Diplomasi Perlindungan Suku Anak Dalam (SAD), Kenapa Tidak?

Konten dari Pengguna
21 April 2019 21:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nelvy M. Syah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suku Anak Dalam di Muara Kilis, Muara Bungo, Jambi. Foto: Mursali, UPT Sesdilu Kemenlu
zoom-in-whitePerbesar
Suku Anak Dalam di Muara Kilis, Muara Bungo, Jambi. Foto: Mursali, UPT Sesdilu Kemenlu
ADVERTISEMENT
Ekspresi rasa ingin tahu tergambar jelas di wajah anak-anak SAD di Muara Tebo, ketika kami, rombongan diplomat muda tiba memadati gedung Pusat Informasi Suku Anak Dalam yang terletak di Kecamatan Muara Kilis, Muara Tebo, Jambi. Agak miris melihat kondisi mereka sebenarnya, tetapi inilah mereka, SAD yang menetap di kawasan ini, dan kami datang berkunjung untuk belajar dari mereka. “Belajar tentang kearifan lokal di sini” tutur Muhamad Aji Surya, Direktur Sesdilu ketika ditanya tujuan utama kedatangan para diplomat ke Muaro Bungo. Selain belajar kearifan lokal, terutama yang menyangkut kelestarian hutan dan sungai, kunjungan diplomat ke SAD juga dimaksudkan untuk melakukan community service agar dapat mengenal lebih dekat budaya dan kebiasaan mereka sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Asal Muasal Suku Anak Dalam
Menurut http://files.unicef.org/policyanalysis/rights/files/HRBAP_UN_Rights_IndigPeoples.pdf SAD adalah keturunan penduduk asli atau pemilik lahan sebelum lahan tersebut diambil alih oleh orang lain.
Di Indonesia sendiri, SAD tersebar di beberapa provinsi. Namun demikian jumlah SAD paling banyak berada di provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat sekitar 200.000 orang SAD di dua provinsi ini https://news.okezone.com/read/2018/04/29/340/1892588/suku-anak-dalam-dan-keberadaannya-yang-kian-terancam. Adapun data mengenai jumlah SAD di seluruh dunia mencapai 370 juta orang, yang tersebar di 90 negara.
SAD di Indonesia yang sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan Suku Kubu, merupakan suku yang hidup di pedalaman dan jauh dari hiruk pikuk masyarakat perkotaan. Mereka digambarkan sebagai suatu kelompok masyarakat yang terbelakang, kotor dan primitif. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik kepada kelompok masyarakat ini, pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan nama baru bagi kelompok ini, yaitu SAD.
ADVERTISEMENT
Asal usul adanya SAD hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Para peneliti masih belum mengetahui fakta konkrit mengenai bagaimana suku yang terisolasi ini ada dan apa yang menyebabkannya terisolasi dan hidup primitif. Sebuah tulisan yang dimuat dalam BMT, Departemen Sosial tahun 1998 menyebutkan bahwa SAD adalah sekelompok prajurit berasal dari Kerajaan Jambi, yang dikirim untuk berperang melawan Kerajaan Tanjung Jabung. Mereka berjanji tidak akan kembali sebelum berhasil melaksanakan misi ini. Namun pada kenyataannya misi tersebut tidak berhasil karena di tengah perjalanan para prajurit ini kehabisan bekal, sehingga tidak dapat berperang. Singkat cerita, terjebak di hutan belantara dan telah terlanjur berjanji tidak akan kembali sebelum berhasil menaklukan kerajaan pihak lawan, para prajurit ini merasa malu untuk kembali ke tempat asal mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal dan menyepi di hutan hingga lama kelamaan membentuk budaya tersendiri. SAD turut memperkaya kebhinekaan Indonesia, yang tercermin dari keberagaman suku dan budaya yang tersebar di seluruh nusantara.
Para Diplomat Peserta Sesdilu 63 dalam Community Service Suku Anak Dalam di Muara Kilis, Muara Bungo, Jambi. Foto: Mursali, UPT Sesdilu Kemenlu
Pembinaan SAD
ADVERTISEMENT
Pembinaan SAD di Muara Bungo telah diupayakan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan Bank Nasional Indonesia (BNI) dan Yayasan Orang Rimba, melalui pendirian Pusat Informasi SAD di Kecamatan Muara Kilis, Muara Tebo, Jambi. Di tempat ini, diharapkan ke depannya akan menjadi pusat informasi bagi pengunjung dan peneliti serta sebagai tempat kegiatan bagi SAD. “Kita berharap, setelah kawan-kawan ke sini, kawan-kawan bisa melihat, memotret Kabupaten Muaro Bungo dan mengabarkan kepada masyarakat luar yang ingin datang ke Indonesia, mungkin bisa datang ke Bungo dengan alam dan potensi budayanya," demikian harapan yang disampaikan Mashuri, Bupati Muaro Bungo, kepada para diplomat peserta Sesdilu 63.
