Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Airlangga dan Politik Golkar
11 Agustus 2024 16:06 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, fenomena Airlangga ini bisa dibaca mirip-mirip dengan Suharso Monoarfa yang “kemalingan” di siang bolong pada saat kudeta damai antara Suharso Monoarfa ke Mardiono. Begitu pun Airlangga Hartarto yang memang kursi empuknya sudah digoyang sejak dipanggil ke Kejaksaan Agung pada 2023. Fenomena Airlangga adalah menjadi fenomena yang unik, bagaimana misalnya Golkar yang sudah jelas jagoannya menang di Pilpres 2024 yakni Prabowo-Gibran tetapi “kok” persoalan Ketua Umum Golkar ini menjadi seperti masalah yang sangat dipertimbangkan? Apakah kemenangan ini bukan bukti keberhasilan Airlangga?
ADVERTISEMENT
Belajar dari Sejarah
Memang, haruslah diakui, internal Golkar itu memang selalu dipenuhi konflik-konflik, terutama setelah Pilpres secara langsung itu pertama kali dilakukan, yakni 2004. Setelah Golkar tidak mendukung yang namanya Jusuf Kalla menjadi Calon Wakil Presiden dari SBY, tidak lama setelah kemenangan yang “kuda hitam” itu kursi Akbar Tandjung harus dicongkel oleh Jusuf Kalla (JK). Tetapi, Golkar itu menurut saya adalah sebuah kapal yang berisi orang-orang besar dan tidak ada yang menonjol. Maksudnya adalah Golkar itu diisi oleh elit-elit yang tercecer namun sebagai sebuah kapal ia tak pernah tenggelam. Sebut saja elit-elit itu seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Agung Laksono dan lainnya.
Ini merupakan tradisi Orde Baru, dimana Golkar memang secara partai selalu berganti ketua umum setiap periodenya. Sejak Sekber Golkar lalu menjadi Golkar dan reformasi menjadi Partai Golkar, kultur pergantian ketua umum itu selalu terjadi. Nyaris, tidak ada identitas tunggal yang bisa menjadi penanda Golkar kecuali beberapa hal : pragmatisme, pendukung Pemerintah dan pembangunanisme (karya-kekaryaan). Bahkan, Golkar sebagai partai yang merupakan bagian tak terpisahkan Orde Baru, berani untuk mengadakan Konvensi Capres yang saat itu diikuti oleh Surya Paloh, Prabowo Subianto, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Wiranto, Aburizal Bakrie dan peserta lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun, tradisi Golkar yang dinamis dalam persoalan ketua umum sebenarnya tidaklah lepas dari “pragmatisme” politik Golkar yang memang merupakan selalu menjadi bagian dari Pemerintah. Hal itu tidak bisa disalahkan, hanya Golkar yang memiliki tradisi berkuasa era Soeharto sejak 1973 sampai dengan 1998 yang merupakan alat politik Soeharto untuk berkuasa dengan waktu yang cukup lama.
Namun, dalam banyak kajian dan para komentator politik, justru banyak yang mengatakan bahwa di dalam internal Golkar telah terjadi “demokratisasi internal partai” yang mana itu termanifestasi saat ketua umum selalu berganti pada periode tertentu. Namun, 20 tahun terakhir, Golkar yang dalam hal ini kursi ketua umum, selalu berkaitan dengan kalahnya kompetisi atau kepentingan kekuasaan. Tetapi, mengapa di saat Golkar mengusung jagoan yang notabene bukan merupakan petahana dan menang, apa menjadi sebuah PR yang besar bahkan masalah sehingga tidak ada badai dan hujan tiba-tiba seorang Airlangga itu mundur?
ADVERTISEMENT
Kutukan Politik (Jabatan) ?
Melihat Fenomena Airlangga ini juga harus dilihat dalam rentetan bagaimana dinamika politik yang terjadi, terutama saat Airlangga menggantikan Setya Novanto menjadi Ketua Umum Golkar. Setelah konflik yang melanda Golkar dari kubu Agung Laksono dengan Aburizal Bakrie, lalu Setya Novanto dan berakhir dengan kesepakatan bahwa Airlangga menjadi Ketua Umum Golkar, sebenarnya hal yang perlu dilihat adalah bahwa strategis kursi Golkar dan juga sekaligus barangkali sebuah kutukan politik yang memang sebaiknya menjadi pelajaran.
Kursi yang diberikan kepada Golkar sejak bergabung dengan Jokowi memang cukup menarik, antara lain Luhut Binsar Pandjaitan yang digeser ke Menko Maritim dan Airlangga yang masuk sebagai Menteri Perindustrian. Namun, saya baru menyadari tentang bagaimana ucapan Presiden Jokowi di Golkar pada 2022 yang berkata “Tolong berdiri, Pak Luhut,” lalu saya baru sadar bahwa Jokowi ingin menunjukkan bahwa posisi Golkar di kabinet adalah ada dua Menko (Menteri Koordinator) yakni Airlangga dan Luhut itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti yang saya katakan sebelumnya, Jokowi sejak perombakan di 2022, kurang lebih ada beberapa pos Kementerian yang dijabat oleh ketua umum : Zulkifli Hassan (PAN), Airlangga (Golkar), Suharso Monoarfa (PPP). Lalu, tidak lama Suharso Monoarfa di tahun yang sama dicopot. Hal yang ingin saya soroti adalah posisi Kementerian yang memang tidak memungkinkan untuk kebijakannya itu seperti menarik bagi masyarakat. Misalnya saja Menko Perekonomian yang dijabat oleh Airlangga dan Suharso Monoarfa yang menduduki kursi Bappenas. Kedua Kementerian itu menurut pemahaman saya, kurang mendapatkan perhatian publik. Mengapa? Karena sangat sulit dipahami oleh mereka yang awam.
