Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
MBTI dan Ilusi Objektivitas: Apakah Kita Benar-Benar Tahu Siapa Kita?
16 April 2025 13:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nehemiah Reynard Suwanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan Anda baru saja mengikuti tes MBTI dan mendapatkan hasil sebagai INTJ, sang ‘strategist’. Seminggu kemudian, tes yang sama menyatakan Anda adalah ISFP, si ‘artist’. Dua kepribadian ini bukan cuma beda, tapi bertolak belakang. Lalu muncul pertanyaan: jika kepribadian adalah sesuatu yang stabil, mengapa hasil tes bisa berubah dalam waktu singkat?
ADVERTISEMENT
Faktanya, perubahan hasil seperti ini sangat umum terjadi. Yang lebih mencengangkan, MBTI justru banyak digunakan perusahaan untuk rekrutmen, institusi pendidikan, bahkan sebagai pertimbangan percintaan. Lalu, mengapa kita masih memercayainya? Apa yang membuat empat huruf ini terdengar begitu sah, padahal tidak dikembangkan oleh psikolog modern dan tidak lolos uji ilmiah?
MBTI sebagai Pseudoscience
MBTI populer bukan karena keakuratannya, tapi karena kemampuannya menyajikan deskripsi yang terdengar pribadi, mudah dicerna, dan seringkali menyenangkan untuk dibaca. Siapa yang tidak ingin merasa "dipahami" hanya dari menjawab beberapa pertanyaan sederhana? Ditambah lagi, keempat huruf hasil tes memberikan label identitas yang terasa eksklusif, seolah menggambarkan inti diri kita.
Banyak orang juga mengira MBTI ilmiah karena dikemas dengan istilah teknis dan grafik warna-warni. Kata-kata seperti "Introvert" atau "Thinking" terdengar akademis, meskipun dalam konteks MBTI, istilah-istilah ini tidak selalu digunakan sesuai definisi psikologi modern. Tampilan profesional ini memberi kesan objektivitas, padahal di baliknya tidak ada landasan teoritis kuat.
ADVERTISEMENT
Pittenger (2005) menunjukkan bahwa 50% responden mendapat hasil berbeda saat mengulang tes dalam waktu singkat, sebuah indikator bahwa MBTI tidak reliabel. Vox (2014) bahkan menyamakannya dengan horoskop karena tipe kepribadiannya terlalu umum dan bisa cocok untuk siapa pun. Efek ini dikenal sebagai Barnum effect, dan akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya. Singkatnya, meski MBTI tampak seperti alat ilmiah, ia tidak memenuhi kriteria dasar keilmuan: tidak reliabel, tidak bisa diuji secara ketat, dan tidak didasarkan pada teori psikologi kontemporer.
MBTI Tidak Bisa Dibantah, dan Itu Masalahnya
Salah satu hal paling mencurigakan dari MBTI adalah betapa mudahnya ia “terasa benar”—namun hampir mustahil untuk dibuktikan salah. Apapun hasilnya, kita cenderung mengangguk dan berkata, “iya banget, ini gue.” Tapi justru di situlah masalahnya. Karl Popper menjelaskan bahwa inti dari sebuah teori ilmiah bukan terletak pada seberapa meyakinkannya, tetapi pada seberapa besar ia bisa diuji dan dibantah. Jika suatu teori tidak bisa dibuktikan salah dalam kondisi apa pun, maka ia bukanlah teori ilmiah, melainkan pseudoscience yang kebal terhadap kritik.
ADVERTISEMENT
Popper menyebut kriteria ini sebagai falsifiability yaitu kemampuan suatu teori untuk dibantah melalui observasi atau eksperimen. MBTI gagal memenuhi kriteria ini karena deskripsi tiap tipenya terlalu umum dan lentur, sehingga hampir tidak ada skenario di mana hasilnya dianggap “salah”. Teori yang terlalu fleksibel, yang selalu bisa menyesuaikan diri dengan data apa pun, menurut Popper bukanlah teori yang ilmiah karena tidak memberi peluang untuk diuji secara nyata.
Lebih jauh lagi, Popper mengkritik pendekatan yang mengandalkan verifikasi atau pencocokan pengalaman sebagai bukti. MBTI sering dipercaya karena penggunanya merasa cocok dengan hasilnya. Namun, kesesuaian subjektif seperti itu tidak cukup untuk menyebut sebuah teori sebagai ilmiah. Validitas ilmiah menuntut bukti yang bisa diuji, bukan hanya pengalaman personal.