Lebih lanjut disampaikan Bupati Kabupaten Muara Tebo, Sukandar, Pusat Informasi merupakan salah-satu langkah dalam mengembangkan program pemajuan masyarakat Suku Anak Dalam yang ada di Muaro Tebo serta Jambi secara umum.
ADVERTISEMENT
"Ke depan, saya akan tugaskan Dinas Sosial untuk melengkapi informasi yang ada di kabupaten Tebo yang ada suku anak dalam. Ada berapa KK, misalnya, kemudian persoalan apa saja yang mereka hadapi, sehingga jadi bahan bagi kami untuk mengambil kebijakan," ungkap Bupati Tebo, Sukandar, di lokasi peresmian Gedung Pusat Informasi SAD, Rabu (10/4) https://kumparan.com/@kumparannews/foto-rumah-pusat-informasi-suku-anak-dalam-diresmikan-di-jambi-1qrfdHq7cWZ.
Program pemajuan SAD juga menjadi perhatian BNI. Kepala Cabang BNI Palembang, Dewanto Ari Wardana, menyatakan bahwa penyediaan fasilitas berupa gedung tersebut merupakan program pemberdayaan BNI. Sebab adalah tanggung jawab BNI, sebagai bank negara, untuk berkontribusi memajukan masyarakat Indonesia. "Kami BNI dalam hal ini bank BUMN, bank milik negara, kami bertanggungjawab untuk menyalurkan CSR kami untuk memajukan masyarakat Indonesia secara umum, khususnya di masyarakat suku anak dalam ini," ungkap Ari.
ADVERTISEMENT
Terkait pembinaan SAD, Marisa, wakil dari peserta Sesdilu 63 mengungkapkan kegembiraannya dengan diresmikan Gedung Pusat Informasi SAD. “Bagi kami gedung tersebut sangat baik dan dapat diibaratkan sebagai jendela. Pertama, agar orang luar dapat melihat apa dan bagaimana SAD serta melihat apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk SAD. Kedua, untuk orang SAD juga bisa melihat dunia luar melalui buku-buku dan kegiatan belajar yang dilakukan oleh yayasan serta pendampingnya,” ujar Marisa.
Peserta Sesdilu 63 lainnya, Wenny, mengharapkan agar Pusat Informasi SAD akan membantu peningkatan ekonomi SAD itu sendiri, mengingat belum maksimalnya pengembangan daerah-daerah tempat SAD bermukim. Untuk itu, para peserta Sesdilu 63 merasa senang dapat melakukan community service kepada SAD, meskipun dalam waktu yang terbatas, seperti yang diungkapkan Aldo, “Positifnya kita bisa lebih mengenal daerah lain di Indonesia, termasuk tempat tinggal SAD. Namun sangat disayangkan waktu kita untuk melakukan community service sangat sempit”.
ADVERTISEMENT
SAD dan Diplomasi Perlindungan
Sebagai salah satu tugasnya, Diplomat memberikan perlindungan kepada seluruh WNI. Dalam kaitan perlindungan kepada SAD, Diplomat sejalan dengan upaya pemda untuk mendukung pemajuan SAD, yakni memperjuangkan pengakuan hak-hak SAD, khususnya agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dengan WNI lainnya seperti akses pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak. “Rencana kita ke depan, kita ingin belajar dari negara lain yang telah berhasil memajukan hak-hak tersebut di atas dengan tanpa menghilangkan kearifan lokal SAD,” lanjut Marisa.
Menurut Frass dan Jepri, peserta Sesdilu 63 lainnya, “secara outward looking, Diplomat wajib melindungi hak-hak SAD sebagai indigenous people dimana sesuai Konstitusi mereka berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Dalam hal ini, Diplomat dapat membantu memperjuangkan hak-hak mereka di fora internasional. Sedangkan dari inward looking, Diplomat dapat mengimplementasikan dan memperkuat diplomasi membumi dengan mendarmabaktikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemajuan SAD”. “Kita ke depan diharapkan menjadi Diplomat merakyat yang mampu mewakili suara rakyat indonesia dari sabang sampai merauke di forum internasional. Untuk itu, perlu adanya kolaborasi erat antara pemprov/pemkab dan swasta untuk membantu melestarikan tradisi dan bersama memperjuangkan status SAD sebagai masyarakat tradisional dan saudara sebangsa setanah air,” Imbuh Frass yang diamini oleh Jepri.
ADVERTISEMENT
Ketua Kajari sekaligus Pembina Yayasan Orang Rimbo, Teguh Suhendro, menjabarkan masalah yang dialami SAD terdiri dari desakan pembukaan lahan yang menggusur mereka dari hutan hingga minimnya regulasi yang menjamin hak-hak Suku Anak Dalam. Dalam hal ini, perlindungan dari sisi pemberian bantuan legalitas identitas dan hak atas tanah terus dilakukan.