Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masih Adakah Safe Space untuk Perempuan?
5 Desember 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Neina Risdiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih adakah “safe space” untuk perempuan? Pertanyaan retoris yang masih diharapkan jawabannya oleh para perempuan. Banyak kasus yang menjadikan para perempuan sebagai korban seperti objek seksual hingga pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pembunuhan. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan pada tahun 2024 terdapat kasus Kekerasan yang di mana 79,8% korbannya adalah perempuan Hal tersebut membuat para perempuan mempertanyakan apakah masih tersisa tempat yang aman untuk mereka? Ironisnya saat para korban tewas, kisah hidup mereka malah dijadikan bahan komersial dan ditayangkan ulang reka adegan yang membuat mereka meregangkan nyawa saat itu.
ADVERTISEMENT
Persepsi masyarakat serta budaya patriarki yang mengakar bagi perempuan membuat permasalah tidak kunjung menemukan titik terang. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan mudah dikendalikan oleh lelaki. Bahkan Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual dianggap sebagai aib dan diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Tak jarang juga para korban tidak bisa mengambil hak penuh atas tubuhnya sendiri. Terkadang ketika mereka “terpaksa” mengandung, mereka tidak dapat memilih atas apa yang mereka mau. Jika korban memilih untuk tidak “menginginkannya” mereka dianggap sebagai manusia tidak berhati nurani sedangkan ketika mereka ingin “mempertahankannya” konsekuensi yang didapat adalah menjadi bahan ejekan dan dianggap telah melanggar norma sosial di lingkungannya. Lebih naasnya lagi para keluarga korban yang merasa malu menyuruh korban untuk menikah dengan pelaku sebagai dalih agar penerus yang akan lahir memiliki sosok ayah tanpa memikirkan efek jangka panjang pada korban.
ADVERTISEMENT
Saat sudah berumah tangga pun bukan jaminan bahwa perempuan akan merasa aman tetapi bisa juga sebaliknya, di mana perempuan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh pasangannya yang merupakan orang terdekat. Saat para perempuan mencari pembelaan dan mencoba lepas dari hubungan toxic, lagi-lagi mereka mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Banyak anggapan bahwa perempuan dianggap tidak becus dalam mengurus pasangannya. Ketika perempuan menginginkan berpisah terkadang pihak yang seharusnya menolong korban malah menyuruh korban untuk memikirkan kembali matang- matang atas keputusannya. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya stereotip yang menyatakan bahwa menjadi janda adalah hal yang memalukan. Tak urung pun ketika pasangannya berselingkuh, pihak perempuanlah yang dihakimi dan dianggap tidak bisa menyenangkan dan “memuaskan” pasangannya.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya media sosial yang semakin canggih, tak dapat dihindari para perempuan tetap merasa kesulitan mengekspresikan dirinya lewat postingan yang akan diunggah di laman akun mereka sendiri. Banyak penyalahgunaan yang dilakukan oleh para pelaku tidak bertanggung jawab menjadikan postingan para perempuan sebagai objek seksual serta memberikan komentar-komentar dengan dibalut sebutan kata yang tidak etis. Tak dapat dipungkiri para pelaku otak “cabul” ini juga akan mengirim video erotis dan meneror korban lewat pesan ataupun telepon. Ketika para korban merasa tidak nyaman dan mencari pembelaan lagi-lagi mereka disalahkan karena dianggap mengunggah hal yang mengundang hawa nafsu bagi pengamat.
Ketika perempuan berada di ruang publik pun, tidak ada jaminan perempuan akan merasa aman. Dimulai dari transportasi umum, swalayan, bahkan konser sekalipun. Para pelaku biasanya melakukan catcalling dengan alasan yang tidak masuk akal dan hal tersebut berhasil membuat para perempuan merasa risih dan terancam. Para pelaku terkadang juga mencari kesempatan di keramaian dengan cara mendekatkan diri ke arah korban serta mencoba untuk memegang area sensitif tubuh korban. Para pelaku sering berdalih bahwa tubuh korban terlihat begitu menggoda dan mengundang hawa nafsu. Namun nyatanya para korban menggunakan baju yang sopan bahkan tertutup.
ADVERTISEMENT
Rumah sebagai tempat berlindung terakhir juga bukan jaminan bagi para perempuan bisa merasakan rasa aman dan bebas. Banyak sekali kasus yang menjadikan perempuan sebagai korban pelecehan seksual dan pelakunya merupakan orang terdekat yang tinggal dalam satu rumah bahkan satu darah dengan korban. Hal tersebut sangat mengenaskan, apalagi kejadian terjadi di dalam rumah korban. Tak cukup dilecehkan bahkan korban dibunuh hingga meregangkan nyawa. Puncak komedi yang ironis pun juga mengikuti, di mana tragedi yang dihadapi korban dijadikan bahan komersial dan dipertontonkan reka adegan yang dialami korban kepada banyak orang.
Permasalahan yang ada bukan lagi menjadi hal yang sepele dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan para korban yaitu perempuan terkena dampak signifikan, bukan hanya para perempuan remaja atau dewasa, perempuan di bawah umur yang masih mengexplore lingkungannya tak khayal juga menjadi korban. Lalu apakah hal yang ada menjadi bukti dari pertanyaan masih adakah “safe space” untuk perempuan sudah tidak tersedia lagi?
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang ada sudah seharusnya mendapatkan penanganan, di mana semua perlu turut andil dan mengambil peran untuk mendukung terbentuknya “safe space” bagi perempuan. Penyelesaian yang dapat dilakukan bukan hanya menciptakan sebuah tempat yang “aman” tetapi juga menjadi manusia yang aman untuk manusia lain.
Para pelaku yang melakukan tindak kejahatan terhadap perempuan juga harus mendapatkan hukuman setimpal dengan apa yang dirasakan korban. Hal tersebut patut dilakukan supaya para pelaku merasakan efek jera, karena dari banyaknya kasus para pelaku hanya menyelesaikan masalah lewat cara kekeluargaan dan bebas tanpa merasa bersalah serta berpotensi melakukan hal yang sama berulang kali dengan korban yang berbeda.
Terdapat juga cara preventif, hal yang bisa dilakukan adalah melalui edukasi sejak dini tentang pentingnya memproteksi diri serta memberikan pendidikan seksual dengan bahasa yang muda dicerna tanpa perlu adanya “sebutan-sebutan” yang menjadikan pendidikan seksual adalah hal tabu. Selain itu perlu adanya edukasi anti patriarki yang perlu diterapkan agar terciptanya kesetaraan gender dan perempuan bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Perlu juga diajarkan kepada para lelaki untuk menjaga hawa nafsu mereka, karena hal tersebut sering dilupakan, berbeda hal dengan para perempuan yang selalu diajarkan untuk selalu menjaga cara berpakaian mereka.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga turut andil dalam hal melindungi para korban hingga korban mendapatkan keadilan lewat jalur hukum dan memperkuat undang-undang yang ada agar para pelaku mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang telah mereka lakukan dan merasakan efek jera.
Sebagai sesama manusia yang ingin menciptakan adanya “safe space” untuk perempuan, jika terdapat korban yang memerlukan bantuan, sudah sepatutnya kita menolong dan memberikan dukungan serta tidak menghakimi korban. Dengan dukungan dari berbagai pihak dan kesadaran setiap individu maka “safe space” untuk para perempuan akan terbentuk dan para perempuan dapat hidup dengan aman dan bahagia untuk meraih impian yang mereka punya.
Ditulis Oleh Neina Risdiana, Mahasiswa Universitas Airlangga