di istana kepresidenan Elysee. Ia bahkan berjanji akan terbang ke Russia jika tim Les Bleus masuk final. Janji Presiden Macron menandai pentingnya tim nasional sepak bola dan kerinduan akan gelar juara bagi masyarakat Prancis.
Ternyata tim 'Ayam Jago' mencapai babak final. Timnas Perancis mengalahkan tim Kroasia 4-2 dan tim yang penuh warna-warni itu mempersembahkan Piala Dunia bagi masyarakat Prancis. Persembahan ini semakin bermakna karena final diselenggarakan sehari setelah masyarakat Prancis merayakan hari nasional 14 Juli.
Hari di mana Prancis merayakan kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan. #fiersdetrebleus menjadi trending topic di berbagai sosial media. Kepulangan dua puluh tiga anak anggota kesebelasan dirayakan besar-besaran.
Timnas Prancis mengangkat trofi Piala Dunia 2018 (Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS)
Apakah kemenangan ini akan menandakan menguatnya identitas keberagaman masyarakat Prancis? Apakah kemenangan ini akan menjadi jawaban atas upaya gerakan ekstrem kanan yang menuntut ditutupnya pintu imigrasi?
ADVERTISEMENT
Di hadapan bangsanya, pernyataan Antoine Griezmann, sang pemain bintang, kepada reporter saat Piala Dunia dapat menjadi simbol persatuan, “La diversité qu'on a dans cette sélection est à l'image de ce beau pays qu'est la France” (Keberagaman yang ada dalam tim ini merupakan citra keindahan negara Prancis).
Apakah kehadiran Piala Dunia di Paris hingga empat tahun ke depan dapat memperkokoh tonggak persatuan? Nah, marilah kita cermati bersama.