ADVERTISEMENT
Dan bahkan jika kita ingin menguji MBTI, bagaimana caranya? Tidak ada prediksi spesifik atau batasan yang jelas untuk membedakan apakah seseorang benar-benar ‘ISTJ’ atau tidak. Popper menekankan bahwa teori yang baik bukan hanya harus bisa diuji, tapi juga memiliki tingkatan kestabilan yaitu semakin spesifik dan terukur, semakin ilmiah suatu teori. MBTI tidak hanya tidak bisa diuji, tapi bahkan tidak menyediakan alat ukur yang jelas untuk memulai. Ia terlihat objektif, namun kosong secara metodologis.
Efek Barnum: Saat Deskripsi Umum Terasa Pribadi
Salah satu alasan mengapa MBTI terasa begitu "ngena" adalah karena ia memanfaatkan Barnum Effect yaitu kecenderungan manusia untuk menganggap deskripsi kepribadian yang terlalu umum sebagai sesuatu yang personal dan akurat. Contohnya:
ADVERTISEMENT
"Kadang kamu introvert, tapi di situasi tertentu bisa sangat terbuka."
Kalimat seperti ini terdengar spesifik, padahal berlaku untuk hampir semua orang. Dickson dan Kelly (1985) membuktikan bahwa efek ini semakin kuat ketika deskripsi dikemas seolah "khusus untukmu", seperti label INTJ atau ENFP dalam MBTI. Bahkan, dalam eksperimen klasik Forer (1949), 39 mahasiswa memberi nilai 4.3/5 untuk deskripsi identik yang diambil dari buku astrologi padahal tidak ada yang benar-benar unik.
MBTI bukan sekadar memakai bahasa umum, tapi juga memanfaatkan beberapa trik psikologis lainnya:
ADVERTISEMENT
Efek ini makin kuat dalam budaya populer, di mana kebutuhan akan identitas dan literasi psikologi yang rendah membuat orang lebih mudah terjebak. Poin utamanya: MBTI bertahan bukan karena ia valid secara ilmiah, tetapi karena kita secara psikologis ingin percaya pada hal yang terasa "relevan" meski sebenarnya hanyalah umpan Barnum yang cerdik.
Percaya Itu Mudah, Memahami Itu Butuh Usaha
Literasi ilmiah bukan sekadar urusan akademik—ia adalah senjata utama melawan klaim-klaim pseudosains yang bersembunyi di balik jargon yang meyakinkan. Seperti diungkap Lilienfeld dkk. (2008), tes seperti MBTI bertahan bukan karena validitasnya, tapi karena tiga musuh bersama:
ADVERTISEMENT
Di era banjir informasi, kunci melawan pseudosains bukan hanya menuntut bukti, tapi juga membongkar mekanisme psikologis yang membuat kita mudah percaya.
Solusi
Berbeda dengan MBTI, model yang lebih ilmiah dan teruji adalah Big Five Personality Traits. Big Five, yang mencakup lima dimensi kepribadian yaitu Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, dan Conscientiousness, telah terbukti lebih valid dan reliabel dalam berbagai penelitian psikologi. Model ini berdasarkan pada analisis faktor statistik, yang mengidentifikasi pola-pola stabil dalam perilaku manusia, dan terus diuji melalui metode empiris yang ketat. Berbeda dengan MBTI, yang membagi orang ke dalam kategori yang kaku seperti ‘Introvert’ atau ‘Extravert’, Big Five mengakui bahwa kepribadian manusia bersifat dinamis, dengan individu bisa berada di berbagai titik dalam setiap dimensi. Ini membuat Big Five lebih fleksibel dan mencerminkan keragaman kepribadian manusia dengan lebih akurat.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Cherry, K. (2025, January 29). What Are the Big 5 Personality Traits? Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/the-big-five-personality-dimensions-2795422
Dickson, D. H., & Kelly, I. W. (1985). The “Barnum Effect” in Personality Assessment: A Review of the Literature. Psychological Reports, 57(2), 367–382. https://doi.org/10.2466/pr0.1985.57.2.367
Lilienfeld, S. O., Wood, J. M., & Garb, H. N. (2008). Why Questionable Psychological Tests Remain Popular. Scientific Review of Mental Health Practice, 9(2), 6-17.
Pittenger, D. J. (1993). Measuring the MBTI. . .And Coming Up Short. Journal of Career Planning and Employment, 54(1), 48–52.
Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.
Stromberg, J., & Caswell, E. (2014, July 15). Why the Myers-Briggs test is totally meaningless. Vox. https://www.vox.com/2014/7/15/5881947/myers-briggs-personality-test-meaningless
ADVERTISEMENT