Ini berbeda dengan kursi Menkopolhukam yang di periode Presiden Jokowi, selalu membuat sekiranya gertakan yang mampu untuk perhatian khusus masyarakat. Misalnya saja, Kasus Sambo, Kasus 300 T di Kementerian Keuangan dan BLBI yang semua itu ada dibawah kendali Mahfud MD sebagai Menkopolhukam. Dan itu memang dimungkinkan karena tupoksi ditambah dengan gaya komunikasi yang baik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, konsumsi informasi kepada Bappenas dan Menko Perekonomian hanya dikonsumsi oleh mereka yang paham ekonomi bahkan ekonom itu sendiri. Masyarakat pun hanya paham dengan informasi dan penafsiran ekonom yang sekiranya memudahkan masyarakat paham ketimbang melihat infografik, laporan ekonomi dan angka-angka Badan Pusat Statistik yang jarang menjadi perhatian, kecuali informasi itu sudah dilempar ke publik oleh media.
Dan juga, posisi Kementerian yang diduduki oleh Suharso Monoarfa dan Airlangga ini memang sibuk dengan pekerjaan yang senyap dan penuh dengan eksekusi. Berbeda dengan Menkopolhukam, seperti yang saya katakan sebelumnya. Bappenas, sibuk untuk membuat proyeksi IKN, proyeksi pembangunan sedangkan, Airlangga menjadi Menko Perekonomian yang mana dunia tentu saja berdampak ke Indonesia sedang ditimpa oleh Coronavirus, isu resesi dan Perang Rusia-Ukraina. Memang, ekonomi menjadi perhatian namun bukan Menko Perekonomian yang menjadi tontonan utama, melainkan Jokowi dan Kementerian Keuangan itu sendiri yang lebih kerap melakukan siaran pers. Misalnya, Sri Mulyani dalam beberapa bulan melakukan siaran APBN Kita, yang cenderung memang komunikasinya lebih baik.
ADVERTISEMENT
Lalu, dimana letak kutukan politiknya? Sebuah jabatan yang sangat strategis berdampak pada kepuasan dan kepercayaan publik kepada Presiden namun sang pejabat cenderung kurang diperhatikan dan itu adalah Menko Perekonomian, atau menteri yang seperti saya katakan sebelumnya yakni Bappenas dan Kementerian Perekonomian. Saya tidak mengatakan bahwa dua pos itu tidak ada fungsinya, namun secara politik itu akan tenggelam.
Tetapi, kutukan ini bukanlah kodrat melainkan sebuah hal yang ada namun bisa ditepis, yakni caranya adalah memperkuat komunikasi kepada publik. Tidak henti-hentinya para politisi khususnya ketua umum itu belajar kepada Kudeta PPP yang menimpa Suharso Monoarfa. Karena itu adalah soal komunikasi seorang yang sentral di dalam partai namun misalnya jarang mengungkapkan pendapat politik yang non-normatif atau misalnya menggaungkan perspektif politiknya dan tidak hanya sibuk sebagai seorang pejabat. Tetapi kan sekali lagi hal itu merupakan imperatif kategori seorang pejabat bahwa bekerja adalah lebih dahulu baru mengutamakan kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan dilema bagi mereka yang sudah ketua umum, menduduki kursi jabatan Menteri/Pimpinan lembaga, dan berpotensi jarang untuk dipahami masyarakat. Belajar dari kejadian Kudeta PPP bahkan Airlangga ini adalah menjadi pelajaran yang berharga untuk bagaimana mempertahankan komunikasi di ruang publik sembari juga eksis dengan kendaraan politiknya.
Kemenangan Golkar, Akibat Gibran?
Tetapi, apapun ceritanya, regenerasi kepemimpinan Golkar adalah hal yang sudah menjadi tradisi. Yang menjadi pertanyaan adalah jika seandainya Golkar naik perolehan suaranya, itu karena kepemimpinan organisatoris Airlangga atau karena faktor Gibran yang dalam hal ini adalah Jokowi? Secara politik, Prabowo-Gibran adalah kombinasi Gerindra-Golkar, sedangkan Gibran yang sebelumnya PDIP justru menjadi kekuatan yang kuat ketika dicalonkan Golkar.
Jika seandainya ada peningkatan, bukankah juga bahwa kepemimpinan secara internal oleh Airlangga terbilang cukup bagus, artinya? Namun, bisa jadi ada semacam resultante politik bahwa Golkar selama ini juga naik akibat faktor “Prabowo-Gibran” bahkan Jokowi itu sendiri. Harus diakui kalau itu. Airlangga, saya yakin bahwa tidak populer. Meskipun Airlangga mencoba bermain dengan gambar-gambar di tahun sebelumnya, tetapi Golkar sudah memiliki akar rumput dan mesin politik yang kuat. Alasannya yang logis adalah karena Golkar bukanlah partai yang baru berdiri pada masa reformasi.
ADVERTISEMENT
Jadi, memang peningkatan Golkar tidak lepas dari euforia Prabowo-Gibran yang juga dibarengi oleh faktor Jokowi itu sendiri. Meskipun Golkar sendiri sebagai mesin politik sudah terlampau dewasa dan akar politiknya sangatlah kuat. Tetapi, faktor kemenangan ini tentu saja bisa dibaca bahwa tugas Airlangga sebagai organisatoris sudah usai. Kini saatnya, memulai politik baru yang bisa untuk menjadi kekuatan lima tahun yang akan datang. Ketepatan Airlangga dalam memilih Prabowo dan mengusung Gibran adalah langkah politik yang kurang lebih juga rasional, meski ada tekanan seperti dipanggilnya ke Kejaksaan Agung.